Info Terkini

10/recent/ticker-posts

*RENUNGAN MINGGUAN: IRI HATI YANG TIDAK TERKENDALI (34)*



Oleh Pdt: Defri Judika Purba 

Nas, 1 Sam.18:29b “Saul tetap menjadi musud Daud seumur hidupnya”.

Musuh dalam selimut, begitulah kita mengenal salah satu bunyi peribahasa. Pesan  dari peribahasa ini adalah hati-hatilah terhadap semua orang. Kenapa perlu hati-hati? Karena tidak semua orang  mampu senang dengan kebahagian kita. Tidak semua orang mampu bertepuk tangan untuk keberhasilan yang kita raih. 

Tidak semua orang bisa berdoa mengucap syukur akan keberhasilan kita. Tidak semua orang mampu menari dalam luapan sukacita kita. Padahal orang yang disebut disini adalah semua orang yang dekat dengan kita. Bisa keluarga, bisa sahabat atau handai taulan. 

Mereka semua adalah orang yang selalu hadir di dalam hidup kita. Sudah sangat dekat sampai berbagi dalam satu selimut ketika tidur. Tetapi ternyata, mereka adalah musuh. Menyakitkan sekali.

Dan kisah yang menyakitkan inilah yang disampaikan di dalam nas renungan ini. Kisah Saul yang menginginkan kematian Daud menjadi kisah yang panjang diceritakan di dalam Alkitab kita. 

Menarik mengikuti kisah ini, sebab kisah ini sebenarnya adalah kisah kehidupan kita secara tidak langsung. Kisah yang tidak mampu mengakui kehebatan atau keunggulan orang lain. kisah yang menganggap diri yang paling penting. Kisah yang tidak mampu berdamai dengan diri sendiri. Kisah yang berusaha menyingkirkan orang lain. Dan kisah yang tidak mampu menerima keadaan. 

Mari kita lihat kisah ini, dari hubungan mereka berdua. Ini sangat perlu karena sering luput dari perhatian kita.  Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya Daud itu adalah menantu raja. Daud memperistri putri Saul yang bernama, Mikhal. Dari pernikahan ini Mikhal binti Saul tidak mendapat anak sampai hari matinya (Bdn 2 Sam.6:23). Jadi, boleh dikatakan usaha Saul membunuh Daud adalah usaha untuk menyingkirkan menantunya sendiri. 

Apakah Saul peduli perasaan putrinya? Apakah Saul tidak sedih, melihat putrinya kehilangan suaminya? Apakah Saul tidak peduli perasaan anaknya, Yonatan, yang berpadu dalam pertemanan  dengan Daud? Semua yang disebutkan ini tidak dipedulikan oleh Saul. 

Hanya satu yang dipedulikannya, yaitu jabatan raja yang sedang dikuasainya. Jabatan ini begitu nikmat bagi Saul, senikmat madu di dalam minuman. Saul tidak rela takhta yang didudukinya diduduki orang lain. Saul masih ingin berlama-lama duduk di takhtanya. Takhta ini adalah sumber kekuasaan, kepopuleran,dan  kenikmatan. 

Padahal dulu Saul tidak menginginkan takhta ini. Saul bersembunyi diantara tumpukan barang –barang ketika nabi Samuel mau menahbiskan menjadi raja. Barulah ketika ada orang yang menjemputnya, Saul mau hadir di acara penahbisan. (Bdk  1 Sam.10:22-23).

Begitulah kisah kehidupan Saul. Hidupnya habis di dalam ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Segala usaha dan tenaga dia pakai untuk menyingkirkan orang lain. Tidak peduli siapapun orang itu. Padahal orang yang membuat hatinya iri ini, tidak sedikitpun memiliki niat atau tujuan seperti yang dituduhkannya. 

Saul asyik dalam pikiran gelap, ciptaanya sendiri. Iri hati dalam pikirannya tidak terkendali.  Iri hatinya benar-benar telah merusak dirinya. Saul pun dikenang dan diingat sebagai orang yang merusak dirinya sendiri dengan iri hati. Kisahnya dibaca oleh setiap generasi sebagai kisah yang miris dan memilukan. 

Semoga kisah kehidupan kita berbeda dengan kisah Saul. Kisah kehidupan kita adalah kisah yang mampu bertepuk tangan, menari dan berdoa untuk keberhasilan yang dialami oleh orang lain. Dan lakukanlah itu untuk kedamaian hati kita sendiri. (BS-Pontianak, 26 Agustus 2023-Penulis Pendeta GKPS)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments