Setelah menelusuri seni tradisi simalungun yang nyaris tanpa pewaris (punah), Arbab dan Husapi di sidamanik, kini Tim Komunitasjejak Simaloengoenmenemui salah satu pandihar asli simalungun yang sudah berusia senja Opung Obot Sipayung (82 thn) di kampung sibatu batu Pematang Siantar.
Opung Obot
Sipayung mempelajari dihar sejak remaja (tahun 50 an), yaitu Natar –
Sitarlak dari Guru Saman yang berdiam di sidamanak( Guru Saman berasal
Padang Sidempuan), dihar Rimau Putih ( salah satu nya dihar Begu,
memasukkan roh ke dalam badan agar menggerakkan jurus), dihar Horbou
Halung dll.
“Dihar do tor tor ni simalungun, tor tor ai do dihar”
pesannya kepada kami, bahwa dasar dari tor tor simalungun adalah
dihar.”Belajar dihar tidak boleh di tempat terbuka. Kami beriringan
membawa obor malam malam hari ke hutan. Alasannya, mereka yang menonton
(bukan anggota perguruan) bisa mempelajari ilmu yang kita miliki. Ini
pantang.
Dihar i memiliki keunikan, kita para pandihar tidak boleh
menyerang duluan, kemudian jurus dengan tenaga pukulan yang di berikan
lawan tidak boleh kita balas dengan tenaga pukulan yang lebih besar.
“Lang dong marserang anggo dihar, paima hon dassa. Halani, mamakei
tenaga ni lawan do hita. Naha pardorasni nai ma parmulak ni.” tutur nya.
Gelanggang tempat atraksi dihar biasanya di kelilingi lambei horsing
(semacam janur kuning) sebagai pembatas agar tidak sembarangan penonton
atau orang lain masuk. Pernah sekali, Opung Obot Sipayung bersama
kelompok dihar nya melakukan atraksi di kampung Tanah Jawa, tiba tiba
masuk orang melewati lambei horsing yang memiliki tujuan hendak
menantang, mendadak belum sampai ke pandihar sudah terpukul sendiri.
Memang dihar memiliki seh (gaib) nya sendiri tanpa disadari pandihar.
Pernah ada kejadian, ada yang hendak membangunkan teman (memiliki kemampuan dihar) dengan menepuk badannya, tiba tiba gerakan refleks nya bisa muncul, terbangun dari tidur dan langsung mengeluarkan jurus pukulan secara mendadak.
Belajar dihar tidak bisa satu dua bulan, tapi seumur hidup. Butuh kesetiaan dan ketekunan. Selain tidak ada minat, kesungguhan dan kemauan, generasi yang jarang bisa meluangkan waktu, juga tidak adanya sanggar2 latihan akibat minim dana. Hal2 mendasar ini lah yang tidak dimiliki generasi muda sekarang.
Belajar tiga bulan setelah itu abai, tak pernah datang lagi, atau merasa telah belajar beberapa jurus kemudian merasa cukup dan beranjak pergi. Apakah usaha kita melestarikan dihar simalungun ini ? Dengan pandangan mata yang sudah mulai rabun, Opung Obot Sipayung menunjukkan foto dirinya menampilkan tor tor asli simalungun yang pernah dipelajarinya, Tor Tor Balangsahuwa (jurus belalang) asli warisan nenek moyang simalungun. Mungkin sudah nasib seni tradisi simalungun hanya menjadi pelengkap tontonan di usia senja dan cerita cerita kepada anak cucu saja. Seni memang mahal.(Sultan Saragih – Red) Komunitasjejak Simaloengoen
Pernah ada kejadian, ada yang hendak membangunkan teman (memiliki kemampuan dihar) dengan menepuk badannya, tiba tiba gerakan refleks nya bisa muncul, terbangun dari tidur dan langsung mengeluarkan jurus pukulan secara mendadak.
Belajar dihar tidak bisa satu dua bulan, tapi seumur hidup. Butuh kesetiaan dan ketekunan. Selain tidak ada minat, kesungguhan dan kemauan, generasi yang jarang bisa meluangkan waktu, juga tidak adanya sanggar2 latihan akibat minim dana. Hal2 mendasar ini lah yang tidak dimiliki generasi muda sekarang.
Belajar tiga bulan setelah itu abai, tak pernah datang lagi, atau merasa telah belajar beberapa jurus kemudian merasa cukup dan beranjak pergi. Apakah usaha kita melestarikan dihar simalungun ini ? Dengan pandangan mata yang sudah mulai rabun, Opung Obot Sipayung menunjukkan foto dirinya menampilkan tor tor asli simalungun yang pernah dipelajarinya, Tor Tor Balangsahuwa (jurus belalang) asli warisan nenek moyang simalungun. Mungkin sudah nasib seni tradisi simalungun hanya menjadi pelengkap tontonan di usia senja dan cerita cerita kepada anak cucu saja. Seni memang mahal.(Sultan Saragih – Red) Komunitasjejak Simaloengoen
0 Comments