Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Menjadi Net Exporter Budaya Simalungun


Museum Simalungun di JL Sudirman Siantar
“Percampuran” (akulturasi) budaya adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa mengisolasi diri hanya menggunakan budaya sendiri sekaligus menghempang budaya lain,  karena – menurut Aristoteles – sejatinya kita adalah zoon politicon: manusia politik, manusia sosial. Budaya kita harus berkembang, agar tak terlindas zaman.

Dan akhirnya, kita tidak sekadar pengimpor budaya, melainkan menjadi net exporter.
DALAM marsimalungun (menggali, mengembangkan, dan melestarikan budaya Simalungun serta “mendirikan” [Simalungun: pajongjongkon] orangnya), ada sesuatu yang seyogianya senantiasa kita ingat, bahwa orang Simalungun tidak hidup sendiri. Dia kawin-mawin dengan orang lain serta eksis dalam dimensi ruang dan waktu.

Mengagung-agungkan budaya/diri sendiri dan menentang (masuknya) budaya lain adalah sesuatu yang sia-sia dan melawan kodrat. Fakta sehari-hari: ketika kita menyanyikan lagu “Sipungkah Huta” (ciptaan Erdiaman Purba) dengan gagah perkasa sembari bulu roma merinding, kita sadar sesadar-sadarnya – khususnya saat ini di Kota Pematangsiantar – bahwa kita tidak lagi “simada talun” (pemilik) dan “sijolom suhul ni pisou” (pemimpin).

Ketika seorang Simalungun bertemu dua orang Toba dan satu orang Jawa, si orang Simalungun hampir otomatis berbicara dengan bahasa Toba dan si Jawa “dengan sangat terpaksa” tetap menggunakan bahasa Indonesia. Yang seperti ini masih belum seberapa. Tapi ketika seorang Toba bergabung dengan tiga orang Simalungun dan ketiga orang Simalungun berbicara dalam bahasa Toba, tampaklah bahwa ini bukan sekadar persoalan akulturasi lagi, melainkan masalah jatidiri.

Wacana dan penelitian tentang lemahnya jatidiri (ID = identity, identitas) Simalungun sudah sangat banyak. Kita sekalian pun sudah hampir tahu apa penyebab utamanya: kita merasa seolah-olah diri ini rendah, tidak berkualitas, dan tidak jago, dibandingkan dengan orang lain. Sebenarnya ini hanya masalah perasaan dan bukan fakta sebenarnya.

Meskipun perasaan ini muncul karena “indoktrinasi” peristiwa revolusi sosial 1946 ke alam bawah sadar orang Simalungun, namun adalah lebih bijaksana jika kita tidak membiarkan diri kita terpenjara oleh suasana itu. Setelah lebih daripada setengah abad atau dua generasi berlalu, orang Simalungun harus bangkit. Tidak sekadar bangkit, melainkan bergerak lebih gopas (bergegas) atau bahkan berlari lebih kencang.

Karya Taralamsyah menunjukkan kualitas Simalungun

PENULISAN buku tentang Taralamsyah Saragih Garingging dengan segenap karya, pergumulan hidup, dan hasimalungunon (kesetiaan marsimalungun)-nya, ini, sebenarnya lebih sebagai sebuah ikhtiar menunjukkan kualitas budaya/diri orang Simalungun. Melodi (khas dengan nada pentatonik Simalungun serta ber-inggou [cengkok, legato]), lirik, harmoni, dan irama dengan paduan gonrang, sangat unik dan indah.

Karya Taralamsyah tidak hanya terbatas pada musik/lagu, melainkan juga tari, sastra, teater (drama, tonil), dan banyak lagi. Ekpresi diri orang Simalungun (sedih, rindu [akan kekasih, Tuhan, atau alamnya yang indah], menjerit, menangis, bangga, gembira, dan bersemangat) terekspresikan dengan baik pada karya-karya Taralamsyah dalam kualitas tinggi.

Di sisi lain, falsafah orang Simalungun “Habonaron do Bona” (Kebenaran [dengan huruf ‘K’ besar yang berarti Tuhan/Allah] adalah dasar segalanya) dan moto “Sapangambei Manoktok Hitei” (seirama membangun jembatan ke kemajuan melalui gotong-royong yang disebut “marharoan bolon” dan “marsialop ari”) adalah nilai hasimalungunon yang sangat tinggi, karena falsafah dan moto tersebut sekaligus merepresentasikan hubungan vertikal orang Simalungun dengan Tuhannya serta hubungan horizontal dengan sesama manusia dan segenap ciptaan.

Jika dianalogikan dengan sebuah produk/komoditas, produk budaya Simalungun – sebagaimana tergambar dari karya-karya Taralamsyah – sangat berkualitas, layak ekspor. Dalam kenyataan sehari-hari, pada pesta-pesta adat (utamanya perkawinan dan kematian sayur matua), lagu-lagu Simalungun sudah sering diminta untuk dimainkan oleh parmusik (pemusik), bahkan oleh orang non-Simalungun.

Praktiknya: “Amang pargocci na malo, baen hamu jolo ende ‘Pos ni Uhurmin’!” Di lain kesempatan, dimintakan juga lagu “Sitalasari” atau “Odak-odak” dan “3-5” (“3 Sahundulan - 5 Saodoran”). Posisinya setara dengan “Gadis Melayu” (penggalan liriknya: … gadis Melayu dengan tortor Batak |Si boru Toba dengan goyang Deli |Aduh seksinya, sayang | Aduh manisnya, sayang | Tua dan muda bergoyang-goyang … ).

Fenomena penggunaan gonrang-keyboard memungkinkan terjadinya pertukaran budaya dan – lama-lama – akulturasi budaya. Lagu “Pos ni Uhurmin” aslinya dinyanyikan dengan tempo sedang cenderung lambat, tapi saat ini sering dinyanyikan dengan tempo cepat dalam irama Cha-cha atau Perkolong-kolong. Mediumnya adalah pesta adat (perkawinan, kematian sayur matua, dll.) dan saluran distribusinya adalah gonrang-keyboard. Tidak peduli hasuhuton (yang punya gawe)-nya orang Simalungun, melainkan juga Toba atau Jawa.

Bagaimana menjadi net exporter?

EKSPOR-IMPOR budaya sudah jamak terjadi. Lirik yang menyatakan: “… Begitu tega engkau meninggalkan daku | Sia-sia airmataku terurai, mengingat janji yang diingkari …” terekspor melalui gonrang-keyboard dan irama yang lebih cepat terimpor dari budaya Toba, yang keduanya berlangsung intens dan akhirnya terjadilah akulturasi budaya itu.

Lantas, apa lagi produk budaya berkualitas tinggi yang bisa diekspor, sehingga jumlah (atau paling tidak: nilai) budaya yang diekspor kepada orang lain lebih banyak (lebih tinggi nilainya) daripada yang diimpor dari orang lain? Penulisan buku ini sudah menjelaskannya. Yang lain semacam itu yang perlu terus digali, dilestarikan, dan dikembangkan.

Tapi bagaimana agar menjadi net exporter? Kuncinya ada di tangan kita, orang Simalungun. Sepanjang kita tahu bahwa budaya kita (ternyata) berkualitas/bernilai tinggi dan penguasaan produk (product knowledge)-nya memadai, maka kita tidak perlu takut atau sungkan mengekspor budaya Simalungun kepada orang lain.

Kendala utama adalah product knowledge itu sendiri. Contoh faktual: dalam sebuah pesta adat perkawinan di daerah Dolok Pardamean, hasuhuton paranak dan juga hasuhuton parboru-nya adalah orang Simalungun. Mereka mengenakan pakaian adat Simalungun dan (merasa telah) menjalankan adat perkawinan Simalungun. Karena kurang menguasai adat perkawinan Simalungun, mereka minta tolong pada raja parhata (alih-alih anak boru sanina, sebagaimana seharusnya) menjadi parsinabung (alih-alih panatang atur horja). Alhasil, adat perkawinan yang digunakan adalah yang biasa diselenggarakan setempat.

Makanan yang diserahkan kepada pihak Tondong adalah “siopat nahei” (alih-alih dayok binatur sebagaimana mestinya) dan keluarlah istilah ‘Raja ni Hula-hula’ (untuk menyebut Tondong), ‘Raja ni Dongan Tubu’ (Sanina), ‘Raja ni Boru’ (Boru), ‘Raja ni Huta’ (Sinhuta), ‘Raja Parhata’/’Parsinabung’ (Anak Boru Sanina),’Tulang Rorobot’ (Tondong ni Tondong), ‘Ibebere’ (Boru Mintori), dll. Hasuhuton OK-OK saja, karena bagi mereka, pokoknya acara berlangsung lancar.

Ketika product knowledge memadai, tidak ada keraguan untuk melaksanakan adat Simalungun. Identitas menjadi jelas dan tidak muncul rasa rendah diri (minder) terhadap budayanya sendiri yang (ternyata) sangat berkualitas. Pada titik ini, kita boleh mengimpor budaya, tapi jelas berani mengekspor lebih banyak, sehingga menjadi net exporter.(O l e h Rikanson Jutamardi Purba-Penikmat Seni-Budaya Simalungun Direktur gop@s Multimedia Pematangsiantar)


  • Simon Saragih Komentar saya, bangga saya dengan pola pikir yang merdeka. Seorang Rikanson Jutamardi Purba, dan keberaniannya berpikir dan meuangkannya, harus digandakan.

    Ise dape nasiam tene.... Pambaeni nasiam da.

  • Simon Saragih Anggo han bai gumis tipis ni Ambia on, huahap lang holan boru Simalungun be na jatuh hati hinan bani, ha haha... Malas uhur ambia. Go go go SImalungun

  • Rikanson Jutamardi Purba Ha... 4x. Jangan "dibacain" ya, Pung!

  • Simon Saragih WK wk wk... Jadi ngil-ngil sandiri au. Sahalak au homa i tongah borngin on. Hudingat lagu tenar karya ni Laweiku nabujur Damma Silalahi. Nini sonon. "Ai anggo gumis do da Tulang, gumis ni huting pe adong do"... WK wk wk...

    Peace.......... Hanya joking, biar jangan terlalu tegang do ai da.

  • Rikanson Jutamardi Purba Non homa do nini na deba: "Ai anggo anggar gumis do Tulang, sibahut rawang pe gumison do..." (Sambil dodingkon ham ge...! Wkwkwkwkwkwk!

  • Simon Saragih I Barat ge, adong ihatahon "a revolt". Mullop ma The Judas Priest, Bob Dylan, John Lennon (Lagu Mother pakon Imagine).

    Jadi, lang pala ilagai hita Lawei Damma Silalahi ai, halani gambaran ni deviasi i masyarakat do ai, na dop homa tarjadi i luar ni
    Simalungun.

    Pas do hatani Lawei ai, ternyata homa, lagu ai memang meledak do tongon. Sasali boi do sonai tarjadi. Goran pe ge perkembangan dengan segala deviasi kiri maupun kanan.

  • Rikanson Jutamardi Purba Tapi, "The Invalid Simalungun"-mu ai, mantap tumang, bah! Tanda do ham penulis kawakan. Didikan ni Valens Doy do? Atau langsung JO?

  • Sultan Saragih II Sejauh yg saya kenal, pengamat budaya benar Bapa Jutamardi purba, sosok pemikir yg dibutuhkan utk mendampingi kami generasi muda.

    Oase kebudayaan, rindu dengan originalitas simalungun yg sekarang sudah tak tahu kemana lg bisa dicari....mudah2 an Huta Adat Simalungun "Rayantara", gagasan dari Rayantara Denpasar u kelola lahan seluas 1 Ha utk hasimalungunan bs kita wujudkan...mohon dukungan, amin...

  • Simon Saragih Rikanson Jutamardi Purba, dia PIN BB mai. No HP ai.
    Manang ambia Sultan Saragih II, BBM bakku PIN ni Jutamardi ai pakon no HP ni da

  • Rikanson Jutamardi Purba 0821 6122 7172 / 0813 7020 5763 / PIN BB 7dd320b7

  • Simon Petrus Saragih Lalap do offlline

  • Rikanson Jutamardi Purba Oh ya, lagi i-charge, hape!

  • Darman Purba Mtc Mengutip tulisan Bang RJP: "....namun adalah lebih bijaksana jika kita tidak membiarkan diri kita terpenjara oleh suasana itu. Setelah lebih daripada setengah abad atau dua generasi berlalu, orang Simalungun harus bangkit. Tidak sekadar bangkit, melainkan bergerak lebih gopas (bergegas) atau bahkan berlari lebih kencang".
    [Untuk memimpin gerakan ini agar segera terjadi, kita butuh "Arsitek" yg mau dan mampu mendisain ulang eksistensi "Partuha Maujana Simalungun".]
  • Darman Purba Mtc Boi do marsada SDM2 Simalungun nabenar-benar mangarusi janah manghagoluhkon Adat Budaya Simalungun bani Lembaga on ? Masalahta nuan bani krisis Tokoh Panutan do (Leadership).

  • Darman Purba Mtc Ise boi namemimpin Gerakan "Haroan Bolon" Kebangkitan Budaya Simalungun?

  • Darman Purba Mtc Maningon ipungkah humbani mambahen "Grand Disain" (Dreams) nabersumber humbani sekelompok kecil (gremium kecil) na cerdas tapi intens maruntol, merenunghon janah sihol manjumpahkon solusi nahado cara ampa strategi ase mulak use Hajagiahon ampa Hatunggungon ni Bangsa Simalungun bani Tanoh Simalungun.

  • Rikanson Jutamardi Purba Aha na iinisiasi Ompung SS on ai ma salah sada AKSI NYATA (alih2 WACANA) gerakan "Haroan Bolon" ai. Songon Jokowi-JK ai ma, mementingkan aksi.

  • Sultan Saragih II Ayo turun bekerja, etaaah...make dream come true...

  • Rikanson Jutamardi Purba Ompung SS, i SS do ham nuan ai? (Nini Hisarma).

  • Simon Saragih Ija do ham da nuan in.
    Bani borngin, sanggah rondang ni bulan in.


    Tarsunggul au botou hatamu na dop in. wk wk wk wk.

    I am staying at Sapadia Hotel, nearby City Square, so called Sirpang ai ge. Ha ha ha.

  • Simon Saragih Hape lakan, Rikanson Jutamardi Purba on siminik ni Tuan Pangultop-ultop do, Raja Purba partama. Malas uhur.

    Au pe da ambia, boi dapot au garis hu sampe hu ri Raja Batak ai, he he he...

Anda Punya Tulisan Tentang Simalungun Kirim ke : Email: beritasimalungun@gmail.com

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments