Oleh : Ramlo R Ramlo
Kalau saja aparat hukum di daerah ini bergairah melaksanakan tugasnya tidak bagaikan kurang darah, sangat mungkin sekali ratusan kepala dan bendahara sekolah bisa masuk penjara. Itu disebabkan para kepala dan bendahara sekolah telah melakukan berbagai kutipan atau pungutan liar (pungli) terhadap para guru. Tapi karena aparat hukum disini terkesan loyo , lemah dan lunglai, kemungkinan hal itu sangat tipis terjadi kecuali ada pihak-pihak tertentu yang menggiringnya dengan serius.
Lihat misal pungli yang mereka lakukan terhadap guru belum lama ini. Untuk mendapatkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru, para guru dipungli secara terang-terangan dan terbuka.
Dan seperti biasa, para guru yang dikenal
sebagai pahlawan tak berdaya itu cuma bisa pasrah dan ngonyo serta
nrimo.. Tak siapa pun yang ambil pusing, termasuk PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia) Simalungun yang sekarang dipimpin Tumpak Silitonga
sebagai ketua.
Sepertinya memang, perlu diterangkan disini bahwa Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun Drs Pintor Siahaan MSi pada 26 Agustus 2013 lalu menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru untuk guru SD, SMP, SMA/ SMK. SK dimaksud sebanyak 8576 untuk guru SD Negeri, 1929 untuk guru SMP Negeri, 768 guru SMA Negeri, serta 70 guru SMK Negeri. Total jenderal semuanya 11.343 orang.
Kesempatan itu pun segera dimanfaatkan oleh para kepala serta bendahara sekolah di daerah ini. Untuk mendapatkan SK tadi, para guru SD dibebankan masing-masing oleh Kepala SD sebesar Rp 200.000, para guru SMP dibebankan oleh masing-masing bendahara sekolahnya Rp 175.000, sedang untuk guru SMA/ SMK dibebankan masing-masing bendahara sekolah Rp 160.000. Caranya, dengan memotong dari gaji para guru pada saat penerimaan gaji Pebruari tahun ini.
Berjemaah
Berdasarkan penyelusuran yang saya lakukan, SK tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru itu merupakan sesuatu yang aneh dan ganjil. Masalahnya, SK itu ditandatangani oleh Drs Pintor Siahaan MSi padahal dia cuma seorang Plt belaka. Terus terang, saya tidak paham peraturan administrasi negara tapi saya cuma berpikir normatif seorang Plt tentu saja tidak berwenang untuk menerbitkan sebuah Surat Keputusan.
Sepertinya memang, perlu diterangkan disini bahwa Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun Drs Pintor Siahaan MSi pada 26 Agustus 2013 lalu menerbitkan SK (Surat Keputusan) tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru untuk guru SD, SMP, SMA/ SMK. SK dimaksud sebanyak 8576 untuk guru SD Negeri, 1929 untuk guru SMP Negeri, 768 guru SMA Negeri, serta 70 guru SMK Negeri. Total jenderal semuanya 11.343 orang.
Kesempatan itu pun segera dimanfaatkan oleh para kepala serta bendahara sekolah di daerah ini. Untuk mendapatkan SK tadi, para guru SD dibebankan masing-masing oleh Kepala SD sebesar Rp 200.000, para guru SMP dibebankan oleh masing-masing bendahara sekolahnya Rp 175.000, sedang untuk guru SMA/ SMK dibebankan masing-masing bendahara sekolah Rp 160.000. Caranya, dengan memotong dari gaji para guru pada saat penerimaan gaji Pebruari tahun ini.
Berjemaah
Berdasarkan penyelusuran yang saya lakukan, SK tentang Penyesuaian Jabatan Fungsional Guru itu merupakan sesuatu yang aneh dan ganjil. Masalahnya, SK itu ditandatangani oleh Drs Pintor Siahaan MSi padahal dia cuma seorang Plt belaka. Terus terang, saya tidak paham peraturan administrasi negara tapi saya cuma berpikir normatif seorang Plt tentu saja tidak berwenang untuk menerbitkan sebuah Surat Keputusan.
Dan itulah memang bedanya
seorang pejabat Plt dengan seorang pejabat definitif. Sementara Kepala
Bagian Orta Setdakab Simalungun tidak mau memberi penjelasan kepada saya
apakah seorang Plt memang berwenang untuk menerbitkan sebuah SK.
Yang saya tahu cuma, masing-masing kepala sekolah dan atau bendahara sekolah telah menyetorkan atau menyerahkan sebahagian besar uang yang mereka kutip tadi kepada seorang Boru Purba yang sekarang menjadi staf di Subbag Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun. Boru Purba sendiri yang saya coba hubungi siang tadi di kantornya tidak bisa bertemu dengan saya. Akibatnya, paparan saya ini pun tidak atau belum bisa saya tulis dengan terang.
Pintor Siahaan pun yang saya hubungi lewat telepon mengaku tidak tahu persis soal pungutan liar yang dilakukan oleh para kepala dan bendahara sekolah itu. Kata dia masih lewat telepon, urusan itu cuma diketahui oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun seorang marga Purba yang sekarang berada di Jakarta untuk membawa istrinya berobat.
Yang saya tahu cuma, masing-masing kepala sekolah dan atau bendahara sekolah telah menyetorkan atau menyerahkan sebahagian besar uang yang mereka kutip tadi kepada seorang Boru Purba yang sekarang menjadi staf di Subbag Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun. Boru Purba sendiri yang saya coba hubungi siang tadi di kantornya tidak bisa bertemu dengan saya. Akibatnya, paparan saya ini pun tidak atau belum bisa saya tulis dengan terang.
Pintor Siahaan pun yang saya hubungi lewat telepon mengaku tidak tahu persis soal pungutan liar yang dilakukan oleh para kepala dan bendahara sekolah itu. Kata dia masih lewat telepon, urusan itu cuma diketahui oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun seorang marga Purba yang sekarang berada di Jakarta untuk membawa istrinya berobat.
Sedang
Wasin Sinaga yang sekarang menjadi Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Simalungun malah lebih parah dibanding Pintor. Dia mengelak berdialog
dengan saya dengan alasan tengah rapat. Tapi setelah ditunggu
berjam-jam dan ditelepon lagi, Wasin enggan untuk mengangkat teleponnya.
Berdasarkan penyelusuran yang saya lakukan selanjutnya, para kepala sekolah dan atau bendahara sekolah telah menyetor Rp 150.000 dari yang dikutipnya dari setiap guru. Artinya kalau dijumlahkan seluruhnya yang diterima si Boru Purba staf di Sub Bagian Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Simalungun adalah Rp 150.000 x 11.343 = Rp 1.701.450.000,00. Suatu jumlah yang relatif besar.
Sudah barang tentu, uang sebanyak itu tidak dinikmati oleh si Boru Purba, apalagi dia cuma sebatas staf belaka. Saya meyakini pengumpulan itu hanya sekadar pelaksanaan dari inntruksi pimpinannya di Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun. Dan saya pun tidak yakin pula, kalau seluruh uang tadi dinikmati/ digunakan/ dipakai oleh oknum pimpinan Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun.
Berdasarkan penyelusuran yang saya lakukan selanjutnya, para kepala sekolah dan atau bendahara sekolah telah menyetor Rp 150.000 dari yang dikutipnya dari setiap guru. Artinya kalau dijumlahkan seluruhnya yang diterima si Boru Purba staf di Sub Bagian Tata Usaha pada Dinas Pendidikan Simalungun adalah Rp 150.000 x 11.343 = Rp 1.701.450.000,00. Suatu jumlah yang relatif besar.
Sudah barang tentu, uang sebanyak itu tidak dinikmati oleh si Boru Purba, apalagi dia cuma sebatas staf belaka. Saya meyakini pengumpulan itu hanya sekadar pelaksanaan dari inntruksi pimpinannya di Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun. Dan saya pun tidak yakin pula, kalau seluruh uang tadi dinikmati/ digunakan/ dipakai oleh oknum pimpinan Dinas Pendidikan Kabupaten Simalungun.
Saya pikir, inilah yang sangat perlu untuk
diselidiki oleh aparat hukum di daerah ini untuk mengungkap tabir
kejahatan yang dilakukan oleh petinggi negeri ini. Pasti saja semua ini
merupakan sebuah kejahatan berjemaah, meski pun penikmatnya belum tentu
berjemaah pula.
Sudah barang tentu saya tidak akan mengajari aparat hukum di daerah ini untuk mengusut kasus ini hingga terang dan jelas dan menyeret pelakunya ke penjara. Mengajari aparat hukum untuk menguak kasus hukum, tentu saja bagai mengajari ayam bertelur. Sebuah pekerjaan yang sia-sia.
Tapi kalau saya aparat hukum, saya akan memeriksa satu dua orang kepala sekolah serta satu dua orang bendahara sekolah dan meminta keterangan soal pungutun liar yang mereka lakukan. Saya juga akan meminta keterangan satu dua orang guru yang menjadi korban pungutan liar itu.
Sudah barang tentu saya tidak akan mengajari aparat hukum di daerah ini untuk mengusut kasus ini hingga terang dan jelas dan menyeret pelakunya ke penjara. Mengajari aparat hukum untuk menguak kasus hukum, tentu saja bagai mengajari ayam bertelur. Sebuah pekerjaan yang sia-sia.
Tapi kalau saya aparat hukum, saya akan memeriksa satu dua orang kepala sekolah serta satu dua orang bendahara sekolah dan meminta keterangan soal pungutun liar yang mereka lakukan. Saya juga akan meminta keterangan satu dua orang guru yang menjadi korban pungutan liar itu.
Dalam pikiran saya, sudah barang tentu mereka
akan memberi pengakuan dan dengan pengakuan itu saya akan dapat
menggiring persoalan ini hingga ke meja hijau. Di meja hijau nanti,
pasti para kepala dan bendahara sekolah tadi akan 'bernyanyi' dan
'nyanyian inilah' yang akan mengungkap tabir siapa pelaku dan siapa pula
penikmat.
Oalah kampungku. Guru pun memang kerap sekali dijadikan bagai sapi perahan.
____________________________________________________________________
Siantar Estate, 17 Pebruari 2014
Ramlo R Hutabarat
Oalah kampungku. Guru pun memang kerap sekali dijadikan bagai sapi perahan.
____________________________________________________________________
Siantar Estate, 17 Pebruari 2014
Ramlo R Hutabarat
0 Comments