Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Ketika Korupsi Jadi Puisi

ILUSTRASI
Bambang Widiatmoko  ;   Penyair
KOMPAS,  23 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                     Buku antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK) yang menghimpun karya ratusan penyair dari sejumlah daerah di Indonesia sudah terbit dalam tiga jilid (Forum Sastra Surakarta, 2013). Tentu suatu prestasi tersendiri yang dapat dipersembahkan kepada republik tercinta ini, yang giat melaksanakan pemberantasan korupsi. Tidak perlu diperdebatkan apakah ada perbedaan arti kata ”menolak” dan ”memberantas” sebagai idiom yang dipergunakan penyair dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pertanyaan tentang judul Puisi Menolak Korupsi (sebagai kata benda) dan Penyair Menolak Korupsi (sebagai kata sifat) kita sudahi dengan kutipan judul puisi Ayu Cipta ”Bersatulah Penyair Tolak Korupsi” dan judul puisi Eko Widianto ”Prokorupsi”. Selain itu, juga muncul rasa gamang untuk mengatakan ”apa” sebenarnya yang disebut puisi dan ”mengapa” puisi-puisi itu ditulis.

Saya mencoba menguraikan ”apa” dan ”mengapa” puisi-puisi ditulis oleh para penyair PMK. Begitu terbuka dan bebas para penulis puisi menuangkan idenya dalam puisi. Kita tak perlu lagi belajar tentang simbol dan imajinasi. Lantas apa kaitannya dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga bernama KPK? Dan penolakan korupsi dilakukan para penyair yang bergabung dalam PMK? Pemberantasan dan penolakan korupsi tentu harus dilakukan masyarakat yang sadar untuk menuju perubahan sosial di Indonesia: menjadi negara yang bersih, jujur, dan berwibawa.

Kita memahami bahwa sejak zaman doeloe kala sudah terjalin erat hubungan antara sastra dan negara. Sekadar contoh adalah sejarah Sultan Agung, yang berani melawan Belanda dan menyerbu Batavia. Bukan persoalan kalah atau menang dalam peperangan itu, melainkan jiwa besar dan semangatnya tetap menjadi kebanggaan dalam sejarah Indonesia. Kebesaran jiwanya ditunjukkan pada sikapnya terhadap sastra dengan mengatakan ”Manawa ana putra sentana ingsun kang ora wasis ing kagunan sastro gending, ingsun jabaake Trah Mataram”.

Begitu pula jika menengok kisah John Ruskin pada abad ke-19, sewaktu Ratu Victoria memerintah Inggris. Ruskin bertanya kepada anggota House of Lords: ”Seandainya kita harus kehilangan salah satunya, apakah kita pilih kehilangan jajahan kita India atau sastrawan kita Shakespeare”. Lalu dia menyatakan, lebih baik kehilangan India daripada Shakespeare.

Contoh di atas sekadar menunjukkan bahwa sastra dan negara pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan: keberadaan sebuah sastra bergantung kepada negaranya dan keberadaan negara tergantung pada sastranya. Negara dan sastranya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Begitu pula kehadiran atau terbentuknya sebuah negara tidak dapat terlepas dari jasa para pejuang dan pahlawannya. Kita bisa membaca puisi ’pengaduan’ Thomas Haryanto Soekiran untuk mengingat jasa pahlawan dan kemudian dipergunakan untuk mereflesikan kondisi yang terjadi pada masa kini.

Dalam puisi berjudul ”Pahlawan di Makam Pahlawan Projo Handokoloyo Purworejo” Haryanto Soekiran menulis: ”//Aku menyapa dari luar tembok karena pintu digembok/Kenapa menolak jadi belati dan milih melati/Sementara gerak dolalak memaksa masuk kubur/Tapi kabur lantaran tak mampu membaur/Sebetulnya bukan tarian hanyalah hiburan...// ” (hal 387).

Begitu pula jika kita melihat secara lebih nyata seperti yang tersirat dan tersurat dalam puisi yang ditulis Aloysius Slamet Widodo, untuk menunjukkan hubungan antara sastra dan negara. Kita menjadi tergugu membaca kutipan puisi berjudul ”Anas” yang ditulis Slamet Widodo: ”//Jangan namai anakmu Anas/nama itu memang panas/biasanya orangnya cerdas/tapi kadang nasibnya naas//Lihat ketua umum partai demokrat.....Anas/oleh kpk ia kena tebas/ia marah hatinya panas/menurutnya ini tentu ulah cikeas...//” (hal 47).
Pembicaraan tentang korupsi pun bisa menjadikan pertanyaan bagi anak-anak. Menarik mempertanyakan korupsi di mata anak-anak dalam puisi ”Anak Sekolah Membaca Spanduk Korupsi” yang ditulis Andreas Kristoko: ”//Di atas boncengan sepeda kayuh bapakku/Sewaktu pulang sekolah, aku membaca spanduk/Terentang di persimpangan jalan/’Berantas Korupsi!’//Sesampai di rumah aku lepas seragam merah putihku/Meletakkan tas di amben juga sepatu hitam kaos kaki putih di kolong/tempat tidur/Menghampiri bapak yang sedang melap sepedanya/Lalu bertanya, ’Pak, korupsi itu apa?’/Bapak mengelus rambut kepalaku dan tersenyum/’Jangan ambil tempe jatah adikmu saat makan bersama!’ jawabnya//” (hal 63).

Kita bisa tersenyum membaca puisi di atas. Tetapi, sesungguhnya sesuatu yang amat dahsyat sedang dilakukan bapak atau orangtua sang anak. Pendidikan karakter antikorupsi dengan tidak mengambil hak orang lain telah ditanamkan sejak dini dalam diri sang anak. Jika pendidikan semacam itu sudah dimulai ditanamkan sejak dini, saya yakin republik ini dalam beberapa dekade mendatang akan bebas dari tindak korupsi. Tindakan orangtua yang bagi saya tak kalah berharga dibandingkan dengan para penyair menuliskan puisi dan membacakannya di acara ini.

Suatu yang ironi terjadi dalam sistem pendidikan kita, seperti yang ditulis Kusprihyanto Namma dalam puisi ”Ironi”: ”//Siswa, belajar atau tidak, sama saja/ketidaklulusan tak cuma membuat malu guru/atau lembaga/yang paling malu tentu Presiden kita//” (hal 252). Sejatinya telah terjadi sesuatu yang amat mengerikan di negeri ini bahwa korupsi pun telah menjangkiti dunia pendidikan kita. Untuk itulah kita perlu menanamkan pendidikan karakter terhadap anak-anak bangsa. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Pendidikan karakter
Di lingkungan sekolah, menurut Lickona (200l), apabila pendekatan komprehensif diberikan terhadap pendidikan karakter, budaya moral yang positif akan tercipta di sekolah—sebuah lingkungan sekolah yang secara keseluruhan mendukung penanaman nilai-nilai di kelas. Sekolah bersama-sama dengan orangtua dan masyarakat setempat memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun karakter melalui keteladanan, agar siswa belajar peduli terhadap orang lain.

Ingatan kita segera tertuju bahwa tindakan korupsi bisa terjadi di segala lapisan. Dalam lapisan masyarakat bawah pun korupsi juga sering terjadi. Kita baca puisi Andreas Kristoko berjudul ”Ada Korupsi di Warteg Suni”: ”//Seorang lelaki berpakaian rapi, baju lengan panjang kerah berdasi/Sepatu hitam mengkilap menenteng map surat lamaran kerja/Selesai melahap makanannya, datang ke meja kasir dan membayar/Lantas pergi, melanjutkan perjalanan//Suni membersihkan meja makan, mengumpulkan piring kotor/Gelas kotor dan beberapa plastik bekas bungkus keripik tempe//Suni tertegun menghitung jumlah bungkus keripik//Bekas lelaki itu makan//Sialan! Lelaki itu nilep kerupukku/makan lima bungkus bayarnya dua bungkus//” (hal 64).

Contoh di atas membuktikan bahwa korupsi (dengan beragam modusnya) telah menjadi gurita di segala lapisan masyarakat. Dari penggalangan dana untuk menghidupi partai tertentu sampai yang terjadi di warteg.

Tidak jauh berbeda yang dilakukan oknum aparat kepolisian dalam puisi ”Kusangka” yang ditulis Ardi Susanti: ”//Kusangka/Korupsi hanya ada di ruangan/Ternyata/Lihatlah.../Di jalanan/di tikungan/Di perempatan/ Di trafficlight/Hanya berbekal peluit pun/orang sudah bisa merasakan madunya korupsi//” (hal 86).

Pada akhirnya kita pun harus belajar dari negara lain, seperti diungkapkan dalam hadis Nabi, ”belajarlah sampai ke negeri China”. Brigita Neny Anggraeni mengingatkan itu melalui puisinya berjudul ”Malulah pada Korupsi”: ”//Malulah kita pada Cina/yang dapat tegas dan lantang berkata:/’Sediakan 100 peti mati’/’99 untuk pejabat yang terlibat korupsi’/’dan satunya lagi untukku jika aku juga korupsi’//” (hal 129).

Saya merasa senang menemukan puitika dan simbolisasi dalam puisi Budhi Setyawan, penyair yang berasal dari Purworejo dan hijrah di Bekasi, berjudul ”Analisis Ekonomi Terali”: ”//mungkin mereka telah berhitung/dengan simulasi akuntansi/dengan sedemikian teliti//saldo awal kekayaan adalah puitik/bunga yang terus disiram dengan/arus pengganyangan lembar-lembar/angka dari negara hingga menjadi/sungai yang terus mengalirkan/pundi-pundi yang kemilau di segala/iklim dan cuaca//dan saldo akhir merupa buah/dari bunga yang menemu penyerbukan/dari jelajah jalang melewati ribuan/musim dan berahi yang terus merupa/api yang panasnya tak akan habis/untuk Sembilan turunan//” (hal 136).

Begitu pula puisi Arsyad Indradi berjudul ”Pohon Para” untuk menemukan jawaban atas pertanyaan di atas, yakni ”apa” yang disebut puisi dan ”mengapa” puisi itu ditulis: ”//Kau hanya tahu ia adalah pohon para/Yang selalu disadap tubuhnya sampai tak terhitung lagi lukanya/Luka tubuhnya/Pernahkah kau dengar jerit perihnya setiap pisau yang kau torehkan/Pernahkah kau dengar aduh keluhnya setiap darah yang mengalir dari/nganga luka/Kau cuma tahu kepuasan tempurung penuh darahnya//Sebab ia adalah cuma pohon/Maka tak perlu iba tak perlu terima kasih karena kau manusia?/Jika tubuhnya tak berdarah lagi/Lalu ditebang dan dipotong-potong dijadikan kayu bakar//Di majelis ini tempatnya gerombolan manusia yang berlidah pisau/Dan setiap saat kita disadap dan darah kita kepuasan hidup mereka/Kita bukan pohon para//” (hal 89).

Akhirnya memang keanekaragaman puisi-puisi telah terangkum menjadi mozaik yang indah, dalam beragam persepsi penyairnya untuk menyadarkan kita akan begitu berbahayanya korupsi. Penyair hanya mampu menyuarakannya dalam bentuk kata-kata dalam puisi dan semoga menjadi mantra antikorupsi.

Dapatkah puisi-puisi antikorupsi ini menembus ruang dan waktu? Dapatkah kekuatan kata-kata menjadi mantra untuk ”turut mengurangi” atau bahkan ”turut memberantas” tindak pidana korupsi seperti yang dilakukan KPK? Pada akhirnya kita hanya mampu menunggu.

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments