Oleh Mansen Purba SH
(Makalah yang disampaikan pada Seminar Sejarah dan Eksistensi
Simalungun yang diselenggarakan oleh HIMAPSI UNIMED tanggal 31 Mei 2008).
JUDUL makalah yang diminta dari saya adalah Sejarah Simalungun dan
Pesannya Bagi Generasi Muda. Judul tersebut menimbulkan dugaan, generasi
muda Simalungun ingin mendiskusikan sejarah Simalungun. Mungkin
didorong oleh keingin-tahuan yang sedang ditumbuh-kembangkan di kalangan
mahasiswa.
Mungkin juga karena ingin mendengar aneka versi sejarah
Simalungun yang tampaknya memang masih ada beberapa versi. Atau mungkin
juga hanya karena latah mau ikut-ikutan martarombo, yakni menelusuri
silsilah marga dari penuturan secara lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan di abad ke-20 baru-baru ini dituliskan dan
dianggap sebagai sejarah walaupun tanpa menggunakan metode penelitian
sejarah.
Sementara itu, judul tadipun masih perlu penjelasan apa yang dimaksud
dengan ‘Simalungun’. Pada hakekatnya, ‘Simalungun’ adalah sebuah nama.
Sejak awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda untuk wilayah pemerintahan bawahan dari wilayah
Keresidenan Sumatera Timur, yakni yang disebut Simeloengoen en
Karolanden.
Yang dimaksud dengan Simeloengoen (=Simalungun) adalah
Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh Jawa, Kerajaan Panei, Kerajaan Dolog
Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta, yang
masing-masing menandatangani semacam perjanjian (dikenal sebagai Korte
Verklaring, ‘Perjanjian Pendek’) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1904 (dan diperbaharui tahun 1907).
Hampir bersamaan dengan pembentukan wilayah pemerintahan Simeloengoen
en Karolanden tadi, nama ‘Simalungun’ digunakan sebagai nama suku bagi
penduduk yang menghuni 7 Kerajaan-Kerajaan di Simeloengoenlanden tadi.
Sebagai nama suku, sebutan ‘Simalungun’ digunakan untuk keseluruhan
penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, walaupun sebutan ‘Simalungun’ jarang
digunakan penduduk (dan pemerintahan) masing-masing Kerajaan, karena
mereka tetap membedakan penduduknya dengan sebutan dalam bahasa
Simalungun, yakni dengan menggunakan kata sin atau par,
misalnya sin Raya, sini Panei, sini Purba, par Siantar.
Sejak masa itu pulalah nama Simalungun sering digunakan sebagai nama
suku. 2) Tetapi tidak hanya untuk penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi,
tetapi semua penduduk Sumatera Utara yang mempunyai budaya yang sama
dengan budaya penduduk yang ada di 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, yang
tersebar di Deli Serdang (dan Bedagai), di Asahan, di Dairi, di Karo.
Bersamaan dengan digunakannya sebutan ‘Simalungun’ sebagai nama suku,
sebutan yang digunakan sebelumnya, yakni ‘Batak Timur’,
atau‘Timoerlanden’, semakin jarang digunakan.
Satu suku bangsa dibedakan dari suku bangsa lainnya karena adanya
perbedaan budaya. Saya sering mengatakan kepada sesama
Simalungun, budaya do palegankon Simalungun humbani suku bangsa na
legan. Simalungun akan tetap ada dan eksis (walaupun populasinya tidak
banyak) jika halak Simalungun mempertahankan budaya yang membedakannya
dari suku bangsa lain. Sebaliknya, jika tidak mau lagi mempertahankan
budaya yang membedakannya dengan suku lain, dan lebih suka
‘menyesuaikan’ diri dengan budaya suku lain, halak Simalungun akan
menghilang dari muka bumi ini.
Dulu, penduduk halak Simalungun yang menundukkan diri ke budaya suku
Melayu, diberi julukan domma salih gabe malayu. Baik karena memeluk
agama Islam, atau karena pindah ke wilayah yang
penduduknya halak Melayu, atau karena manundalhon arihan (yakni yang
bermakna membelot dari Kerajaan yang ada di sukunya, untuk kemudian
menundukkan diri kepada penguasa wilayah di luar Simalungun). Ada juga
yang salih jadi Karo, biasanya karena tinggal di wilayah yang
berpenduduk Karo.
Sebaliknya, halak Toba (dan atau par Samosir) banyak yang salih jadi
Simalungun.
Konon, menurut TBA Purba Tambak (almarhum), sejak awal
berdirinya Harajaon Dolog Silou, 3) sudah ada marga Simarmata dan marga
Sipayung di Dolog Silou, dan tidak ada marga Sinaga. Mereka itu
sudah salih menjadi Simalungun. Proses salih terjadi karena seseorang
meninggalkan budaya asalnya dan menjadikan budaya setempat menjadi
budayanya.
Jadi, dalam pengertian budaya do palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).
Dengan demikian mudah-mudahan semakin jelas apa yang kita maksud
dengan ‘Simalungun’ dalam konteks ‘Sejarah Simalungun’. Ternyata yang
kita mau diskusikan bukan ‘Sejarah Kabupaten Simalungun’, bukan asal
usul (tarombo) halak Simalungun, tetapi sejarah suku bangsa yang kini
masih eksis sebagai salah satu suku bangsa yang mempunyai budaya yang
berbeda dengan suku bangsa lainnya (walaupun ada persamaan), yang sejak
awal abad ke-20 dinamakan suku Simalungun, dan budayanya disebut budaya
Simalungun.
Seperti sudah dikemukan tadi, sejak awal abad ke-20 sebutan
Simalungun semakin sering digunakan kepada satu suku bangsa yang tinggal
di 7 Kerajaan di wilayah Simeloengoenlanden dan wilayah-wilayah
sekitarnya (yang kemudian dimasukkan menjadi wilayah pemerintahan yang
bertetangga dengan 7 Kerjaan tadi (yang kini menjadi Kabupaten Deli
Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tingi, Kabupaten Asahan, Kabupaten
Tobasa, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo).
Sebelumnya, lebih sering
digunakan nama kewarga-negaraan penduduk, seperti sini Panei (untuk
rakyat Kerajaan Panei), parSordang (sebutan untuk rakyat Kesultanan
Serdang). Sementara ‘orang luar’ yang datang berkunjung atau meleliti ke
wilayah yang dihuni halak Simalungun, lebih suka menggunakan sebutan
Batak Timur, mungkin karena berdiam di wilayah sebelah Timur rumpun-suku
Batak lainnya.
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa.
Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja
Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa
sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh
saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat
tadi tidak berubah. 4)
Ada pula yang berpendapat, sebelum ada Raja Maroppat, hanya ada satu Kerajaan, yakni Kerajaan Silou.
Tetapi dalam satu hal. sepertinya semuanya sepakat, yakni tadinya hanya satu Kerajaan, yakni Kerajaan Nagur.
Jika kelak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah bahwa rakyat
Nagurlah yang mewariskan kebudayaan yang di kemudian hari dikenal dengan
sebutan kebudayaan Simalungun, maka hal itu berarti kebudayaan
Simalungun sudah teruji di wilayah ini selama lebih kurang 14 abad,
karena konon Nagur sudah tercantum dalam naskah Cina dari abad ke-6,
masih eksis dan dicatat oleh Marco Polo (abad ke-13) dengan nama
‘Nagore’ atau ‘Nakur’, masih eksis pada saat Pinto mencatat (abad ke-16)
bahwa Nagur meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka karena
mendapat serangan dari Aceh, dan bahwa Encyclopedi Ned. Indie mencatat
Nagur dapat bertahan dari invasi Johor dan Siak.
Ketika pada penghujung
abad ke-19 Belanda menginjakkan kakinya ke wilayah yang dihuni penduduk
pewaris kebudayaan rakyat Nagur tadi, masih ditemuinya kebudayaan yang
sama di 7 Kerajaan yang di kemudian hari disebutnya sebagai
kawasan Simeloengoen, bahkan sama dengan kebudayaan sebagian rakyat yang
tersebar di sekeliling Simeloengoen.
Menjadi jelas kiranya, dengan memberikan judul ‘Sejarah Simalungun’
sebagai awal diskusi kita di seminar kali ini, penyelenggara seminar
mencoba manarik minat kita untuk senantiasa bertanya mau dikemanakan
Simalungun ini.
Mungkin pertanyaan itulah yang mengilhami penyelenggara seminar untuk
menambahkan kata-kata ‘dan Pesannya Bagi Generasi Muda’, sehingga judul
yang dimintakan kepada saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi
Generasi Muda.
Sengaja saya menghindar dari memberikan pesan, karena pesan yang
diselipkan pada penulisan sejarah akan bias dengan objektipitas yang
dibutuhkan oleh sejarah.***
_______________
2) Banyak yang berpendapat bahwa Simalungun adalah sub suku atau sub etnik, yakni sub dari suku Batak. Namun saya makin meragukannya, karena tampaknya yang ada adalah suku Toba, suku Anggkola dan Mandailing, suku Karo, suku Simalungun, dan suku Pakpak (mudah-mudahan urutannya sesuai dengan populasi masing-masing suku). Berdasarkan adanya beberapa persamaan budayanya, peneliti mengelompokkan suku-suku tadi (termasuk Gayo?) menjadi rumpun suku yang disebut ‘Batak’. Yang berarti tidak ada suku Batak. Dengan demikian, Simalungun adalah salah satu suku dalam rumpun Batak.
2) Banyak yang berpendapat bahwa Simalungun adalah sub suku atau sub etnik, yakni sub dari suku Batak. Namun saya makin meragukannya, karena tampaknya yang ada adalah suku Toba, suku Anggkola dan Mandailing, suku Karo, suku Simalungun, dan suku Pakpak (mudah-mudahan urutannya sesuai dengan populasi masing-masing suku). Berdasarkan adanya beberapa persamaan budayanya, peneliti mengelompokkan suku-suku tadi (termasuk Gayo?) menjadi rumpun suku yang disebut ‘Batak’. Yang berarti tidak ada suku Batak. Dengan demikian, Simalungun adalah salah satu suku dalam rumpun Batak.
3) Kerajaan Dolog Silou muncul menggantikan Kerajaan Silou yang terpecah dua. Menurut perhitungan beliau, terjadi pada pertengahan abad ke-17.
4) Prof. Dr. W.B. Sijabat mengakui “dari data-data yang telah terkumpul dapat kita ketahui bahwa system raja berempat ini ialah hasil pengaruh system pemerintahan di Aceh yang diterapkan di Sumatera Utara”. Lihat Rondahaim, sebuah kisah kepahlawanan menentang penjajahan di Simalungun, Bina Budaya Simalungun; Medan – 1993; hal. 48
(http://budayadansejarahsimalungun.wordpress.com)
0 Comments