Info Terkini

10/recent/ticker-posts

“USE” Hilangnya Orang Simalungun

Foto: Julvanan Sinaga (Uttok Sondi)

Oleh: Uttok Sondi

Beritasimalungun-USE. Use ini bukan bahasa Inggris yang artinya menggunakan. Use di judul ini bahasa Simalungun yang artinya "lagi". Ya. Lagi. Ini kejadian lain lagi yang kutau, bukan hoax bukan cerita,  terkait berkurangnya orang Simalungun. Kejadian. Pengakuan langsung dari yang mengalami, bukan ngarang.

Begini ceritanya. Dalam mobil ada seorang amboru boru Sinaga beserta suaminya, makkela marga Panjaitan. Selain itu juga ada makkela marga Saragih Garingging. Mereka bertiga saya tawarkan jalan bareng dengan kami ke tempat arisan dan mereka mau. 

Anaknya makkela Panjaitan sebenarnya sudah datang ke gereja untuk mengantarkan mereka ke tempat arisan. Tapi akhirnya anaknya itu disuruh pulang. Makkela Panjaitan memilih tetap ikut kami. Ada rasa bahagia di situasi seperti ini. Perasaan disenangi tepatnya. Semoga ini bukan Ge-Er.

Buat yang belum tau, Makkela adalah panggilan dalam bahasa Simalungun untuk suami dari semua saudara perempuan ayah kita, baik saudara dekat maupun saudara jauh. 

Dan karena pada prinsipnya dalam adat Simalungun, seorang perempuan dianggap sebagai hak dari paribannya atau anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya, maka mertua laki-laki juga dipanggil sebagai Makkela oleh seorang perempuan. 

Hanya untuk Makkela kategori kedua ini, ditambahkan kata "Nassi" didepannya menjadi "Nassi Makkela". Kenapa begitu, nanti di kesempatan lain kita bahas.

Setelah perbincangan tentang marga dari ibu yang melahirkan si amboru boru Sinaga, kedua orang makkela yang duduk di jok belakang saling ledek.

"Jadi situ kan harusnya panggil tulang kepada saya, karena istrimu dilahirkan oleh boru Garingging dan Garinggingnya itu masih keluarga, terbukti dulu waktu anak-anak saya pernah dibawa bertandang ke rumah mertuamu", kata makkela marga Saragih Garingging.

"Bagaimana saya mau panggil tulang, sebab selama ini yang kutau situ marga Turnip", elak makkela marga Panjaitan, masih dengan nada bercanda.

Cerita apa lagi ini, pikirku. Saya menyimak pembicaraan mereka dengan seksama.

"Iya sebelum ini kami memang mengaku Turnip. Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak. Kepada orang-orang saya sudah katakan kalau saya Saragih Garingging. Walau orang masih tetap panggil turnip", jelas makkela marga Saragih Garingging sambil tertawa.

Sekilas konsentrasi saya lepas dari keadaan di depan karena mendengar pengakuan makkela marga Saragih Garingging itu. Untungnya jalan tidak sedang macet. Beberapa saat saya masih biarkan mereka saling bela diri.

"Jadi naha saritani ai ase soppat jadi Turnip nassiam Makkela?" tanyaku dengan nada jenaka, menyembunyikan kepenasaranku yang sangat, agar Makkela yang marga Saragih Garingging mau bercerita dengan lugas.

Jadi ceritanya bermula dari ayah si Makkela. Konon ayah si Makkela itu dulu seorang tentara, punya komandan marga Saragih. Suatu ketika diadakan pesta. Dalam pesta itu, tidak diketahui pesta apa, ayah si Makkela diberi tanggung jawab oleh si komandan untuk pengadaan pinahan, sebutan untuk hewan peliharaan, yang disembelih untuk dijadikan lauk dalam pesta. 

Dan di dalam pesta itu si komandan menyatakan diri sebagai marga Turnip. Tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk ayah dari Makkela marga Saragih Garingging.

"Namanya perintah komandan, apapun itu harus siap pak. Begitulah dulu ceritanya ayahku, dan semua kami anaknya diberi marga Turnip", terang si Makkela marga Saragih Garingging.

Belakangan ini, si Makkela marga Saragih Garingging ini tidak bisa lagi menerima marga Turnip sebagai marganya. Bermula ketika dia bertemu dengan seseorang tokoh marga Turnip, dia tidak bisa membuktikan keturnipannya dan dicap rendah. 

Karena itu saat kembali ke tempat dia lahir dan dibesarkan selama masa balita di Raya, di sekitar Pasar Gostong, dia mencoba mempertanyakan kepada sanak saudaranya, tentang marga Turnip yang mereka sandang. 

Dalam penelusuran itu salah seorang tulangnya, paman dalam bahasa Indonesia, memastikan kalau mereka adalah Saragih Garinggung, bukan Turnip, dengan menunjukkan siapa saja saudara-saudara mereka yang kesemuanya bermarga Saragih Garingging.

Sejak itu berangsur-angsur mereka kembali ke marga aslinya, walau hingga saat ini masih ada saudaranya seayah seibu yang tetap bertahan menyandang marga Turnip.

Walau telah mengetahui kekeliruan mereka sebelumnya, namun Makkela marga Saragih Garingging ini tidak menyalahkan almarhum ayahnya, karena itu dianggapnya sebagai upaya orangtuanya untuk bertahan hidup.

Si Makkela marga Saragih Garingging ini menjadi anggota dalam perkumpulan kami Harungguan Sinaga Boru Panogolan (HSBP) sebagai Panogolan, sejak sekitar 10 tahun lalu.

Karena penasaran, saya melakukan penelusuran. Bermodal potongan-potongan informasi yang diberikan oleh Makkela marga Saragih Garingging ini, diantaranya nama si komandan dan tempat serta masa tugas dan jabatan ayahnya, akhirnya saya menemukan beberapa data yang saya duga terkait dengan perubahan marga mereka itu.

Setelah menemukan beberapa informasi yang kemungkinan terkait dan menyusun dugaan-dugaan, tengah malam saya telepon si Makkela marga Saragih Garingging untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi dari perbincangan di dalam mobil siang tadi serta untuk mengonfirmasi beberapa temuan data baru yang saya temukan.

Akhirnya saya menemukan juga siapa sang komandan tersebut. Namun maaf saya tidak mau menyebutkannya disini.

Semakin hari semakin banyak bukti yang membenarkan kalau dahulu orang Simalungun banyak dan berkurangnya bukan karena kematian, tapi karena banyak yang berganti suku. (Penulis Adalah Pegiat Medsos dan Pemerhati Simalungun)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments