Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Membangun Jemaat-jemaat GKPS: Belajar dari GKP

Oleh :Pdt. Martin Lukito Sinaga
 
Dalam seri no. 28 bulan lalu, kita membaca sikap seorang pemimpin  “Parbapaon” di salah satu GKPS di Jakarta: komitmennya terutama ialah membangun JEMAAT GKPS yang telah menjadi ruang sosial-teologisnya selama ini. Maka memang fokus karyanya ada pada jemaat tertentu tersebut, tempat ia beribadah setiap minggu. 

 Tampaknya para anggota jemaat kini pun mulai memberi fokus melayani jemaat dimana mereka menjadi anggotanya. Untuk itu proses pemberdayaan jemaat menjadi karya kita ke depan ini: dalam hal ini kaum awam memang akan berperan strategis.

Karena itu saya kini –khususnya di bulan Desember di hari-hari perayaan Natal ini- hendak mengajak kita belajar dari GKP (Gereja Kristen Pasundan) dalam hal pembangunan jemaatnya. Khususnya karena mereka hidup di daerah Jawa Barat (termasuk Jakarta), daerah yang membutuhkan cara yang khas agar jemaat-jemaat bisa bertumbuh dan diterima.

Saat Natal, maka biasanya stasiun TV nasional akan menayangkan cerita menarik dari satu jemaat GKP, yaitu “Jemaat Betawi di Kampung Sawah”-Bekasi,  sebab di situ ada jemaat yang bertumbuh secara vital bersama tetangga muslimnya, dan malah bisa membawa budaya Betawi ke dalam gereja.

GKP Kampung Sawah

Keberadaangereja di perkampunganBetawidi situ tidakpernahdiusikwarga, karena hampirseluruhwarga jemaatberasal darimasyarakatBetawisetempat, mereka dari “satu pohon” keluarga.Seorangwargagereja, misalnya, bernama Manuel BoengNapiun bisa bekerja selakukaryawankebersihanbaik dikompleksmakamKatolikdanmakam Muslim.

Perayaan Natal di Gereja selalu semarak dengan kehadiran jemaatnya, yang mengenakan baju tradisional Betawi.Pria/wanita berbaju ala “muslim” (baju koko warna krem dan celana hitam, sementara perempuannya memakai kebaya encim dipadu kain batik).

Perkembangan yang unikdarisatujemaat GKP di satukampunginiterkaitdengan proses unikbagaimanajemaatitubekerjamembangundirinya, mengadakanstuditentangsituasijemaatnya, danmemutuskanmengadakanprogram terobosan tertentu agar jemaattersebuttumbuh,berakar dan berbuahpadakonteksnya yang khasitu.

Proses Pembangunan Jemaat GKP dan Kita

Ternyataadalatarsejarah yang perlu kita catatdalamhalini.Pada tahun 1930-an Hendrik Kraemer melakukan survey (laporannya:From Missionfield to Independent Church: Report on a decisive decade in the growth of indigenous churches in indonesia, 1958). 

Saatitu –setelahmelihatjemaat-jemaat Kristen di Jawa Barat- Kraemer menekan kan pentingnya memikirkan ulang makna misi itu sendiri, dan ia terkesan oleh karyaF.L. Anthing. Sebab Anthing menemukan skandal kehadiran Kristen di tanah Pasun dan terletak pada bentuk dan watak kolonialnya. Anthing ingin mengubah ini: lalu ia datang ke Jawa Barat mirip seperti gurungelmu, yang membacarapal(semacam “tabas” kalau di Simalungun).Ia memakai cara Jawa Barat dalam misi dan kesaksiannya.

Ia juga ingin agar jemaat-jemaat tidak terisolir dan bergaya kebelanda-belandaan. Ia sadar orang Kristen Pasundandiapitoleh (a) tipeIslam hakekat di  Cirebon,dan(b) tipe Islam syariat di Banten, dansementaraitudi Jawa Barat tidakadakulturkerajaan yang kuatseperti di Yogya, makajadilah adagium terkenal ini tentang Pasundan: Islam adalah mahkota adat Sunda!

Tapi tentu tak perlu undur dengan realitas itu. Maka, dalam konteks itu, ada2hal yang rupanyaperlumenjadilangkahpembangunan jemaaat-jemaat (juga jemaat GKP Kampung Sawah) di Jawa Barat (juga Jakarta atau daerah majemuk seperti Medan):

1. MENGAKAR
Yang mau ditekankan disini ialah proyek kontekstualisasi di GKP (atau GKPS) harus terus dilanjutkan, artinya; mesti ada yang hidup di tengah-tengah jemaat yang menjadi tanda bahwa ia ada di daerah tersebut. Misalnya dalam sejarah GKP ada tradisi zakat, “sedekah bumi, atau pun Pesta Panen”.

 Dengan kata lain, ada fokus teologi ataupun kegiatan gerejawi yang terkait dengan “bumi, tanah, pertanian, rakyat biasa”. Belajar dari situ maka Jemaat GKPS yang hidup di Jawa Barat perlu mencari ekspresi budaya setempat agar ia memiliki pertalian dengan bumi tempat gerejanya berpijak.

Kini GKP  banyak hadir dalam konteks masyarakat transisi, GKP banyak berkarya di tepi-tepi daerah urban (dan ternyata telah menjadi gereja multikutural-multietnis, malah ada jemaat GKP yang mayoritas warganya adalah orang Batak, termasuk Simalungun). Sehingga soalnya ialah, belajar dari situ: bagaimana kalau ada eksperimen di salah satu JEMAAT GKPS warganya multi-etnis?

2. BERTUMBUH BERSAMA
Dalam kaitan dengan masyarakat transisi (semi-urban)  yang menjadi konteks kontemporer GKP, ada tradisi“ngaduk” –kegiatan kaum muda “ngaduk dodol” di Hari Raya. Ini terkait dengan program kerja sosial jemaat, khususnya mempertemukan kaum muda lintas-agama. Dan ini bisa dipelajari oleh GKPS. 

Kalau di jemaat GKPS akan dikembangkan program “persembahan bulanan/perpuluhan” (perluasan dari persembahan tahunan atau “gugu tahun”) maka dana yang diperoleh dari situ perlu digunakan untuk program harapan sosial dan ekonomi khususnya bagi kaum yang secara sosial amat rentan dicederai globalisasi ekonomi pasar bebas saat ini.

DENGAN KATA LAIN, kita perlu menumbuhkan cara-cara yang khas dalam setiap jemaat GKPS itu bertumbuh di tempatnya yang khas. Dan ini sekali lagi membutuhkan keterlibatan baru kaum awam: dari membaca realitas lingkungannya, membuat analisis manajemen jemaat yang pas untuk realitas tersebut, mencari terobosan program, dan memberlakukannya secara ajek (sustainanable); hanya dengan jalan ini cita-cita GKPS menjadi “pembawa berkat dan kepedulian” bisa dikerjakan oleh jemaat-jemaatnya, dan dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.

Salam damai Natal di bulan Desember,
Pdt Martin L Sinaga. (www.gkps.or.id)

Berita Lainnya

There is no other posts in this category.

Post a Comment

0 Comments