“Kami Baru Rasakan Kemerdekaan”
SIMALUNGUN-
Dilihat dari lokasinya, Huta Hapurusan Nagori Gunung Mariah, Kecamatan
Dolok Panribuan, Simalungun, tidak begitu jauh dari pusat kegiatan warga
di kecamatannya. Hapurusan berjarak kurang lebih lima kilometer dari
Jalinsum Siantar-Parapat, tepatnya masuk dari Jalan Simpang Kawat yang
tembus ke Hatonduhan.
Namun, selama 67 tahun negara kita merdeka, warga
di sini baru seminggu terakhir merasakan penerangan listrik dari PLN.
Jika kita mendatangi lokasi, nuansa pedesaan jelas terlihat di sana. Ada
15 kepala keluarga yang menghuni huta. Semuanya menggantungkan hidup
dari hasil pertanian. Tetapi untuk bisa sampai ke Hapurusan, dibutuhkan
tenaga yang prima.
Sarana jalan tidak semulus di perkotaan. Begitu
memasuki simpang, pengendara mobil maupun sepedamotor harus merasakan
goncangan hebat saat melintas jalan yang hanya terbuat dari batu padas
bekas proyek underlagh beberapa tahun lalu.
Sesampainya di saluran irigasi,
pengemudi harus turun dan berjalan kaki melintasi bebatuan tajam yang
baru saja dikerjakan melalui bantuan PNPM dan swadaya masyarakat. Itupun
hanya berjarak tiga ratus meter di medan yang curam dan berbatasan
dengan jurang. Selebihnya, harus berjalan kaki melewati jalan setapak
yang kiri kanannya ditumbuhi semak dan lalang. Meski itu tidak jalan
satu-satunya menuju lokasi, namun jika kita melalui jalan lain,
kondisinya tak jauh berbeda.
Setelah mengayunkan kaki sejauh ratusan
meter, barulah terlihat rumah-rumah warga yang letaknya tidak beraturan.
Keadaan ini berbeda dengan tujuh kampung dan lima dusun lainnya di
Nagori Gunung Mariah, yang rata-rata sudah didukung infrastruktur meski
belum merata.
Menurut warga, sejak dulu warga Huta Hapurusan belum
pernah menikmati aliran listrik PLN. Ada waktu 67 tahun sejak
kemerdekaan negara kita, namun Huta Hapurusan tak tesentuh pembangunan.
Belakangan, sedikit demi sedikit,
semangat warga untuk maju terlihat. Dibantu anak cucu mereka di
perantauan, masyarakat mendapat motivasi membangun huta. Seperti
pengerjaan jembatan menuju kampungnya yang sudah rampung beberapa waktu
lalu. Itupun tak terlepas dari perhatian salah satu partai politik yang
benar-benar memperhatikan mereka.
Termasuk memberikan fasilitas listrik
tenaga surya, yang sudah pernah dirasakan warga. Bahkan hingga kini, di
atap rumah mereka masih tampak tiang berukuran setengah meter yang di
ujungnya ditutup dengan benda berbentuk kotak seperti talam.
Menurut warga, dari alat itulah kabel
yang disambungkan ke rumah mereka menyerap tenaga surya, dan digunakan
untuk penerangan.
Tapi bantuan itu tak bertahan lama, sekira dua tahun
lalu sebagian besar alat-alat itu rusak. Apalagi selama penggunaannya,
tak bisa dipakai untuk keperluan alat elektronik pada umunya, seperti
televisi, kulkas dan lain-lain.
Warga mengatakan, listrik yang
dihasilkan dari tenaga surya itu mereka pakai hanya untuk penerangan di
malam hari. Sebab jika penggunaannya melebihi voltase, listrik yang
dihasilkan diyakini tidak akan sanggup menahan beban.
Sepekan terakhir, lima belas KK ini
sudah bisa tersenyum. Aliran listrik sudah masuk ke rumah mereka setelah
pengerjaannya memakan waktu lama. Di tengah huta, di antara rumah-rumah
tua yang terbuat dari papan itu berdiri tiang listrik yang kokoh.
Kabel-kabel tampak melintang, tersambung ke seluruh rumah. Bahkan cahaya
lampu sudah menerangi malam mereka.
Tak perlu bersusah payah mencari
minyak tanah yang biasa mereka gunakan untuk mengisi lampu minyak
sebagai penerangan malam hari. Bahkan beberapa warga mengaku akan segera
melengkapi rumah dengan alat elektronik seperti televisi dan lainnya.
“Puji tuhan, Nga terang be (sudah
terang). Baru sekali ini kami rasakan arti merdeka,” kata Daniel
Pandiangan (62), tokoh masyarakat Huta Hapurusan kepada METRO.
Beberapa anak-anak mereka tampak memperhatikan meteran listrik yang ditempel di atas dinding kediaman warga. Bahkan para pemuda setempat mengaku tak perlu lagi menonton pertandingan klub sepakbola favorit mereka ke kampung sebelah, atau ke warung kopi yang berada di pinggir Jalinsum. “Memang Huta Hapurusan ini yang paling tertinggal di antara kampung dan dusun lain di Nagori Gunung Mariah.
Itu mungkin saja akibat letak
geografisnya,” kata Pangulu Gunung Mariah Olo Manurung. Dikatakannya,
sejak ia menjabat sebagai Pangulu pada 2002 lalu, usulan dan permohonan
untuk memasukkan listrik ke huta sudah dilayangkan. Namun selama itupula
belum ada tanggapan positif yang mereka terima. “Sudah berulang-ulang
kita usulkan. Memang kita maklumi juga keadaannya, khususnya untuk
penambahan jaringan listrik di medan yang cukup berat seperti ini,”
tambahnya.
Sejak tahun 2010, tanda-tanda masuknya
listrik ke Huta Hapurusan sudah mulai terdengar. Terlebih saat memasuki
tahun 2011, kampung mereka langsung disurvei petugas PLN dan rekanan
dari CV Dasa Darma yang akan mengerjakannya. “Syukurnya, sejak tahun
2011 kita sudah mendapat angin segar bahwa huta ini akan dialiri
listrik. Nah, beberapa hari lalu tepatnya, kampung ini sudah terang
benderang. Tentunya masyarakat sangat gembira merasakan listrik masuk ke
rumah,” tukas Manurung.
Sementara Ucok Naipos-pos, selaku
pelaksana lapangan CV Dasa Darma mengatakan, tak jarang pihaknya menemui
rintangan saat memasukkan jaringan listrik ke lokasi.
“Tapi saya salut dengan kekompakan dan kesadaran warga Hapurusan. Mereka benar-benar berjuang dan cukup banyak membantu demi suksesnya program listrik masuk daerah tertinggal ini,” kata Ucok.
Menurutnya, tak hanya Hapurusan,
beberapa desa di sekitarnya juga masih ada yang belum merasakan aliran
listrik. Untuk itu, pihaknya juga sudah memasang jaringan ke beberapa
titik di sekitar lokasi. “Semoga dengan adanya bantuan masyarakat, dalam
waktu dekat di Huta Utte Hau, Dusun Sijoring dan Sagala Timbaan, akan
segera dialiri listrik,” tukasnya. (metrosiantar.com)
0 Comments