Info Terkini

10/recent/ticker-posts

TUAN BOSAR SUMALAM


* Napasnya Berakhir di Sibuntuon
Bagaimana perasaan Anda? Demikian pertanyaan awal pada Kamen Purba Dasuha, putra Tuan Bosar Sumalam, penguasa di Pematang Panei. Tuan Bosar adalah korban revolusi sosial di tahun 1946 dan termasuk sasaran pertama para laskar revolusi.

“Kalau soal perasaan: Aha ma dokkononhu apala perasaan? Anggo perasaan ge, iya, sedih ma ge, anggo ai. Naha ma. Orangtua pe iseat. Harta pe, habis ganup! Tading maetek ma hanami.”

Demikian Kamen Purba Dasuha, kelahiran Juli 1937. Dia salah satu putra Tuan Pematang Panei, Tuan Bosar Sumalam. Di batu nisannya tertera kelahiran tahun 1886 dan wafat pada 4 Maret 1946.

Tuan Bosar Sumalam langsung jadi sasaran sehari setelah revolusi meletus di Karo, yang dimulai pada 3 Maret.

Tragedi ini dua kali perih, karena Saragih Ras adalah penggerak utama. Dua kali perih, karena Saragih Ras adalah keponakan langsung dari Raja Panei, yang bermarkas di Panei Tongah, yang membawahi partuanan di wilayah Kerajaan Panei, termasuk Pematang Panei.

Korban di awal revolusi dari pihak Kerajaan Panei dan Pematang Panei bukan hanya satu. Beberapa anggota keluarga turut menjadi korban, dengan aksi sadisme di Sibuttuon, Kecamatan Dolog Pardamean.
Ayahnya Profesor Boas, Lawei Kandungnya Kamen, juga turut jadi korban.

Saat itu Kamen berusia 9 tahun. Saat kejadian itu dia dan sejumlah anggota keluarga sedang berada di ladang mereka di Naga Huta, di pinggiran kota Pematang Siantar. Karena itu dia tidak menyaksikan langsung tragedi itu. Namun penuturan berulang-ulang tentang kisah itu membekas jelas seolah-olah rangkaian kejadian ada di depan mata.

Ketika ditanya, apakah dia sedih, Kamen terkesan sangat enggan memulai cerita. Lidahnya seperti kelu dan menghambat penuturannya. Terkesan, terlalu pahit sekaligus terlalu berat menguraikan apa yang telah terjadi. Karena itu, Kamen berkata, apa yang sudah terjadi ya sudahlah, telah terjadi. "Ai, sondia ma, tong do manghatai diri diri anggo iulak-ulak kisah on. Ai sedo ise. Keturunan ni pelaku ai pe panagolanhu do homa. Kan tong ma keluarga diri ai ge."

Perlu taktik khusus untuk mendorongnya bercerita. Kamen pun melanjutkan kisah. Namun kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya seret seolah-olah tetap tidak ingin semua itu ditanya-tanya lagi. Tampaknya masalah bukan soal kepahitan semata, tetapi soal konflik batin yang susah diterima akal. Penuturuannya akan bisa membuat orang paham akan hal itu.

“Sanggah ai, pas hanami modom I juma, sogot na iboto ma. Sonai do kejadian hape,” kata Kamen Purba Dasuha. Artinya, “Saat kejadian itu kami sedang tidur di lading. Besok kami dapatlah berita, bahwa begitulah kejadiannya.”

Bosar Sumalam sebenarnya mendapatkan perlindungan dari pasukan pengamanan kerajaan tetapi tak berdaya menghadapi kelompok penyerang bersenjata dengan jumlah yang lebih banyak. Terlalu memilukan jika semua kisah nyata itu diulangi secara persis karena memang amat jauh dari tata krama perang sekali pun, dimana penembakan atau pembunuhan, harusnya tidak sadis, kecuali tidak ada pilihan.

Bayangkan saja, ketika Osama Bin Laden tewas dalam serangan AS, jasadnya dimakamkan secara agama di lautan. Gambar-gambar penyerangan pun diusahakan untuk tidak muncul di media. Pemerintah AS merahasiakan betul detil dari cara serangan, yang diduga kuat pasti juga jauh dari aksi manusiawi. Akan tetapi intinya, pemerintah AS masih tetap mencoba melakukan sebuah penutupan ketat rahasia cara penyerangan, katakanlah pembunuhan Osama bin Laden.
To be continued…..(Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments