JAKARTA- Pemerintah
pusat akhirnya mengakui bahwa persoalan lahan yang menjadi hambatan
utama proyek Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, bukanlah
kesalahan Bupati Simalungun JR Saragih. Justru, pusat yang masih
mengendalikan kewenangan pertanahan lah yang menjadi sumber rumitnya
penyediakan lahan untuk KEK Simangkei itu Kapuspen Kemendagri
Reydonnyzar Moenek menjelaskan, mestinya kewenangan pertanahan menjadi
kewenangan yang melekat kepada pemda. “Karena kewenangan pertanahan itu
inheren dengan penyelenggaraan pemerintahan,” ujar Donny, panggilan
akrabnya, kepada koran ini di kantornya, Rabu (1/8).
Dibeberkan Donny, dari aspek sejarah,
regulasi pertanahan yang ada terbit pada 1870, lantas1888, 1900, 1903,
1923, semuanya memberikan kewena ngan pertanahan pada pemda. Begitu pun
UU Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, UU
Nomor 18 Tahun 1965, dan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Termasuk juga UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang pemda, juga meletakkan urusan pertanahan sebagai kewenangan
pemda. “Itu perintah Undang-undang dalam perjalanan sejarah, sehingga
pengawasan dan pembinaan pertanahan saat itu melekat pada mendagri (yang
membawahi pemda, red),” terang Donny, birokrat yang juga mendalami
persoalan pertanahan itu.
Nah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemda
yang berlaku saat itu, kata Donny, sebenarnya juga memberikan
kewenangan pertanahan kepada pemda. Hanya saja, UU sektoral belum
menyesuaikan dengan UU 32 Tahun 2004 dimaksud. ”Mestinya, semua
undang-undang sektoral yang berlaku di daerah merujuk pada UU Nomor 32
Tahun 2004,” beber Donny. Sejumlah UU sektoral dimaksud antara lain UU
tentang pertambangan, UU kehutanan, UU perkebunan, dan UU tentang
lingkungan hidup.
”Prinsipnya, desentralisasi kewenangan
itu melekat juga di bidang pertanahan kepada kepala daerah selaku kepala
pemerintahan di daerah,” kata pria asal Sumbar itu. Dalam konteks
penyediaan lahan KEK Sei Mangkei, benturan kewenangan itu terjadi.
Bupati Simalungun JR Saragih tidak berani langsung mengubah perda
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lantaran masih harus melewati terlebih
dahulu Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Karena penyediaan lahan KEK Sei Mangkei berkaitan dengan lahan
yang berada di area SK 44 itu.
JR Saragih perlu persetujuan Menhut
Zulkifli Hasan, berapa luas lahan di area SK 44 itu yang disetujui untuk
dijadikan area bukan hutan, yang nantinya bisa dijadikan lahan KEK Sei
Mangkei. Sedang urusan dengan BPN terkait dengan masalah perubahan HGU
menjadi HGB. Untuk memutuskan hal itu pun, Menhut masih harus bicara
dengan BPN, dan PTPN III. Jika sudah beres semua, barulah mulai digarap
penyesuaian RTRW untuk kebutuhan lahan KEK Sei Mangkei.
Jadi, prosedur birokrasi penyediakan
lahan KEK Sei Mangkei memang panjang. Jalan panjang brokrasi itu bisa
dipangkas jika kewenangan pertanahan sepenuhnya diberikan kepada kepala
daerah, termasuk urusan perizinannya. ”Karena tidak mungkin kewenangan
kepala daerah dipisahkan dengan kewenangan bidang pertanahan dan tata
ruang,” kata Donny. “Tapi sekarang ini, begitu terkait perizinan
kewenangan BPN, tapi begitu terjadi konflik, urusannya diserahkan ke
pemda,” imbuhnya lagi. (MSC)
0 Comments