Info Terkini

10/recent/ticker-posts

KEINDAHAN DAN KEGELISAHAN DOLOG SIMARSOLPAH

Foto Oleh  Andy Hotmartuah Girsang

* Permenungan Etnis
Menerawang dari ketinggian Dolog Simarsolpah, akan terlihat hamparan tano Simalungun yang klasik. Dari kejauhan seperti tiada yang berubah, dan Simalungun seakan tetap seperti dulu. Terasa keindahan serta terbayang para mahajana Simalungun yang dulu mewarnainya.
Dengan iringan melodi Pining Anjei, serasa ingin di-anjeihon ke seantero Simalungun dengan keindahan Horisan Haranggaol, Tongging, serta hamparan hijau dedaunan di perkebunan.
Akan terasa sambutan hangat dan menyejukkan membaca kalimat di gapura saat memasuki Kabupaten Simalungun dari arah Tebing. “Horas nasiam hu Simalungun Jaya.” Berbelok ke arah Tanah Jawa akan terdapat nama-nama Simalungun kuno seperti Pasir Mandogei. Ada aksen Simalungun kuno yang tidak akrab lagi di telinga tetapi mendorong pendengaran ingin memahaminya.
Belokan jalan dan rindangnya pepohonan Siantar-Saribudolok memunculkan aroma indah Simalungun. Celutukan warga di kedai dan ucapan kanak-kanak di pinggir jalan dengan aneka aksen Simalungun sesuai daerah tinggalnya sudah cukup memberikan kebanggaan bagi perantau tentang kesadaran etnisnya.
Mungkin hal seperti inilah yang pernah dirasakan almarhum Taralamsyah sehingga dia menumpahkan cita rasanya tentang Simalungun ke dalam sebuah lagi berjudul “Inggou Parlajang”. Simalungun na loppou jenges, talun ni pe appar do songon apei nabayu. Ini mengusik dan menyemprotkan adrenalin ke-Simalungun-an.
INGGOU PARLAJANG
INGGOU PARLAJANG
Tarsunggul au tanoh haturunan 
Simalungun naloppou jenges
Simada tunggung
Dolog riris marsikawahan
Talun ni pe appar do songon
Apei nabayu ……
Nai do homa suan-suanan
Tabun mombur bai passarian
Na so mahoyu
Ref. Andigan au mulak hu Simalungun,
Manjalo tuah bolon, hidorat na rugun?
Hadap marlajang pe au
Ham do rupei na ottou
Mulak pe au, O Simalungun ou!
Masa tene parana, anakboru nahinan
Na maruppasa, ‘ge martalimbun
Dodingni pe lappot malungun
Pataridah goluhni adat
Na so taruyun
Gualni pe sirsir, tor-tor ni
Pataridah megah ni uhur
Sonang goluhni
Mengena dan pas. Hampir semua lahan tumbuh tanaman apa pun dan hampir semua suku pun datang mengerumuninya. Tanah yang terberkati dan berlimpah rejeki alam. Terletak di perlintasan dan dilalui siapa saja yang datang dari Utara dan Selatan Sumatera. Bumi yang makmur dan warga yang ramah.

Inilah bumi yang setiap liburan Juni apalagi Desember selalu memanggil para perantau datang pulang. Inilah bumi yang selalu memanggil para perantau dan dengan senang hati mengadakan acara adat, acara keluarga yang rutin dilakukan dalam periode tertentu. Hati pun secara misterius serasa terdorong untuk turut berdendang, “Ou Simalungun na jenges ou.”

Ini adalah kebiasaan spontan yang tak pernah lekang dengan berlalunya zaman. Ini meresap karena selalu seperti menyergap kalbu Simalungun.

Namun demikian keindahan ini tidak saja memberikan berkat tetapi sekaligus juga pernah memberikan kutukannya. Keterlenaan pada kenyamanan dan sikap terbuka tanpa kesadaran tinggi telah pernah membuatnya gemuruh dengan isak tangis. Bahkan pernah pula daerah ini seperti ajang lautan “air merah’.
Jembatan Huta Iling menjadi saksi bisu terkaparnya seorang Raja di Simalungun. Sebuah rumah kosong melompong dan tetap terkesan angker masih bertahan di sebuah sudut desa Haranggaol. Inilah bagian dari lokasi pemutusan nyawa-nyawa para raja dan keturunannya serta para elitenya.
Mereka yang selamat seperti tidak berdaya menyaksikan segala prahara masa lalu.
Para “Poldung Sirotap Padan” seperti salah satu judul lagu Taralamyah telah menodai keasrian Simalungun. Para “Poldung” internal dan eksternal pernah bersatu padu secara sadar atau tidak mengacaukan pilar-pilar penerus Simalungun dan pilar-pilar penopang kerangka jati diri Simalungun zaman dulu.
Dulu ada cerita, pendatang ke Simalungun akan menjadi terasing secara otomatis jika dia tidak memakai marga yang dipersepsikan memiliki ahap Simalungun. Barangkali ini merupakan kontrak sosial yang terlalu ketat tetapi tidak ada yang tersiksa sampai punah karena kontrak sosial ala Simalungun ini.

Kontrak sosial ini sudah lentur atau mungkin juga luntur. Kontrak sosial baru tak tertulis meraja lela. Ini adalah bawaan zaman dan mungkin juga bagian dari kutukan itu sendiri. Prinsip sama rasa dan sama rata menancapkan tiangnya sendiri dan dengan identitasnya sendiri.

Akan tetapi jika non-Simalungun berhak berdiri tegak dengan identitasnya ketika sudah berada di Simalungun, tentunya Simalungun itu sendiri pun berhak tegak dengan identitasnya. Ini bukan untuk saling tegak dan antagonis tetapi karena setiap manusia memang terlahir membawa dalam dirinya sebuah identitas, yakni etnis.

Identitas etnis menjadi semacam darah sebuah komunitas. Itu saja alasannya sehingga etnis Simalungun pun berhak dan wajib sadar akan dirinya. Maka tidak heran jika dosen Unimed Medan, Erond L Damanik di blog-nya menuliskan artikel berjudul “AHAP SIMALUNGUN: TINJAUAN SOSIOHISTORIS DAN KULTURAL” (http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/ahap-simalungun-tinjauan-sosiohistoris-dan-kultural/).
”Ethnic identity is a powerfull phenomenonn. It is powerfull both at the affective level when it touches us in ways mysterius and frequently unconsciously and at the level of strategy, where consciously manipulate it” (Royce, 1982:1) “…to use ethnic identity and manuver within in one must perform adequately. That is display certain features and behaviour sucsesfully. At the same time, decision to chose ethnicity as a strategy is subjective one”. (van den Berghe,1976:242)

Itulah kutipan awal dalam artikelnya dari buku berjudul “Ethnic Identity: Strategies of Diversity Hardcover” karya Anya Peterson Royce. Satu lagi, dia kutip “The Ethnic Phenomenon” karya Pierre L Van den Berghe.

Artinya, identitas etnis adalah sebuah fenomena yang dahsyat. Dia dahsyat karena mampu mengendalikan emosi seseorang secara misterius dan sering tanpa disadari oleh pemilik etnis itu. Dan di tahap strategi identitas etnis itu secara sadar telah dimanipulasi.

Dengan kata lain identitas etnis memanggil dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Identitas etnis telah dipakai sebagai salah satu cara untuk sebuah strategi, termasuk di dalamnya susunan langkah dan kerangka.

Akan tetapi diingatkan juga bahwa memanfaatkan identitas etnis dan melakukan manuver berdasarkan etnis, seseorang harus berkinerja secara memadai alias tidak bisa tanggung atau suam-suam kuku. Seseorang tidak lagi cukup hanya sekadar berucap bahwa dia seorang etnis, dalam hal ini etnis Simalungun. Harus ada gambaran-gambaran nyata dari tindakan dan harus ada perilaku-perilaku tertentu yang dilakukan dan dijalankan secara sukses.

Pada saat bersamaan, pemanfataan identitas etnis sebagai strategi, merupakan hal yang subyektif, tidak sama bagi setiap orang. Ini benar adanya. Bisa saja sentimen etnis dipakai atau disetir untuk kepentingan pribadi dan terkadang bias. Dalam hal pemilu misalnya, identitas etnis turut dimainkan untuk memengaruhi massa.

Dalam konteks ini, penulisan buku Taralamsyah, identitas etnis harus dimanfaatkan dan dimanipulasi demi kepentingan dan kelestarian etnis Simalungun agar memiliki pijakan lebih dalam. Etnis itu harus dimanipulasi demi kepentingan jangka panjang atau kepentingan abadi Simalungun, seabadi eksistensi etnis Simalungun.

Jika untuk kepentingan sendiri dan jika untuk kepentingan dangkal, katakanlah demi jabatan tanpa tanggung jawab moral untuk pelestarian etnis, maka pemanfaatan identitas etnis akan tenggelam bahkan etnis itu sendiri pun bisa turut tenggelam.

Keutuhan Simalungun, pelestarian pilar-pilar Simalungun yang berterima secara sukarela, dan berlaku bagi mayoritas, serta tanpa paksaan, adalah hal paling fundamental.

Tambahan pula, penyetiran identitas etnis harus mencegah ekstremisme luar batas. Penyetiran emosi identitas etnis harus sebatas penguatan jati diri sehingga tidak mudah digoyahkan. Penguatan identitas ini dan pengujuhan pijakannya amat perlu. Ini urgen untuk mengantisipasi kenakalan-kenakalan para “poldung” atau sekke (mata-mata dalam prokem masa silam Bahasa Simalungun).

Karena demikianlah tuntutan dari sebuah etnis. Dia harus bisa bertengger tetapi tetap dengan menghargai dan menghormati etnis lain yang berdampingan dengannya. Dengan demikian Simalungun akan tetap dalam koridor “Sumpah Palapa” Gadjah Mada’.

Ini karena identitas etnis Simalungun itu berjejer sejak awal di antara berbagai etnis lain di Nusantara. Harmoni, walau dia kuat pada akar identitasnya, adalah semacam kewajiban.

Akan tetapi Simalungun pun berhak menuntut identitas lain menjalankan harmoni, dan bukan pula menisbikan apalagi melakukan genosida pada Simalungun. Hal ini, penisbian, akan berdampak pada pencarian jati diri generasi Simalungun masa depan, apalagi saat dia ingat leluhurnya yang pernah ada dan bertumbuh serta dimakamkan di bumi Simalungun.

Maka tidak heran jika pada judul ada kalimat “Dolok Simarsolpah Memanggil. Simalungun tidak lagi hanya cukup dengan memiliki nama-nama daerah yang menggunakan istilah Simalungun. Bumi Simalungun harus memiliki manusianya sendiri, penjunjung kukuh identitasnya..

Jika ini tidak terjadi, maka akan ada fenomena seperti kota Chicago (artinya bawang putih dalam salah satu aksen Bahasa Indian) tetapi tidak lagi pernah dihuni apalagi didominasi para Indian AS.

Tulisan Taralamsyah dengan demikian tidak saja sekadar berhasil menorehkan kenangan tentangnya, tetapi sekaligus menorehkan impiannya tentang Simalungun, yang harus menghargai Simalungun-nya sendiri.
Bagaimana menegakkan identitas etnis ini? Salah satu yang disarankan agar bertindaklah memadai dari bidang masing-masing.(*)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments