Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
Direktur gop@s MULTIMEDIA Pematangsiantar
|
“Kesepian” kita hampir sama dengan kesepian koboi Lucky Luke, tokoh komik Belgia karya Maurice De Bevere alias Morris, itu. Kita pun hampir bisa “menembak lebih cepat daripada bayangannya”, tapi benar-benar “kesepian”
DENGAN hanya ditemani kuda tunggang andalannya, Jolly Jumper, koboi/sheriff
Lucky Luke membasmi kejahatan ala Amerika tempo doeloe. Untunglah dia
punya kemampuan lebih: “menembak lebih cepat daripada bayangannya”.
Untuk sekadar asosiasi, bolehlah dibayangkan kehebatan Lucky Luke itu
seperti Clint Eastwood di film-film koboi Amerika atau barat.
Cerita orang-orang sukses Simalungun – yang sukses
mengalahkan kemiskinan bawaan dari kampung halaman – hampir sama dan
sebangun dengan cerita Lucky Luke. “Kuda tunggang” andalan hanyalah
panggilan jiwa untuk “marmalu” (berjuang keras untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan keterbelakangan) dengan bekal kemampuan lebih: “mar-Habonaron do Bona” (berfalsafahkan “Kebenaran adalah dasar segalanya”).
Orang Simalungun umumnya hanya “ipaingkat” (diberangkatkan ke medan perjuangan) dengan bekal intangible (tidak kasat mata) berupa penggeloraan jiwa untuk “marmalu” dan falsafah HdB itu. Bagi yang lebih beruntung, disuguhi sesuatu yang lebih kasat mata, yaitu “dayok binatur” atau “dayok pinar manggoluh” (ayam panggang berbumbu perahan kulit Singkam/holat yang diatur ulang pada piring keramik sesuai potongan anatomi tubuhnya). Itu pun sebenarnya bukan demi kelezatan “dayok binatur” yang memang sangat maknyus, melainkan lebih pada suntikan semangat membara untuk bertarung di medan juang.
Kalaupun punya bekal lain, contohnya network (jejaring), umumnya bekal itu sangat rapuh. Pascakemerdekaan, orang Simalungun mengenal CV Fasco yang banyak menolong generasi muda yang merantau mengadu nasib di Jakarta-Jawa. Setelahnya, ada mendiang St Djasarlim Sinaga, mendiang Brigjen (pur) Radjamin Purba, SH, mendiang Brigjen (pur) TS Mardjans Saragih, dll. Kemudian yang lebih muda, ada St Marthin Sinaga
(CV Hutarih Jaya) dll. Dikatakan jejaring tersebut sangat rapuh, karena
setelah itu, jejaring sejenis tidak eksis atau sulit terbentuk.
Ada perasaan takut berhutang budi (untuk tidak mengatakan: takut
dibantu) dan kapok menghutangkan budi. Takut berhutang budi, karena
seolah ada perasaan tidak merdeka karena hutang budi itu bakal dibawa
sampai mati. Kapok menghutangkan budi, karena pengalaman mencatat bahwa
yang ditolong pun seringkali lupa atau tidak tahu berterima kasih.
Supersedikit yang menancapkan tiang pemahaman dalam dirinya seperti mendiang Pdt J Wismar Saragih yang menyatakan “siparutang do au bani Simalungun” (saya terhutang budi pada Simalungun) atau mendiang istrinya yang tulus berekspresi: “sonang do au loja, loja do au sonang” (saya suka berlelah dan hidup jadi melelahkan kalau hanya senang sendiri).
Rasa takut berhutang budi itu sejatinya menghilangkan hakikat
pencapaian bersama yang sudah pasti hasil dan magnitudenya bagi
komunitas menjadi lebih besar serta pencapaiannya bisa ditempuh lebih
efisien dan efektif.
Kapok menghutangkan budi,
karena secara empirik, yang ditolong sering lupa bahkan untuk sekadar
mengucapkan kata ‘terima kasih’. Yang lebih gawat lagi, tidak tahu
berterima kasih. Orang yang dibantu justru mempermalukan atau merongrong
orang yang membantu. Dalam ketulusan – katakanlah karena panggilan iman
– yang menolong sebenarnya tidak mengharapkan pamrih. Paling-paling
pamrihnya agar yang ditolong melaksanakan hal serupa kepada orang lain
lagi, sehingga komunitas/masyarakat terbangun bersama. Diharapkan timbul
gelindingan bola salju dalam rangka pembangunan komunitas yang sudah
disadari secara jumlah pun sedikit, apalagi secara daya saing.
Ada perasaan curiga terlebih dahulu atau keengganan kalau orang lain
mengulurkan bantuan. Jangan-jangan agar saya bisa dimanfaatkannya di
kemudian hari. Atau kalau berhasil kelak, merasa jengah mengakui bahwa
dalam hidup ini, seseorang tidak pernah berhasil sendiri tanpa peran
orang lain. Takut ada ucapan yang terus berdengung di telinga, “’Kan
saya dulu yang membantu kamu sehingga kamu bisa sukses seperti sekarang
ini?”
Memang tidak boleh dinafikan juga pengalaman
traumatik orang yang pernah minta tolong, tapi ditolak sembari yang
dimintai tolong asyik memaparkan alasan-alasan tidak bisa karena adanya
kebutuhan keluarga sendiri yang sejatinya adalah pamer keberadaan diri
yang tidak pada tempatnya. “Maaflah, kebetulan pas mau memperluas sawit
yang sekian ratus hektar di Baganbatu itu, mau memasukkan mobilnya
anak-anak ke salon mobil karena interiornya sudah pada kotor, dan pas
pula mau bayar panjar tiket pesawat untuk liburan bareng. Ini belum lagi
lho untuk ini-itu…!”
Makanya, sulit sekali menghilangkan egoisme sebagaimana digambarkan pantun ini: “Huliskon laklak, asal ulang pahu | Age mulih halak, asal ulang ahu” (Singkirkan laklak
[pelepah rebung bambu], asal bukan (daun) paku | Hancur pun orang
(lain), asal bukan aku). Ini bukan ekspresi kepercayaan diri bakal dapat
menyelesaikan sendiri apa pun masalah yang bakal dihadapi, melainkan
gambaran ketidakpedulian terhadap (nasib) orang lain. Istilah Betawinya:
EGP (emang gue pikirin).
Hal berikut
belum merupakan hasil riset sosio-antropologis yang dilaksanakan secara
ilmiah, melainkan baru sebatas pengamatan yang cukup lama dan lumayan
intens. Dinyatakan bahwa orang (Pamatang) Raya yang lebih pure (murni) Simalungunnya karena relatif homogen umumnya dulu hidup “marjuma modom”
(tinggal di gubuk ladang). Masing-masing memagari ladangnya untuk
mencegah serangan binatang buas atau gerombolan (pengacau). Kondisi ini
membuat mereka cenderung mengamankan dirinya sendiri dan EGP terhadap
orang lain.
Hal sebaliknya terjadi pada orang Simalungun kahean/jahe-jahe
(Utara-Timur bersisian dengan Batubara, Labuhan Batu, Serdang Bedagei,
dan Deli Serdang) yang banyak berinteraksi dengan orang Melayu (Deli)
beragama Islam atau huluan/topi tao (Selatan-Barat) yang banyak
berinteraksi dengan orang Karo dan Toba. Di kedua wilayahi ini,
penduduknya lebih heterogen, sehingga lebih terbuka dan dinamis. Rasa
(kepedulian) sosialnya lebih tinggi.
Beruntunglah orang Simalungun kahean/jahe-jahe dan huluan/topi tao. Saudara mereka yang di Raya (Simalungun tongah) masih dilumuri kental oleh pengaruh kebiasaan “marjuma modom”
itu. Hidup mereka sebenarnya “kesepian”, karena apalah artinya
kesuksesan diri sendiri namun tak dinikmati beramai-ramai dengan atau
berdampak bagi orang sekitar?
Maka tak aneh, karya orang-orang seperti mendiang Taralamsyah Saragih tak diapresiasi oleh bangsanya sendiri, sehingga – kalau bukan karena semangat “marmalu” (seperti “bushido” Jepang) – kreativitasnya marsimalungun bakalan mangkrak. Orang sukses Simalungun seperti Henry Saragih yang berteman dengan Presiden Hugo Chavez itu, hampir tak dikenal di daerah asalnya. Bahkan ungkapan ini terkesan sangat superminimalis: “Kontribusi terbesar saya marsimalungun adalah menunjukkan bahwa orang Simalungun pun bisa menjadi menteri!”
Ungkapan terakhir ini lagi-lagi menunjukkan tipikal orang kita yang
cenderung pemain tunggal. Memang kesuksesan seperti itu bagus-bagus
saja, tapi sayangnya tidak lagi cukup. [Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak]
0 Comments