Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Oleh: Arif JV Girsang
BeritaSimalungun.com, Saribudolok-Hal yang lazim, dalam kehidupan
sehari-hari di kawasan Silimakuta-Simalungun, orang-orang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah yang berbeda. Penulis terlahir di kawasan ini, kota
Saribudolok, dengan nama ‘pendek’nya Sardolok.
Kota ini menjadi pusat Kecamatan
Silimakuta di era NKRI, dari sebelumnya desa Nagasaribu menjadi pusat saat
kawasan ini di bawah kekuasaan Harajaon Silimakuta. Dalam perjalanannya,
Indonesia menamakan kota ini Seribudolok.
Tak sedikit perantau asal kota kecil ini
menjelaskan nama kotanya ber-arti Gunung Sewu saat mereka sampai di pulau Jawa.
Yang satu berbahasa Simalungun, satu lagi bahasa Karo, yang satunya lagi
menggunakan bahasa Toba.
Begitulah yang kerap terjadi dalam
komunikasi di kedai kopi, di pekan, di pasar (di jalanan, orang menyebut jalan
raya dengan kata “pasar”,-red.), di lingkungan pemukiman bahkan dalam acara
adat. Yang lebih ‘seru’ lagi ketika terjadi perselisihan menjurus ‘pertempuran’
di antara warga penutur bahasa yang berbeda. “Ku tebak ko kari (kutikam kau
nanti)…” ancam penutur bahasa Karo.
“Tobak anggo pak ho (tikam kalau kau
berani),” balas penutur berbahasa Simalungun. “Ai unang marbada hamu (jangan
berkelahi kalian)…!” cegah seorang lagi pengguna bahasa Toba. Berbagai suku
bangsa telah mendiami Silimakuta sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum
Indonesia merdeka.
Suku-suku dari penjuru Nusantara, sejak
lama juga telah tinggal di Silimakuta. Mereka umumnya sampai di kawasan ini
oleh pekerjaan, terutama pedagang dari suku Jawa. Dipastikan, setelah
kemerdekaan, suku bangsa asal seberang lautan, seperti Tionghoa, India,
Pakistan, Belanda, dan Jerman, diterima dengan terbuka oleh masyarakat
Silimakuta.
Suku bangsa lain yang datang dari Malaysia
sebagai relawan bidang kesehatan dari lembaga keagamaan, juga pernah stay di
Silimakuta, di Saribudolok. Hingga hari ini, saudara-saudara keturunan Tionghoa
umumnya sudah bermarga Batak.
Ketika mereka melangsungkan perkawinan
dengan warga dari daerah lain yang juga keturunan Tionghoa, pasangannya jadi
ikut bermarga. Itu hal yang biasa terjadi. Beberapa hal yang menjadikan
Silimakuta terbuka pasca kemerdekaan, antara lain oleh keberadaan Rumah Sakit
Bethesda, Sekolah Guru Bawah (SGB) Saribudolok, dan Perguruan Katholik.
Sehingga orang dari berbagai daerah datang
untuk bekerja, berobat dan belajar ke kota Saribudolok. Kawasan Silimakuta yang
mayoritas penduduknya menganut agama Kristen dan Katholik, memiliki catatan
sejarah masuknya syiar Islam.
Ketika itu ‘gagal’ bukan karena penolakan
langsung dari warga Silimakuta, namun karena kesalahan ‘teknis’, ketika dalam
syiar-nya si ‘penyiar’ menyebut pemeluk agama Islam tidak masalah jikapun
memelihara ternak babi, sehingga si ‘penyiar’ditangkap Buterpra (sekarang
Koramil,-red.). Secara umum, par Silimakuta (orang dari Silimakuta) relatif lebih
mudah bergaul dengan komunitas lainnya di perantauan.
Ini dikarenakan kemampuan bertutur dalam
‘berbagai’ bahasa daerah, yang tentunya berkorelasi dengan keterbukaan, dan
kebiasaan untuk menerima adat istiadat dan budaya “orang lain” di lingkungan
asalnya. Untuk kalangan tua, banyak diantaranya memliki kemampuan bertutur
dalam empat bahasa, yaitu Simalungun, Karo, Toba, dan Pakpak.
Namun, orang muda secara merata mengerti
tiga bahasa, Simalungun-Karo-Toba, dan tentunya bahasa persatuan, Bahasa
Indonesia.
Sedikit unik, meskipun Silimakuta kental dengan keterbukaan dan
kebebasan menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi, namun ‘orang’
Silimakuta sendiri ‘kental’ dengan bahasa Simalungun ala Silimakuta-nya.
Sehingga terkadang saat bergabung dengan sesama penutur bahasa Simalungun dari
daerah lainnya, terasa perbedaan ketika mendengar penutur dari Silimakuta.
Sekali waktu, penulis memasuki suatu
tempat di Raya, daerah Simalungun, yang saat itu memampangkan spanduk
bertuliskan “Daerah Wajib Marsahap Simalungun”.
Namun ketika berkomunikasi
dengan seseorang di tempat itu, penulis dikomplain karena dianggap tidak
bertutur dalam bahasa Simalungun.
Lantas penulis memberikan argumen, “Bahasa
Simalungun yang saya bisa adalah bahasa Simalungun dari Silimakuta dan dari
Simalungun Horisan (bagian pantai Danau Toba yang termasuk daerah Simalungun).”
Ada ketidakpuasan dari pihak lawan bicara
pada saat itu, oleh tutur bahasa yang saya gunakan, yang tetap bertahan dengan
ke-Silimakuta-an.
Terus terang, penulis memang terlanjur lebih menikmati bahasa
Simalungun ala Silimakuta, tempat penulis lahir.
Namun, penulis menyampaikan kepada
‘seseorang’ itu, bahwa di Silimakuta dia tidak akan menemukan protes jika
bertutur dalam bahasa Simalungun ala Raya, atau ala mana pun, serta menambahkan
bahwa ke-Simalungun-an tidak bisa dipaksakan hanya dalam satu ‘corak’.
Di
tempat lain pada suatu masa di tahun 1994, penulis punya pengalaman ‘lain’,
dalam satu acara adat di desa Bakkara-Toba, yang penulis ikuti secara ‘tak
sengaja’.
Ketika itu penulis adalah sebagai seorang
musafir, yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan sang empunya hajatan,
sehingga diposisikan sebagai Raja Naro (tamu tak diundang), yang lengkap dengan
jambar (‘jatah’ adat) dan mandok hata (berbicara dalam suatu acara).
Dengan ‘mampu’ bertutur dalam bahasa Toba,
ternyata warga yang hadir saat itu sangat menghargai, ketika mereka diberitahu
bahwa Raja Naro yang satu ini adalah ‘anak’ Simalungun.
Diterangkan bagaimana
komunikasi sehari-hari di Silimakuta, terutama di Tiga Sardolok (Pekan
Saribudolok), yang ‘bebas’ dalam penggunaan bahasa daerah, yaitu
Simalungun-Karo-Toba, orang-orang memberikan pujian tentang keterbukaan
tersebut dan menganggap hal itu sebagai suatu kelebihan.
“Lobi sian na somal do huta muna i ba,
ndang haluluan di Toba on si songoni (lebih dari yang biasa kampung kalian itu,
tidak ditemukan kampung seperti itu di Toba ini),” demikian sambutan seorang
dari hadirin. Di Medan, di lingkungan komunitas warga Karo juga penulis
diterima dengan mudah, atas dasar kemampuan untuk bisa mengerti bahasa Karo.
Terkadang teman membawa ke kampungnya di
Tanah Karo, dan ‘mereka’ di kampung tidak merasa sungkan untuk tetap berbahasa
Karo dalam obrolan bersama, setelah teman tersebut memberitahukan kampung asal
saya, dari Silimakuta.
“Ercakap Karo saja kita, anake teh na
cakap Karo. Anak Silimakuta ia, Seribudolok nari kutana (bahasa Karo saja kita,
dia tahu bahasa Karo. Dia anak Silimakuta, Seribudolok sana kampungnya),”
demikian pemberitahuan saat berbincang di kampung para sahabat di Tanah Karo.
Demikian halnya dalam acara adat di
Silimakuta, sejauh pihak yang datang itu penutur bahasa Karo atau Toba, tak
terdengar permintaan yang berhubungan dengan penerjemahan.
Justru kadang ‘tuan
rumah’ yang mengalah untuk berbicara dalam bahasa yang dimengerti ‘tamu’nya.
Dalam tulisan ini, tidak dibahas apakah keterbukaan dan kebebasan bertutur di
Silimakuta menjadi suatu kelebihan atau kekurangan komunitas Simalungun di
Silimakuta.
Namun hanya sebagai gambaran tentang
betapa moderat-nya cara berkomunikasi dalam komunitas ini. Belakangan ini
timbul dinamika, oleh beberapa kelompok yang ‘menggugat’ apakah ‘mereka’ Batak
atau bukan. Kita ketahui bersama, di tingkat Nasional, yang lazim dan umum,
serta dalam hal yang bersifat formal biasanya Batak ‘disebut’ dengan satu nama,
yaitu Batak.
Tanpa bermaksud mengurangi keinginan pihak
atau kelompok yang ingin ‘memerdekakan’ diri dari sebutan Batak, penulis
mengajak untuk melihat sekilas bagaimana komunikasi antar komunitas yang
terbangun di Silimakuta selama ini.
Silimakuta menjadi etalase interaksi antar
orang-orang Batak dengan bahasa berbeda, yang dapat berkomunikasi dengan baik
satu sama lain. Bahkan saat berkomunikasi dengan mereka-mereka yang mungkin
tidak mengakui dirinya adalah suku bangsa Batak…! (*) . (Penulis Berminat Mempelajari
Berbagai Bahasa daerah di Nusantara)
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
Potret Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Foto Asenk Lee Saragih. |
0 Comments