Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Reputasi Taralamsyah Teruji

Rumah Kediaman Bapak (Alm) Taralamsyah di Jambi. Foto Simon Saragih
Oleh Simon Saragih
CONTOH TULISAN LENGKAP

Dia pernah menjadi rujukan bagi banyak orang untuk penulisan ilmiah tentang seni musik, budaya dan sejarah. Budaya adalah bagian dari iman. Demikian dikatakan seorang teolog Pastor Daniel Erwin Manullang, yang saat penulisan ini sedang menjabat sebagai Direktur Utama Bina Media Perintis, Medan. Ini adalah sebuah perusahaan percetakan milik Keuskupan Agung Medan.

Budaya terkait dengan halhal seperti budi pekerti, akal, juga kebiasaan-kebiasaan tradisional berisikan pesan-pesan moral, serta pemikiran-pemikiran komunitas. Orang yang memiliki etika, tata krama dan cinta harmoni, sebagai tuntutan budaya itu, dikatakan sebagai orang berbudaya.

Penuturan di bawah memperlihatkan betapa Taralamsyah telah menjadi salah satu pilar utama budaya dan dengan demikian juga menjadi salah satu pilar utama bagian dari iman itu sendiri.Faktanya, karya-karyanya telah menghubungkan orang-orang pada keluruhan sebuah rasa.

Musik tradisional merupakan bagian kecil dari budaya itu juga. Taralamsyah bukan saja profesional di bidang musik pop. Dia bahkan tergolong salah satu paling paham akan musik tradisional Simalungun, yakni musik gonrang (gendang). Ada muatan nilai-nilai dalam gonrang yang instrumennya terdiri dari sarune (serunai), gondang, gong dan dimainkan dalam sebuah harmoni. Irama apiknya menghasilkan bunyi hentakan diimbuhi liukan melodi sarune.

Musik gonrang memiliki judul-judul yang peruntukannya tergantung pada tema pesta yang sedang diadakan. Ada gonrang untuk ungkapan kebahagiaan bersama, seperti contoh Rondang Bintang di Simalungun. Ada gonrang untuk acara kematian dan lainnya.

Awam biasa tidak bisa memilah-milah nilai yang dikandung musik gonrang. Taralamsyah amat fasih dan bisa memberi interpretasi arti dan makna setiap musik gonrang.

Seorang musikolog AS, Arlin Dietrich Jansen pernah mendalami musik gonrang Simalungun. Dia bingung mencari bahan termasuk literatur gonrang saat Dietrich Jansen tinggal dua tahun sebagai Dosen Seni Musik di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, 1974 - 1976.

Saat itu Dietrich Jansen sedang mengejar gelar doktor (PhD) bidang musik di University of Washington, AS sembari mengajar. Pencarian tentang gonrang, yang dia katakan sebagai kekayaan Simalungun dan sangat layak didalami, membawanya berkenalan dengan J.E. Saragih yang mengatur pementasan gonrang. Dia pun kemudian berkenalan dengan Nokah Sinaga peniup sarune profesional saat berusia 39 tahun pada 1976.

Dietrich Jansen pun bertemu dengan J.G. Purba yang hidup dan berkembang di rumah adat serta bisa menuturkan kebiasaan lama atau tradisi Simalungun.

Taralamsyah luput dari pertemuan awalnya karena sudah berada di Jambi sejak 1971. Akan tetapi Dietrich Jansen tidak hanya ingin mendengar gonrang. Karena ini disertasi maka dia wajib menjelajahi konteks sejarah gonrang, bagaimana struktur musik gonrang terkait dengan sejarah. Lebih jauh lagi, dia ingi tahu apa fungsi musik gonrang pada masyarakat Simalungun dahulu dan sekarang.

Seperti ditulis oleh almarhum Pastor Bonifasius Harapan Saragih OFM Cap, di harian SIB, Juni 2008, musik gonrang tidak hanya merupakan ekspresi dan apresiasi musikal. “Gonrang memiliki makna dan fungsi yang sangat mendalam bagi masyarakat Simalungun. Gonrang turut berperan sebagai sarana komunikasi.

Gonrang juga merepresentasi secara simbolis nilai-nilai, struktur sosial dan perilaku kultur. Bahkan lebih jauh gonrang adalah peneguh ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Simalungun,” demikian almarhum Pastor Bonifasius .

Menabuh gonrang menunjukkan nilai magis sebuah acara dengan kadar nilai yang lebih tinggi dari musik biasa. Saat mendalami hal-hal ini Dietrich Jansen memerlukan pakar sejati. Dia adalah Taralamsyah. Tidak heran Dietrich Jansen menuliskan hal berikut ini:

“…Orang yang paling pakar sekaligus paling banyak berkontribusi dan komprehensif pada disertasi saya tentang gonrang adalah Taralamsyah Saragih. Selama saya tinggal di Sumatera Utara periode 1974 - 1976 dia menjadi rujukan yang disarankan orang-orang dalam rangka penyusunan disertasi ini.
Sayangnya saya tidak punya waktu untuk menemuinya langsung ke Jambi. Akan tetapi setelah kembali dan tiba di Amerika Serikat, saya melakukan korespondensi rutin dengannya. Taralamsyah selalu membalas segala pertanyaan saya. Ada tulisan tangannya yang sangat rapi dan bagus sebanyak 32 halaman secara keseluruhan.

Bahkan Taralamsyah melengkapi tulisan-tulisannya dengan bahan-bahan yang luput saya tanyakan tetapi dia tambahkan sendiri. Ini dia lakukan hanya demi menolong saya, sekaligus menggambarkan betapa berartinya musik gonrang secara pribadi pada Taralamsyah. Dia juga ingin hal itu menjadi masukan berarti pada disertasi saya.

Keterangan Taralamsyah merupakan sumber terbanyak dalam disertasi saya ini. Keterangan dan penjelasan darinya juga merupakan yang paling banyak dikutip dalam disertasi ini.

Tentu Dietrich Jansen menyebut beberapa nama penting di kata pembuka disertasi itu. Akan tetapi dia tuliskan juga, "Penghargaan tertinggi dan terbesar saya adalah untuk dia." Maksudnya kepada Taralamsyah. Dietrich Jansen pun meraih gelar PhD karena musik gonrang dari University of Washington, AS, tahun 1980.

Kalimat-kalimat itu ada pada kata pembuka disertasi berjudul "Gonrang music: its structure and functions in Simalungan Batak society in Sumatra".

Kekaguman pada Taralamsyah belum berakhir di situ. Bahkan ada yang ketakutan sendiri pada kemampuan alamiah Taralamsyah tentang sastra Simalungun. Usai menyelesaikan skripsi di Fakultas Keguruan Sastra Sejarah (FKSS) di IKIP Bandung pada tahun 1971 seseorang mengirimkan salinan skripsi berjudul “Fonologi Basa Simalungun”.

Si penulis skripsi DRS Henry Guntur Tarigan mengimbuhkan catatan berisikan, “Buat Bapak Taralamsyah Saragih untuk dicaci, dari penulis.” Dia tampak keder kalau-kalau skripsinya tentang bunyi-bunyi lisan bahasa Simalungun banyak yang berjumplitan saat mendeskripsikannya.

Taralamsyah kerap dikirimi tulisan atau buku yang sudah rampung. TRA Purba Tambak misalnya mengirimnya buku berjudul “Sejarah Simalungun”. Jika dianggap tidak pas, Taralamsyah akan memberikan catatan. Demikian juga sebaliknya dia tidak segan memberi pujian.

Untuk buku kiriman TRA Purba Tambak ini Taralamsyah menuliskan “Tidak benar”. Itu terutama untuk isi yang menyebutkan, bahwa hubungan dagang Melayu-Batak terhalang akibat sikap saling tidak percaya.

Dikatakan, Suku Batak lebih suka melakukan transaksi terbatas di pantai-pantai sungai. Keluar dari situ warga tak berani karena takut ditangkap dan dijadikan budak di tengah peperangan yang sering terjadi. Pihak yang kalah sering menjadi budak. Ancaman jadi budak juga bisa terjadi jika warga tidak membayar utang kepada para Raja.

Dalam tulisan-tulisannya tentang sejarah, Taralamsyah menyingkap sejarah kontak-kontak lintas suku yang sudah terjadi dalam sejarah Batak.

Para penulis lain juga mengirimkan tulisan walau Taralamsyah sudah bermukim di Jambi. Ini sebenarnya merupakan affirmasi dari apresiasi tersirat dan tersurat pada Taralamsyah. Penulis lain, veteran Letkol MD Purba pada tahun 1977 mengirimnya buku berjudul “Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun”, dan buku lain berjudul “Mengenal Sang Naualuh Damanik Pejuang.”

Pada tahun 1980 MD Purba mengirimkan catatan berupa tulisan, bahwa dia sedang mendalami sejarah perjuangan Rodahaim, kakeknya Taralamsyah. MD Ingin dapat kabar pasti jika dia sudah benar-benar menerima buku kirimannya.

Torehan-torehan karyanya memperlihatkan Taralamsyah sebagai figur multi-talenta yang berkualitas. Di musik dia terpandang, demikian juga soal seni tari, hingga silsilah marga sampai sejarah Simalungun.

Dalam berbagai perbincangan dan tulisan-tulisan resmi maupun tidak resmi, tidak ada yang setara dengannya. Jika ada tetapi tidak sekomprehensif Taralamsyah yang menguasai musik, tari, dan sejarah.

Hampir semua generasi sepakat memberi apresiasi pada kepiawaian Taralamsyah. Lingkungan dan pergaulan juga memperlihatkan siapa Taralamsyah. Dia komponis Simalungun yang disejajarkan dengan Djaga Depari seniman Karo, NahumSitumorang Senima nToba, L Manik seniman Dairi. Selain dekat dengan nama-nama di atas Taralamsyah juga dekat dengan Gordon Tobing yang terkenal dengan grup Suara Impola.

Jika disandingkan dengan nama tersohor itu, Taralamsyah tetap punya nilai plus. Dia melampaui nama-nama di atas yang terbatas pada kemampuan mereka sebagai komponis semata.

Merangkum prestasi dan reputasinya Taralamsyah, almarhum etnomusikolog Poltak Sinaga pernah menuangkan tulisan berjudul “PLURALITAS MUSIK ETNIK SUMATERA UTARA” di blog pribadinya pada 9 Januari 2011.

Poltak Sinaga menuliskan, “Riwayat hidup orang penting dan deskripsi benda-benda bersejarah cenderung menjadi bacaan yang sangat menarik, begitu juga dengan biografi para komponis, … Semua ini akan menjadi cermin untuk pembentukan persepsi, pendorong prespektif. Ini akan berkontribusi signifikan bagi perkembangan pengetahuan musik yang memberi warna terhadap kepustakaan dunia musik.”

Informasi tentang riwayat komponis dapat memberi penjelasan mengenai karya-karya kreatif meliputi fenomena sosiomusikologis dari waktu ke waktu. Di dalamnya termasuk perkembangan teknik komposisi, pengunaan dan rekayasa alat-alat musik, serta ragam teknik bermain musik yang lebih kompleks.

Poltak menambahkan Sumatera Utara bangga dengan nyanyian dari etnik-etnik seperti, Biring Manggis (Karo), Selayang Pandang (Melayu) .. dan masyarakat sangat menikmatinya. Ada pluralitas musik etnik Sumatera Utara yang bisa menjadi lahan studi untuk memahami keunikan dari tradisi berkesenian yang majemuk.

Sumatera Utara terdiri dari sejumlah etnik yang mencakup; Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, Pakpak-Dairi, Nias, dan Pesisir. Dari waktu ke waktu muncul musisi-musisi handal untuk zaman dan lingkungannya. Pada dasawarsa kedua abad ke-20 misalnya, Tilhang Gultom menggagasi genre seni pentas bergaya variety show di Sitamiang, Samosir. Ini kelak populer dengan sebutan Opera Batak.

.. Sejumlah pencipta lagu dan pemusik dari Sumatera Utara telah menorehkan catatan sejarah yang berarti. Diantaranya ada Lingling Sitepu, Orkes Nalaingan Simalungun, Pardolok Tolong Melody, Jaga Depari, Nahum Situmorang, Siddik Sitompul, Ismail Hutajulu, Taralamsyah Saragih, Romulus L.Tobing, Marihot Hutabarat (dengan kelompok Trio Marihot merekam album piringan hitam Inang Sarge yang dapat dianggap sebagai album musik jazz pertama di Indonesia) dan sebagainya.

Tradisi penciptaan lagu-lagu ini diteruskan oleh Charles Hutagalung, Rinto Harahap, Reynold Panggabean, Rizaldi Siagian, Darma Purba, Hilman Padang, Yoen Tarigan, Lamser Girsang dan banyak lagi pemusik kreatif yang potensial. Mereka telah menyumbangkan karya sekaligus menunjukkan musikalitas itu patut diperhitungkan.

Pada kategori musik seriosa, klasik, lagu nasional, paduan suara, religius muncul nama-nama Liberty Manik, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, Lily Suhairy, Binsar Sitompul, Nortir Simanungkalit, Alfred Simanjuntak, EL Pohan, Bonar Gultom, Jerry Tarigan, Trisutji Zulham, Ronald Pohan, Achmad Baqi.

Di dalamnya termasuk generasi, meskipun tidak seluruhnya berelasi kultural seperti Marusya Nainggolan, Arjuna Hutagalung, Ben M Pasaribu, Irwansyah Harahap, Erucakra Mahameru, Daud Kosasih dan lain-lainnya. Nama-nama ini memberi warna dalam perkembangan di Indonesia.

Setelah menderetkan nama-nama itu Poltak menyebut khusus Taralamsyah. “… Di satu sisi satu nama komponis dan penata tari Simalungun seperti tercecer dalam perjalanan kesenian Sumatera Utara khususnya di kalangan etnik Simalungun. Hidupnya bagai pepatah ‘habis manis sepah dibuang’. Dia adalah Taralamsyah Saragih yang telah banyak mencipta dan menggubah lagu-lagu rakyat dan tari daerah Simalungun.

Simalungun dan keseniannya terutama Taralamsyah seperti memiliki aura dan cahaya yang lebih kemilau di tengah sederet bintang musik. Bahkan Poltak hanya bisa melihat cahaya Taralamsyah meski di Simalungun itu sendiri telah silih berganti pemusik bermunculan.

“… Ketika saya mengamati karya musik Taralamsyah Saragih, setiap lagunya tertata dan tertulis rapi dengan penggunaan notasi musik Barat yang lengkap. Hal ini mengindikasikan bahwa komponis ini selain memiliki imajinasi musik yang baik, juga memiliki wawasan musik yang luas.”

Simaklah lagu-lagu gubahan Taralamsyah dengan judul-judul Serma Dengan-Dengan, Parsirangan, Sitalasari, Inggou Parjalang, Simodak-odak, Ilah Bolon, Poldung Sirotap Padan, dan puluhan lagu lainnya. Ini dapat menjadi sebuah studi kasus dalam transkripsi etnomusikologis untuk menemukan skala dan gaya vokal musik etnik Simalungun.

Bagi Poltak, karya-karya Taralamsyah dianggap sebagai ikon dan barometer tentang keidentikan musik etnis Simalungun.

“… Pada masa Orde Lama Taralamsyah telah memperkenalkan keragaman musik dan tari Sumatera Utara ke negeri Cina. Namun pada akhirnya dia dilupakan orang dan kemudian berkarya di Provinsi Jambi untuk menginventarisir musik dan tari Jambi, lalu kembali lagi dilupakan.”

“Apakah harus begini?”demikian Poltak menutup tulisannya. Dia lahir di Deli Serdang, 1 Nopember 1961. Sebelum wafat dia adalah guru di SMK Negeri 11 Medan (Sekolah Menengah Musik) dan juga juga mengajar di Fakultas Kesenian UHN Medan.

Poltak menyelesaikan studi S1 Prodi Seni Musik, Jurusan Sendratasik FPBS IKIP Medan Tahun 1996 dan melanjutkan Program Magister Program studi Antropologi Sosial UNIMED Medan. Dia gemar mengamati perkembangan dan degradasi berbagai genre musik dan menuliskannya di media berbagai media.

Poltak pernah aktif dan berpartisipasi di dunia musik. Dia pernah menjadi instruktur pada pelatihan dan pembelajaran musik bagi guru-guru SD se-Sumatera Utara. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris bidang advokasi asosiasi Pendidik Seni Indonesia (APSI) Sumatera Utara.

Poltak juga seorang penulis buku Seni Musik Untuk Tingkat SD, SMP dan SMA, dan buku referensi musik.Dari profesi dan pendalaman itulah Poltak melihat kelebihan dari seorang Taralamsyah.
 **********
  • Munthe dan 2 lainnya menyukai ini.
  • Sultan Saragih II Terharu aku bah...benar..

  • Jaya Silangit Purba Lungun ni do..

  • Nikolas Saragih Munthe merinding uhur.......

  • Simon Saragih Ha ha ha.. Nasiam on nean tene.. He he he..

  • Simon Saragih Jujur, setiap kali saya menulis soal Taralamsyah ini, merebak dua hal. Kebesaran sebuah karya satu sisi, juga iba yang menyobek nurani saya..

    Eak, hulanjuthon pe manulis najenges on..

  • Nikolas Saragih Munthe jai tubu sukkun-sukkun ibagas uhur bang Simon Saragih,......hadunganni ase tubu karya abadi ni oppung TS on na paling berpengaruh halani aha do??? halani tibal ni hagoluhan na ibobanni do atek ilham na ro hubani uhurni ??? age hona pangahap "ciri" khas ni......on sangana marulak-ulak hubogei doding: etah mangalop boru pakon sitalasari.....hassi domma ibalut bani musik modern dapot do lalap sibbur ni abbulu ai.......hahahaha

  • Simon Saragih Sampur baur ma ganupan ai ambia.. Ha ha ha...
    Adong ilham adong pandelean ni...

  • Simon Saragih Jika diurutkan lagi, masih banyak ilustrasi penguat eksistensi Taralamsyah. Ibu Lesteria Sipayung seorang pensiunan guru SD di Saribudolok bertutur soal peran Taralamsyah dalam penciptaan lagu-lagu Katolik Simalungun.

    Ini karena dalam waktu lama Kato
    lik Simalungun memiliki lagu-lagu dalam Bahasa Latin dari buku bernama “Jubilate” (yang artinya Mari Bernanyi).

    Ada kebutuhan akan lagu-lagu rohani bagi Simalungun Katolik pada decade 1960-an terutama setelah Konsili Vatikan II. Almarhum misionaris Pastor Elpidius Van Duijnhoven kemudian mencari-cari komponis khas dan unik Simalungun. Setelah melacak-lacak, hanya satu nama yang muncul secara aklamasi, yakni Tralamsyah. Elpidius pun berangkat ke Medan dimana Taralamsyah bermukim.

    Taralamsyah tidak menolak. Dia dengan cepat menggubah beberapa lagu Simalungun Katolik. Salah satu yang rutin dinyanyikan di gereja-gereja sampai sekarang ini adalah lagu berjudul “Namapansing” (Yang Kudus).

    Mengapa Taralamsyah? Selain handal dia memang dianggap perwakilan asli Simalungun yang memiliki berbagai aksen dan logat. Simalungun Sinraya adalah khas utama Simalungun sehingga Taralamsyah yang lahir di Pematangraya pun menjadi acuan utama. “Ïya benar, saya masih ingat yang namanya Elpidius itu. Dia dulu sering mampir ke rumah kami,” kata Edy Taralamsyah.

  • Nikolas Saragih Munthe sattabi bani loloan bolon on. halani megah ni uhur do on. ijon husolothon sada doding Rohani Kristiani Simalungun na igubah ni Op TS,,,,napinido ni Op.Duynhoven songon na isahaphon bang Simon iatas in,,,

  • Simon Saragih Ai piga doding ge karya ni almarhum ai untuk lagu rohani ai ambia Nikolas Saragih Munthe?

  • Nikolas Saragih Munthe huahap ham ma botohan ase ahu bang,,,,,atek inangtua L.boru payung ai,,,,,sattabi bang,,,,,,

  • Simon Saragih Ai do nean. Lape boi huhubungi ambia. Off lalap HP ni botou ai




SUMBER PENYUSUNAN BUKU 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments