Oleh David E. Purba
FALSAFAH ‘SAPANGAMBAI MANOKTOK HITEI’
sering kita dengar. Kalimat Ini adalah khas dari suku Simalungun,
maknanya begitu dalam dan filosofis. Saya mencoba menerjemahkan ungkapan
atau pesan kearifan lokal ini sebagai berikut: “Bergotong-royong demi tujuan mulia.”
Pengertian Saya…
Menurut
saya dalam kata “gotong-royong” ini telah mencerminkan spirit
‘kesadaran diri’, ‘keharmonisan derap langkah’, ‘sikap komunal yang
saling asah, asuh dan asih’ dalam masyarakat Simalungun – warisan sikap, kearifan leluhur Simalungun dalam menata, menghidupi hubungan ideal dalam bermasyarakat. Ya, sebuah sifat dan karakter masyarakat komunal – Huta Adat, kampung adat dahulunya.
Huta adat memiliki sifat, ciri; bergotong-royong.
Dalam huta adat yang menerapkan budaya tradisi khas Simalungun selalu
mengedepankan sikap gotong-royong karena inilah inti tujuan sebuah huta
adat. Sikap gotong-royong ini dipertegas lagi dengan adanya sebuah tujuan. Untuk apa bergotong-royong? Atau kenapa komunitas huta adat dahulunya mesti bergotong-royong?
Bergotong-royong demi Tujuan Mulia
Hita halak Simalungun – kita suku Simalungun – bergotong-royong semata-mata adalah demi tujuan mulia. Masyarakat huta adat – desa adat
– suku Simalungun dahulunya melandaskan hubungan komunalnya adalah demi
kebahagian bersama, kesejahteraan bersama, keamanan bersama dan
kemakmuran bersama. Landasannya adalah saling asah, asuh dan asih.
Yang kuat menopang yang lemah, yang lemah membuka diri untuk belajar
sehingga tidak menjadi beban. Jadi makna gotong-royong di sini dimaknai
untuk mencapai kemuliaan manusia itu sendiri. Lalu apakah kemuliaan
manusia itu? Meraih kebahagian lahir batin! Semua kekayaan materi, flora
dan fauna didedikasikan demi kebahagian penduduk huta adat tadi.
Itulah idealnya. Bergotong-royong demi (pilihan) tujuan yang memuliakan kemanusiaan itu sendiri. Jadi ada sikap untuk selalu MEMILIH tindakan yang memuliakan hidup bersama. Terdengar idealis bukan? Namun hal ini sangat mungkin terjadi.
Tujuan
mulia, berarti tujuan itu mencerminkan kemulian diri – komunitas sebuah
huta adat. Kemuliaan tentu berbeda dengan kesenangan semu. Kemulian berarti selaras dengan alam dan hukum alam serta sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. (baca tulisan penulis sebelumnya; Siparutang Do Ahu Bani Simalungun, yang menjelaskan 5 hutang yang dimiliki manusia sejak lahir).
Selaras dengan Alam
Jadi ketika kata Gotong-royong dipadukan dengan kemuliaan – tujuan yang mulia, pastilah bermakna keselarasan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal – kesetaraan, keadilan, kebahagiaan, cinta, dan kasih.
Setiap tujuan yang hendak dicapai itu pastilah demi kemuliaan
sekelompok manusia yang jelas-jelas tidak merugikan sekelompok manusia
lainnya. Jadi kemuliaan itu berlaku universal.
Bergotong-royong
untuk memanipulasi orang lain tepatkah? Korupsi kolektif dapat disebut
bentuk gotong-royong kah? Dapatkah kita bergotong-royong hanya demi
kesenangan kelompok kita saja? Marga kita saja? Huta kita saja? Partai kita saja? Tidak. Tujuan seperti itu tidak memulian diri.
Silahkan
meninggikan derajat diri sendiri tanpa perlu merendahkan pihak orang
lain. Tetapi selalulah kita sebagai orang Simalungun untuk menghormati
orang lain, suku lain. Di satu sisi, kita pun perlu memberdaya diri
kita. Ini perlu kita renungkan. Artinya kebenaran itu adalah universal
sifatnya.
Etah Patunggunghon Simalungun
Etah Patunggunghon Simalungun– mari memuliakan Simalungun
– dengan prinsip gotong-royong yang masih relevan itu. Terlebih pada
zaman sekarang, ketika suku Simalungun belum dapat menjadi Tuan Rumah – Suhut – yang ‘berdaya’ di kampung halamannya sendiri. Hita halak Simalungun – kita suku Simalungun adalah merupakan SUHUT di kotamadya Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun serta daerah lainnya yang dahulunya dipungkah – dibuka – leluhur Simalungun.
Etah – mari - membangun kampung halaman kita dengan semangat Sapangambei Manoktok Hitei ini. Hita lang pala
– kita tidak perlu – merendahkan suku-suku lainnya yang telah hidup
bersama dengan kita. Dan jangan pula membiarkan halak Simalungun tidak
berdaya di atas tanah leluhurnya, membiarkan budaya dan tradisi
terpinggirkan, terabaikan di rumah sendiri. Jangan.
Jangan
pula kita biarkan sekelompok orang meninggikan kelompoknya, kepentingan
kelompoknya tanpa menaruh hormat bagi kita sebagai keturunan Sipukkah huta
– keturunan leluhur pendiri desa-desa di Simalungun. Kita tidak bisa
mengabaikan tugas dan tanggung tawab kita – Halak Simalungun – sebagai
SUHUT yang mewarisi budaya dan tradisi leluhur.
Etah Mar-‘Sapangambei Manoktok Hitei’ Menyelamatkan Warisan Budaya Simalungun
Apa jadinya jika semua seni tradisi kita itu baru terlihat keberadaannya hanya ketika di atas panggung saja?
Di manakah rumah sesungguhnya seni tradisi kita saat ini? Bukankah
sejatinya seni tradisi itu hidup menyatu dalam keseharian para pegiat
seni tradisi itu? Bukankah semestinya seni tradisi itu memiliki rumah
yakni semacam huta? Inilah apa yang disebut akar dari entitas hidup
kebudayaan Simalungun. Sebuah huta (adat) para pegiat seni tradisi
–terlepas dari besar kecilnya. Terlebih saat ini sangat dibutuhkan.
Apa jadinya jika lembaga-lembaga Hasimalungunan
– yang bersifat Simalungun – belum bersinergi melakukan atau bahkan
belum membangun fondasi fundamental kebudayaan Simalungun. Alih-alih
bersinergi, yang ada malah ‘riuh’ dalam perselisihan pandangan dan
kepentingan.
Sebagi suhut di kampung halaman, kita mesti merumuskan apa itu Kepentingan Halak Simalungun sebagai keturunan Sipukkah Huta.
Tragisnya lagi, kita bahkan belum berhasil atau beranjak untuk
merumuskan “Kepentingan Halak Simalungun sebagai Keturunan Sipukkah
Huta”. Jadi wajar saja Halak Simalungun menjadi sasaran, objek berbagai
kelompok kepentingan di kampung halaman termasuk oleh Pemda, partai
politik, ormas lainnya dll.. Sadarkah kita akan hal ini?
Sebelum
situasi semakin memburuk, sebelum hutan-hutan kita gundul, sebelum
potensi Masyarakat Hukum Adat Simalungun benar-benar ditelan bumi,
sebelum kita terpinggirkan di kampung halaman sendiri, maka etah hita halak Simalungun marharoan bolon patorsahon haganuapn on – bergotong-royong memperbaiki, menata situasi yang ada. Mar-Sapangambei Manoktok Hitei ma hita. Etah…
FALSAFAH ‘SAPANGAMBAI MANOKTOK HITEI’ sering kita dengar. Kalimat Ini adalah
khas dari suku Simalungun, maknanya begitu dalam dan filosofis. Saya
mencoba menerjemahkan ungkapan atau pesan kearifan lokal ini sebagai
berikut: “Bergotong-royong demi tujuan mulia.”
Pengertian Saya…
Menurut saya dalam kata “gotong-royong” ini telah
mencerminkan spirit ‘kesadaran diri’, ‘keharmonisan derap langkah’,
‘sikap komunal yang saling asah, asuh dan asih’ dalam masyarakat
Simalungun – warisan sikap, kearifan leluhur Simalungun dalam menata, menghidupi hubungan ideal dalam bermasyarakat. Ya, sebuah sifat dan karakter masyarakat komunal – Huta Adat, kampung adat dahulunya.
Huta adat memiliki sifat, ciri; bergotong-royong.
Dalam huta adat yang menerapkan budaya tradisi khas Simalungun selalu
mengedepankan sikap gotong-royong karena inilah inti tujuan sebuah huta
adat. Sikap gotong-royong ini dipertegas lagi dengan adanya sebuah tujuan. Untuk apa bergotong-royong? Atau kenapa komunitas huta adat dahulunya mesti bergotong-royong?
Bergotong-royong demi Tujuan Mulia
Hita halak Simalungun – kita suku Simalungun – bergotong-royong semata-mata adalah demi tujuan mulia. Masyarakat huta adat – desa adat
– suku Simalungun dahulunya melandaskan hubungan komunalnya adalah demi
kebahagian bersama, kesejahteraan bersama, keamanan bersama dan
kemakmuran bersama. Landasannya adalah saling asah, asuh dan asih.
Yang kuat menopang yang lemah, yang lemah membuka diri untuk belajar
sehingga tidak menjadi beban. Jadi makna gotong-royong di sini dimaknai
untuk mencapai kemuliaan manusia itu sendiri. Lalu apakah kemuliaan
manusia itu? Meraih kebahagian lahir batin! Semua kekayaan materi, flora
dan fauna didedikasikan demi kebahagian penduduk huta adat tadi.
Itulah idealnya. Bergotong-royong demi (pilihan) tujuan yang memuliakan kemanusiaan itu sendiri. Jadi ada sikap untuk selalu MEMILIH tindakan yang memuliakan hidup bersama. Terdengar idealis bukan? Namun hal ini sangat mungkin terjadi.
Tujuan
mulia, berarti tujuan itu mencerminkan kemulian diri – komunitas sebuah
huta adat. Kemuliaan tentu berbeda dengan kesenangan semu. Kemulian berarti selaras dengan alam dan hukum alam serta sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. (baca tulisan penulis sebelumnya; Siparutang Do Ahu Bani Simalungun, yang menjelaskan 5 hutang yang dimiliki manusia sejak lahir).
Selaras dengan Alam
Jadi ketika kata Gotong-royong dipadukan dengan kemuliaan – tujuan yang mulia, pastilah bermakna keselarasan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal – kesetaraan, keadilan, kebahagiaan, cinta, dan kasih.
Setiap tujuan yang hendak dicapai itu pastilah demi kemuliaan
sekelompok manusia yang jelas-jelas tidak merugikan sekelompok manusia
lainnya. Jadi kemuliaan itu berlaku universal.
Bergotong-royong
untuk memanipulasi orang lain tepatkah? Korupsi kolektif dapat disebut
bentuk gotong-royong kah? Dapatkah kita bergotong-royong hanya demi
kesenangan kelompok kita saja? Marga kita saja? Huta kita saja? Partai kita saja? Tidak. Tujuan seperti itu tidak memulian diri.
Silahkan
meninggikan derajat diri sendiri tanpa perlu merendahkan pihak orang
lain. Tetapi selalulah kita sebagai orang Simalungun untuk menghormati
orang lain, suku lain. Di satu sisi, kita pun perlu memberdaya diri
kita. Ini perlu kita renungkan. Artinya kebenaran itu adalah universal
sifatnya.
Etah Patunggunghon Simalungun
Etah Patunggunghon Simalungun– mari memuliakan Simalungun
– dengan prinsip gotong-royong yang masih relevan itu. Terlebih pada
zaman sekarang, ketika suku Simalungun belum dapat menjadi Tuan Rumah – Suhut – yang ‘berdaya’ di kampung halamannya sendiri. Hita halak Simalungun – kita suku Simalungun adalah merupakan SUHUT di kotamadya Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun serta daerah lainnya yang dahulunya dipungkah – dibuka – leluhur Simalungun.
Etah – mari - membangun kampung halaman kita dengan semangat Sapangambei Manoktok Hitei ini. Hita lang pala
– kita tidak perlu – merendahkan suku-suku lainnya yang telah hidup
bersama dengan kita. Dan jangan pula membiarkan halak Simalungun tidak
berdaya di atas tanah leluhurnya, membiarkan budaya dan tradisi
terpinggirkan, terabaikan di rumah sendiri. Jangan.
Jangan
pula kita biarkan sekelompok orang meninggikan kelompoknya, kepentingan
kelompoknya tanpa menaruh hormat bagi kita sebagai keturunan Sipukkah huta
– keturunan leluhur pendiri desa-desa di Simalungun. Kita tidak bisa
mengabaikan tugas dan tanggung tawab kita – Halak Simalungun – sebagai
SUHUT yang mewarisi budaya dan tradisi leluhur.
Etah Mar-‘Sapangambei Manoktok Hitei’
Menyelamatkan Warisan Budaya Simalungun
Apa jadinya jika semua seni tradisi kita itu baru terlihat keberadaannya hanya ketika di atas panggung saja?
Di manakah rumah sesungguhnya seni tradisi kita saat ini? Bukankah
sejatinya seni tradisi itu hidup menyatu dalam keseharian para pegiat
seni tradisi itu? Bukankah semestinya seni tradisi itu memiliki rumah
yakni semacam huta? Inilah apa yang disebut akar dari entitas hidup
kebudayaan Simalungun. Sebuah huta (adat) para pegiat seni tradisi
–terlepas dari besar kecilnya. Terlebih saat ini sangat dibutuhkan.
Apa jadinya jika lembaga-lembaga Hasimalungunan
– yang bersifat Simalungun – belum bersinergi melakukan atau bahkan
belum membangun fondasi fundamental kebudayaan Simalungun. Alih-alih
bersinergi, yang ada malah ‘riuh’ dalam perselisihan pandangan dan
kepentingan.
Sebagi suhut di kampung halaman, kita mesti merumuskan apa itu Kepentingan Halak Simalungun sebagai keturunan Sipukkah Huta.
Tragisnya lagi, kita bahkan belum berhasil atau beranjak untuk
merumuskan “Kepentingan Halak Simalungun sebagai Keturunan Sipukkah
Huta”. Jadi wajar saja Halak Simalungun menjadi sasaran, objek berbagai
kelompok kepentingan di kampung halaman termasuk oleh Pemda, partai
politik, ormas lainnya dll.. Sadarkah kita akan hal ini?
Sebelum
situasi semakin memburuk, sebelum hutan-hutan kita gundul, sebelum
potensi Masyarakat Hukum Adat Simalungun benar-benar ditelan bumi,
sebelum kita terpinggirkan di kampung halaman sendiri, maka etah hita halak Simalungun marharoan bolon patorsahon haganuapn on – bergotong-royong memperbaiki, menata situasi yang ada. Mar-Sapangambei Manoktok Hitei ma hita. Etah…
(Sumber: http://www.davidpurba.com)
0 Comments