Lina Damanik.Foto Simon Saragih |
* Lina Damanik Implisit Menjelaskan Mengapa Taralamsyah Susah Ditiru
"Jujur saya katakan, Bapak almarhum Taralamsyah benar-benar menginspirasi saya soal seni musik," demikian kata Lina Damanik seorang ibu asal desa Gunung, Kecamatan Pematang Raya kelahiran 1949. ""Saya memang sangat kagum pada karyanya."
Lina adalah penyanyi tenar Simalungun pada dekade 1970-an. Genre lagu-lagu yang dia bawakan persis meniru karya Taralamsyah. "Almarhum komponis Bapak AK Saragih pun memang memesona tetapi inspirasi utama bagi saya adalah Bapak Taralamnsyah."
"Lagu ciptaan Taralamsyah punya jiwa, berkesan, mengena dan membuai sukma. Begitu kita mendengar lagu Taralamsyah, tor na botoh do hujah rumbakni, naha tema ni, aih sodap ma tongon baya. Karena itu bagi saya memang sangat layak Taralamsyah dikenang, apalagi mendapatkan penghargaan. Sangat layak."
Menurut Lina, begitu mendengar lagu karya Taralamsyah, pendengar dibuai sekaligus larut karena dicekoki nada yang indah, kalimat yang jelas, dan terbawa suasana seperti suasana dalam tema lagu. Misalnya, jika temanya soal cinta, soal sebuah kerinduan, hingga perpisahan sepasang kekasih, pendengar seperti turut terseret seiring dengan mengalunnya nada-nada.
Analisa Lina soal Taralamsyah sesungguhnya tidak memadai jika digambarkan lewat untaian kata dan kalimat-kalimat sahaja. Mimik, bahasa tubuh dan warna suaranya saat wawancara seperti turut berkata mengamini penilaian pribadinya yang pas tentang Taralamsyah.
Mendengarkannya berbicara langsung serta menyaksikan Lina mempraktikkan lagu-lagu yang dia bawakan saat wawancara, turut membuat kekhasan nada Simalungun yang begitu indah itu seperti merekah kembali. Roh musik karya Taralamsyah seakan merasuk ke dalam jiwanya. Itu dia rasakan sebagai penyanyi, saat tampil di panggung dan saat dia mencipta lagu.
Lina Damanik.Foto Simon Saragih |
Pengucapan yang jelas membuat telinga mampu menangkap dengan jelas kata dan kalimat yang diinginkan dalam lagu. Karena tanpa lafal yang jelas maka penangkapan makna sebuah lagu bisa terganggu. Lina menangkap pesan tersirat Taralamsyah soal itu.
“Pengucapan yang jelas turut membuat saya sering kali meraih juara dalam festival seni suara.” Lawannya bertarung saat festival antara lain Hotmaria Sitopu.
Intisari lagu Taralamsyah bukan hanya soal lafal tetapi juga liukan nada, yang dia sebut ehet, merujuk pada swing nada yang biasa terdengar pada lagu Simalungun. Lina mencontohkan dengan menyanyikan langsung lagu “taur-taur”. Di dalam “taur-taur”, ada nada yang dipanjangkan, atau katakanlah diseret dengan meliuk secara pas sehingga memunculkan kekhasan Simalungun, yang disebut sebagai inggou.
Lina pun baru bisa mengetahui kekhasan Taralamsyah itu setelah lama mempelajari karya-karya Taralamsyah yang dia dapat dari Djaiman Saragih Sumbayak. “Almarhum Bapak Djaiman ini dulu merupakan teman dekat Taralamsyah sehingga saya berkesempatan mendapatkan semua karya Taralamsyah.”
Dari situ saya mendengar lagu-lagunya, mempelajari pengucapan. Saya sering menyibukkan diri hanya untuk memahaminya sehingga bisa mempraktikkan gerak bibir, lidah hingga kombinasi pernapasan dan pola gerakan di tenggorokan.
Karya-karya Taralamsyah juga bisa dia rasakan ketika dia menciptakan lagu dengan irama yang sangat mirip karya Taralamsyah. Menurut Lina, tidak mudah meniru lagu ciptaan Taralamsyah. Karena itu dia sering kali harus membenamkan diri berjam-jam saat mencipta lagu setara karya Taralamsyah.
Dari kenyataan itu, Lina menyimpulkan bahwa lagu-lagu Taralamsyah hanya bisa tercipta lewat permenungan dalam, imaginasi tinggi, dan konsentrasi yang sangat fokus. Lina merasakan apa yang dirasakan Taralansyah dan sedikitnya juga melewati segala perjuangan yang pernah dilalui Taralamsyah.
“Saya sendiri seringkali minta izin pada ibu agar diizinkan sedikit berlama-lama di kamar demi mencipta lagu. Misalnya sering kali Ibu saya menyuruh ke ladang tetapi sering kali saya minta izin agar boleh terlambat ke ladang, karena saya sedang berkutat memikirkan melodi lagu yang saya ciptakan.” kata Lina.
Pada dekade 1970-an Lina juga dalam pandangan keluarganya lebih menyibukkan diri pada musik sehingga dia lupa memikirkan jodoh. “Saya memang telah menjadikan musik sebagai profesi dan musik telah membuat saya larut sehingga tidak pernah terlalu serius soal jodoh. Hingga ibu saya mengingatkan saya akan menjadi gadis yang perawan sampai usia tua karena tidak menikah. Ibu saya sampai pernah mengingatkan bahwa keturunan kami juga banyak tidak menikah dan ibu mengkhawatirkan saya akan bernasib serupa. Dan memang saya menikah di usia 33 tahun, dan sempat disebut ‘torasan’.”
“Akan tapi saya sendiri tidak perduli soal itu karena musik membuat saya bahagia,” kata Lina yang menikah dengan pria yang lebih tua darinya, seorang bapak marga Purba Silangit.
Dari semua itu, Lina menyimpulkan bahwa mencipta lagu setara Taralamsyah memang harus mengorbankan keinginan diri. Lina menegaskan, memang mencipta lagu setara kualitas ciptaan Taralamsyah tidak bisa jadi dalam tempo singkat atau asal jadi.
Dengan kata lain lagu seperti karya Taralamyah tidak bisa muncul selekas pemunculan lagu-lagu kategori kacang goreng yang tidak pernah membekas di telinga. Karena state of the art Taralamsyah, suka atau tidak suka dan mau tidak mau memang menuntut pengorbanan.
Sama seperti Taralamsyah yang akhirnya dikenang hingga sekarang, dengan tingkat yang lebih rendah Lina tetap dihargai. Di usianya yang ke-65 tahun dan dengan nada suara yang masih nyaring dan punya tenaga, Lina masih sering dipanggil untuk tampil dimana-dimana.
Kualitas suara, vokal, dan keunikannya soal lafal dan pengalamannya menghibur membuat Lina masih tampil menyanyi dan menari. “Karena lagu, ya saya sudah banyak melayani permintaan tampil untuk menghibur orang-orang besar.”
Menyambut Akbar Tanjung pun dia sudah pernah. Diminta bernyanyi menyambut tamu di Rumah Bolon Kerajaan Purba pun dia sudah pernah. Bersalaman hingga dipanggil tampil bernyanyi di rumah para bupati pun dia sudah pernah. “Ketika saya membawakan lagu di rumah almarhum Bupati Djabanten Damanik, beberapa anggota keluarga sampai larut dalam tangisan.”
Apakah Lina makmur karena itu? Sama seperti para penyanyi Simalungun yang umumnya jauh dari mewah, Lina pun sama. Dia kini hanya bisa menyambung hidup dengan bertani. Dia sungguh tidak memiliki rejeki besar. Dia sedikit pun tidak berbeda dengan status sosial ekonomi para tetangga.
“Saya boleh saja sering bertemu dan diundang para pejabat tetapi saya tidak tertolong secara ekonomi dalam sepanjang hidup saya. Untuk berkesempatan menjadi pegawai pun saya tidak dapat.”
Meski demikian, Lina tidak pernah menyesali diri sebagai penyanyi dan pencipta lagu SImalungun. “Karena saya memang suka menjalankan semuanya. Bahwa itu tidak cukup bisa menghidupinya, itu soal lain dan tidak pernah membuat saya kecewa dan mundur dari musik. ” Menyanyi membuatnya seperti dalam suasana berpesta.
Sama seperti Taralamsyah yang hingga akhir hidupnya biasa-biasa saja bahkan hampir tidak diberi penghargaan, Lina pun mengalami serupa itu. Lina sama seperti idolanya, berkutat pada musik dan di sisi lain tidak bersambut di sukunya, yang juga terkadang mencibirkan Lina.
“Ketika saya pernah membawa lagu tangis-tangis, dari panggung pernah penonton menegor tak langsung tanda tak setuju. Akan tetapi ini adalah soal seni. Saya tidak hirau akan itu. Nyatanya banyak yang merindukan saya dan menginginkan saya tampil.”
Lina, bisa dikatakan adalah satu-satu penyanyi dan pencipta lagu SImalungun dengan karya yang mendekati kualitas Taralamsyah soal karya lagu dan soal peniruan nada Taralamsyah, yang dianggap sebagai ikon lagu Simalungun. (Simon Saragih)
0 Comments