Info Terkini

10/recent/ticker-posts

MEMANG TIDAK AKAN MUDAH MENJADI SENIMAN

Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan

(Ekstrasi dari hasil wawancara dengan Menna Purba Sigumonrong, salah satu personel Group Nalaingan).
Musik itu melodi, musik itu juga tragedi.

Musik itu menyenangkang tetapi tidak memberi pengharapan. Ini salah siapa? Mungkin telah menjadi salah musik itu sendiri. Mungkin juga musik itu punya kutukannya tersendiri. Ini hanya sebuah kemungkinan tetapi amat nyata.

Jika ini tidaklah sebuah kemungkinan tetapi itu adalah sebuah fakta bagi para seniman Simalungun itu sendiri.

Tursini Saragih yang berkibar dekade 1970-an dengan lirik lagu "Suratan Ou" dan suara memukai telah lenyap ditelan zaman. Tidak banyak yang tahu jika dia telah meninggal bahkan oleh warga yang pernah terhibur olehnya. Dia hanya didambakan seperti saat tampil memukau dengan bulang dan lipstik memerah di bibir dekade 1970-an lalu di Saribudolok.

Setelah semuanya berlalu, Tursini hanya tinggal nama. Mereka yang pernah terhibur tidak ingin menanyakan apalagi mendatangi proses pemakamannya. Akh, masih untung dia disebut namanya di tulisan ini, dan hanya itu yang ada.

Lina Damanik, juga seorang penyanyi dekadek 1970-an, tidak lebih dari sekadar parjuma-juma, berangkat pagi dan pulang larut senja dari mencangkul di ladang. Paling hanya seorang Sultan Saragih II, seseorang yang juga dicibirkan, yang mengingatnya baru-baru ini dengan membuatnya tampil di sebuah acara musikal.

Simon Sipayung penyanyi dekade 1970-an dengan rekaman suara, salah satunya "Jaga-Jaga Ma Ham Botou Da", hanya menjadi bahan ledekan dengan pelesetan "caka-caka" dari jaga-jaga. Suaranya yang masih melengking tetapi tidak lagi memukau pada Januari 2014 ketika tampil di sebuah acara di Saribudolok. Maklum, dia sudah tua, peot, jelek pula.

Bintang terpopuler dari Trio Spansel, salah satunya Sarudin, tak berbeda. Nada suaranya yang tinggi dengan lagi "Sirang Padan" tidak lagi menarik. Tempatnya sekarang menghibur bukan di sebuah hotel berbintang, walau hotel milik Batak sekali pun. Sarudin kini hanya menantikan lemparan recehan untuk penyambung hidup di sebuah lapo Jakpus, Lapo Tondongta.

Barangkali akan seperti itulah nasibnya Intan Saragih, Yeyen Marbun, Damma Silalahi, bahkan Jhon Eliaman Saragih kelak. Siapalah pula Bang Sion Damanik, yang pajangan sampul kasetnya di sebuah grup Facebook Simalungun saja tak menarik antusiasme.

Jangan pula cerita soal Grup Nalaingan, satu-satunya grup penyanyi Simalungun sejak Orde Lama hingga penghujung Dekade 1960-an. Nama Nalaingan telah mati seiring dengan matinya para personelnya. Kalau pun ada yang masih hidup seperti Menna Purba Sigumonrong berusia 87 tahun pada tahun 2004, juga hanya menantikan kematiannya semata seperti dia katakan sendiri.

Nama Group Nalaingan, yang pernah menghibur mantan Presiden Soekarno di Gubernuran Medan di mana Soekarno sangat suka melodi dan tarian "Manduda", tidak terdengar. Sekitar delapan personelnya yang selalu mendapatkan tepukan riuh rendah pendengar, tidak tidak ditepuki oleh hantu sekalipun.

Group Nalaingan, satu-satunya kelompok penyanyi Simalungun terkenal pada zamannya, dan disegani komponis besar Batak Toba, Nahum Situmorang, telah berlalu seiring berlalunya zaman. Nasib personelnya sama dan serupa serta sebangun dengan suara buram pita kaset zaman dulu, ywalau warna dan kekuatan melodi mereka masih terasa.

Menna yang pernah diledek karena bersama suaminya hingga usia tua ber-ronggeng, manronggeng, seperti katanya sendiri, juga gambaran tragedi itu sendiri. Dia kini tinggal di kontrakan gang kecil, untungnya tidak terlalu kumuh di bilangan Kelapa Gading. Nasibnya tragis, setragis perbedaan gedung bertingkat mewah di lingkungannya yang hanya seperti mencibirnya di rumahnya dengan kegiatan jualan kecil-kecilan seperti rotik bungkus plastik.

"Beginilah, tak apa apa ya, maklumlah, Inang hanya bisa ngontrak Mang," katanya pada saya yang di awal pertemuan disambut tangis.

Kenapa menangis Inang? "Lima puluh tahun aku menunggu siapa tahu ada yang tertarik. Inilah komposisi tiga puluh lagu yang indah dan bernilai tinggi dari Simalungun karya Taralamsyah. Tak seorang pun pernah tertarik pada lagu lagu ini. Kalau pun ada yang tertarik hanya ingin merekamnya untuk tujuan komersial semata sekadar biar laku."

"Aku tidak mau itu. Aku takut pesan Taralamsyah akan hilangnya warna melodi SImalungun jika diaransemen ulang dengan liukan yang salah. Biarlah tidak ada yang merekamnya kalau lagu itu menjadi rusak. Saya tidak mau melodi dan kalimatnya diubah seperti Gumisni Huting, tak mau aku."

Lagi, mengapa harus sampai menangis? "Terharu saja karena masih ada yang tertarik mengetahuinya."
Apa permintaan Inang? "Jika bisa ya, di buku itu, izinkan nama Nalaingan disebut-sebut. Itu saja. Setelah itu, saya sudah rela meninggal."

Beginilah nasib biduan, komponis. Nasib mereka hanya singkat-singkat sesingkat durasi lagu yang paling banter selama delapan menit.

Dimana apresiasi? Dimana nostalgia? Dimana dorongan pada warga yang ironisnya tetap menuntut sebuah kualitas tinggi?

Kurang tinggi apa kualitas Taralamsyah dan Sarudin?
Akhir kata, dimana perlindungan hak cipta? Dimana hak royalti?
Hukum perlindungan kekayaan intelektual pun tak mereka dapatkan lagi.
Oh musik, dan seni. Nasibmu sungguh tragis. Engaku memudar seiring berakhirnya sebuah putaran lagu.Oleh Simon Saragih
*)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments