Info Terkini

10/recent/ticker-posts

* Marsolu ke Parapat di Malam Gulita

Sovia Jinim Sinaga

IBUNDA YANG MENJADI SANDARAN ANAK-ANAK SEPENINGGAL AYAH


TERBAYANG kepada siapa harus berlindung ketika nyawa seperti di ujung bibir? Mungkin akan terpikir mencari penyelamatan ke saudara dekat, mungkin juga ke para tetangga baik. Namun bukan demikian pilihan yang dimiliki Agustinus Paian Damanik (81), keturunan Partuanan Sipolha, yang kini tinggal di Jakarta. 

Keluarga dan saudara dekatnya sedang gemetar habis, puluhan malah turut tewas di tangan Barisan Harimau Liar (BHL). Tetangga bukan opsi yang terpikirkan untuk perlindungan nyawa. Bukan karena tetangga-tetangga ini tidak baik tetapi mereka rawan jadi sasaran karena riskan dicap sebagai antek-antek kerajaan. Jika cap itu melekat pada tetangga amat jelas ketika itu nyawa jadi taruhan.

Iya, situasinya sangat gempar bak halilintar menggelegar keras. Demikian perasaan Agustinus, kini seorang kakek beranak enam, satu putra dan lima putri. Agustinus tak bicara berapi-api. Dia kalem dan tenang tanpa "gesture". Namun bahasa tubuh, mimik muka dan kalimat-kalimatnya yang macet dengan jelas menjadi pertanda situasi genting 68 tahun silam. 

Itulah kejadian ketika pada usia 13 tahun dia dan keluarganya mendengar BHL sedang mengarah ke wilayah Partuanan Sipolha di tahun 1946, awal revolusi sosial yang kemudian menewaskan banyak keluarga kerajaan di Simalungun.

Bapaknya,Tuan Labuhan Asmin Damanik, telah dijemput BHL dengan alasan akan ada kursus. Walau anak-anak kerajaan pada umumnya tidak menjadi korban tetapi ketakutan luar biasa menyergap.

Sang Ibu boru Sinaga, Sovia Jinim, beserta tujuh putra-putrinya bergegas di malam hari menuju pantai. Seorang tetangga marga Siadari telah menyediakan solu bolon. Minimal berdelapan tetapi jumlah penumpang persis solu (sampan) itu tak dia ingat lagi. "Di tengah kekalutan saya tidak sempat memikirkan banyak hal hanya bagaimana agar selamat," kata Agustinus beristrikan perempuan Manado yang dijadikan boru Sinaga, mengenang kasih ibundanya. Istrinya agak paham adat dan bahasa Simalungun.

Apa yang terlintas dalam pelarian malam di tengah ketakutan yang mendera jiwa bagai sebuah godam? "Ketika sudah berada di solu saya berjanji pada Tuhan. Jika selamat dari kematian aku akan berbuat kebajikan," demikian ikrar dalam hati Agustinus di malam nan panik itu.

Lengkap penderitaan di tengah perjalanan sampan menyusuri perarian Danau Toba menuju rumah Tulang di Parapat. Iya, sang Tulang (saudara kandung ibu), hanya itu pilihan di malam gulita dan menegangkan pula. Di tengah perjalanan, seorang saudaranya bernyanyi-nyanyi karena memang sejak kecil kurang sehat. 

Jam berapa tiba di Parapat, Agustinus tidak ingat. "Tak banyak kenangan detil untuk disampaikan saat peristiwa itu," kata Agustinus. Bukan karena sudah pikun tetapi pikiran melulu soal harapan agar selamat. Sedetik pun waktu seperti berharga demi keselamatan. 

Doa khusuk, sarat harap ditandaskan. Tuhan, Tuhan, Tuhan, selamatkan kami, lindungi kami, jagai kami, hindari kami dari petaka. Jika Engkau Tuhan memenuhinya, akan kubalaskan semua kebaikan-Mu dengan kebaikan. Hanya Tuhan pelega di situasi kritis yang mengguncang jiwa raga itu. 

Doa terjawab seketika itu juga. Mereka tiba selamat di Parapat. Keluarga pihak Tulang menyambut dan memeluk sanak-saudara seakan-akan lepas dari sakratul maut. Mereka sangat iba tetapi tak mampu berbuat apa-apa mencegah prahara yang sebenarnya sedang berlangsung di Sipolha. 

Keluarga ibu, status tondong, pada umumnya jadi sandaran perlindungan di komunitas Batak walau itu dalam keadaan normal. Pasu-pasu dari tondong mirip personifikasi pasu-pasu Tuhan. Keluarga Partuanan Sipolha juga hampir semuanya melarikan diri ke wilayah Toba, keluarga dari pihak ibu mereka seperti Tomok dan lainnya di Pulau Samosir.

Parboruan mereka, seperti marga Sidabutar pun membuka pintu saat hollocaust versi Simalungun itu terjadi. Ini merujuk pada tradisi turun-temurun antara Partuanan Sipolha dan Raja Sidabutar di Tomok, dimana para keturunan perempuan dari Partuanan Sipolha menjadi permaisuri di pihak Sidabutar. 

Jika ada pihak yang paling mereka kenang sepanjang hayat dan mungkin akan diturunkan kisahnya ke anak-anak mereka, tak lain adalah pihak Tulang dan parboruan itu. Mereka antusias menonjolkan kasih Tuhan yang diwakili lewat perlindungan keluarga di Toba, Samosir itu. 

Agustinus dan keluarganya lama tinggal di Parapat. Keadaan ekonomi tidak mendukung dan kelaparan sering terjadi. Kemelaratan hidup dan uang yang tiada termasuk untuk berobat membuat dua saudaranya meninggal saat mengungsi di Parapat. 

Selama tiga tahun di Parapat, Agustinus berjualan kacang dan lainnya untuk menopang ekonomi keluarga. Di tengah kemelut hidup meski nyawa tidak lagi terancam, ibunda sering berpesan. "Maka bangkitlah, usahakan meraih cita-citamu dan jangan pernah menjadi beban bagi orang lain." Itulah pesan almarhum ibunya selalu.

Sejak kemelut itu, sang ibu, adalah tambatan harapan anak-anak walau si ibu pun sebenarnya sedang ringkih. Bertahun-tahun setelah peristiwa itu, Silvia Jinim Sinaga gelisah batin. Silvia rindu suami yang dia dengar telah tiada saat di Parapat itu. Hingga kematiannya sendiri di tahun 1967 karena usia, Silvia tak pernah tahu lokasi makam suaminya.

Ini adalah kematian yang tidak lazim dan pemakaman suaminya memang jelas tanpa kehadiran keluarga. Memang pasrah tetapi igauan-igauan bawah sadar Silvia adalah selalu tentang suami. Meski ia berpura-pura tenang di hadapan putra-putri demi menenangkan mereka, Silvia diam-diam mencari dan terus mencari suami. 

Hingga tetangga yang menghibur pun tak mampu menghentikan keinginan Silvia bertemu suami, yang jelas-jelas sudah tiada. Sampai-sampai muncul celetukan, "Nunga be rittik Nai Daulat." Artinya, sudah gila Nai Daulat. Ini dituturkan kembali oleh Nurdin Damanik, adek kandung Agustinus. Mereka sama-sama ada di solu bolon saat pelarian itu. 

Dikatakan "Nai Daulat" karena seorang istri di Batak selalu dipanggil lewat nama anak tersulung dengan prefik "Nai", atau "Nyak" dalam kebiasaan Betawi, misalnya. 

Tentu saja Nai Daulat atau Silvia tidak sedang "rittik". Dia hanya rindu dan ingin tahu dimana makam suaminya. Ini tidak kunjung ketahuan tetapi tak kunjung terhentikan pula hasratnya bertemu suami. Segala jalan dia upayakan, termasuk bergabung ke kelompok penganut "Parmalim" walau dia sudah beragama, Kristen. 

Bertemu secara roh, lewat medium, di kelompok itu dia lakukan guna melepas rindu dendamnya. Suami yang baik, mitra paripurna dalam merajut hidup bersama, itulah yang terngiang dan tak bisa membuatnya lupa suami. Itulah yang membuatnya sempat diledek, "Ai nunga be rittik Nai Daulat."

Inilah bagian dari pergulatan batin seorang istri warisan revolusi sosial yang pernah menggores batin terdalam itu. 

Akan tetapi Silvia adalah orang yang tegar. Bahkan amat manjur pesannya yang tidak pernah dilupakan anak-anaknya, termasuk Agustinus. "Tataplah masa depan, dan jangan pernah memikirkan dendam. Hal yang utama, bangkitkan harapan dan cita-cita." 

Pesan-pesan ini selalu terngiang di benak Agustinus hingga sekarang, hingga dia sudah punya anak cucu dengan putra-putri dan menantu baik-baik, intelek, berejeki. Terngiang pesan kuat bak tombak menghujam dalam ke tanah, yakni damai dan jangan dendam. 

Karena itulah sejak wawancara berlangsung hingga berakhir, berkali-kali Agustinus mengucapkan kalimat yang sama. "Terima kasih kepada Tuhan yang maha murah, hidup kami baik-baik saja, dan sikap memupus dendam sudah tertanam sejak peristiwa itu terjadi."

Di tahun 1949 Agustinus merantau ke Jakarta. Dia dipanggil Tulang yang lain karyawan Ditjen Bea Cukai saat itu dan tinggal di Tebet Jakarta. Bersekolah di kelas 6 SD melanjutkan sekolah yang terputus di kampung, kemudian ke tahap lanjutan, itulah yang dijalankan Agustinus.

Nasib mujur menghinggapinya dan kemudian bisa menjadi pegawai serta berkeluarga dengan penghasilan yang lumayan. "Tuhan maha baik," kata Agustinus lagi dan lagi.

Akan tetapi kepahitan masa lalu membuat Agustinus terbilang hanya beberapa kali saja pulang ke kampung halamannya. Itupun hanya jika ada acara yang amat penting. Tiada pernah ada dendam tetapi trauma membuat dia tak terlalu ingin mengingat daerah asalnya, apalagi Tiga Ras.

Pertama kali dia pulang kampung sejak merantau di 1949 itu adalah di tahun 1963 ketika dia menikahi seorang perempuan, pernah menjadi guru di Medan. 

Trauma soal daerah asalnya itu perlahan hilang. Hidup dia nikmati dengan penuh syukur. Karena itulah Agustinus balik bertanya. "Sebenarnya untuk apa lagi hal ini diungkit. Semuanya sudah berlalu dan kami baik-baik saja." 

"Bukankah itu hanya mengungkit luka lama, sekaligus menimbulkan ketidaksenangan di pihak lain?" demikian Agustinus memohon agar kasus ini tidak diungkap lagi. Terserah jika ada pihak lain yang mau melakukannya, katanya. "Kita toh tidak dendam. Ibu saya mengatakan, sudah begitu takdir kehidupan masa lalu yang harus diterima dan kepahitannya dilupakan saja."

Dia ditanyakan, apakah pernah menangis jika sesekali memgingat tragedi itu? "Iya, dulu sering. Sekarang tidak lagi. Saya sudah bahagia."

Tangisannya lebih pada kerinduan akan ayahnya. Kesuksesan hidup dan kebahagiaan hidupnya serasa ingin dia bagikan serta ceritakan pada ayahnya. Sunggu sebuah kerinduan hakiki dari anak yang "tading maetek".
Namun jangankan sempat membahagiakan, hal yang ada adalah bayang-bayang pilu. Ini mengingat pergelutan batin yang dulu dialami juga oleh ibunya. Agustinus tidak tau persis apa yang terjadi pada ayahnya setelah dijemput untuk "kursus" itu. Hal yang dia dengar dan kemudian memedihkan jika sesekali teringat adalah, ayahnya mati tak wajar penuh siksa dan dimakamkan di Huta Iling.

Kisah dan proses eksekusi ayahnya, itulah yang sering terngiang dan tak sadar membuatnya meneteskan air mata. "Sekarang tidak memangis lagi," katanya lagi.

Hal memilukan lagi adalah alasan tentang perlakuan kerajaan pada rakyatnya, yang turut menjadikan ayahnya korban eksekusi BHL. Agustinus sulit menerima ini. Kehidupannya sebelum revsos tiada beda dengan rakyat kebanyakan. Kehidupan dengan masyarakat juga tidak memunculkan gejala atau benih dendam. "Persepsi seolah-olah ada kehidupan kontras antara kerajaan dan rakyat, itu tidak saya alami ketika saya kecil. Saya ke ladang juga membantu orang tua seperti orang lain."

Persepsi kehidupan kontras telah dipertajam pihak lain. Juga sering kali dia tidak habis pikir soal argumentasi di balik revsos, walau dia mendengar bahwa revsos bertujuan mengubah tatanan. Namun mengapa harus dengan tragedi. Itulah yang memerihkannya. 

Jika ada alasan bahwa raja-raja dibenci karena memungut blasting (pajak) dari rakyat, juga sulit diterima. "Itu kan perintah Belanda dan kerajaan hanya memungut untuk kemudian diserahkan kepada Belanda."
Akan tetapi sudahlah. Itu hanya kisah masa lalu. Sudah dipasrahkan semua hal itu meski menjadi penyebab kematian ayahnya dengan makam yang tak pernah diketahui dimana. 

Keluarga ini menghapus pilu dengan mengambil tanah dari lokasi yang dipersepsikan sebagai lokasi ayahnya dieksekusi dan dimakamkan dan kini ditempatkan di Sipolha, di makam keluarga.

Setelah semua itu berlalu, Agustinus menepati janjinya di malam hari itu. Berbagi kebajikan di tengah komunitasnya, di lingkungan gereja, dan acara adat, tak pernah dia lupakan. "Karena memang itulah dulu janji saya jika Tuhan memberi saya keselamatan nyawa."
Sonaima...(Simon Saragih)

Parlindungan Damanik Partuanon di Sipolha Tahun 1934 dari Universiteit Leiden Collectie: KITLV di Belanda Tampak Photo Tuan Raja Pinta Panaluan Jati Hamonangan Damanik / Gelar Tuan Paraloangin Damanik Tuan Jambur Na Bolag Sipolha ( anak kedua Si Ria Kadi / Toean Van Manik Sipolha alinea ke 26 Korte Verklaring Kerajaan Siantar 16 Oktober 1907).

Berdiri ditengah memakai baju putih, celana putih dan berkopiah hitam dihapit oleh Tuan Jukkar Damanik ( Tuan Huta Bolon Pamatang Sipolha Anak pertama Si Tahan Batoe / Toean Van Sipolha alinea ke 25 Korte Verklaring Kerajaan Siantar 16 Oktober 1907) dan Tuan Kalabosar Damanik ( Tuan Dolok Maraja Sipolha anak pertama Toean Van Manik Sipolha).
 
Dan Tampak Puang Bolon R. Mesta Huria br Sinaga berkebaya & memakai bulang di sebelah kiri di hapit oleh 2 orang Belanda / menjauhi Kaha Kahanya / Adat di Sipolha (Para Staf ADM Afdeling Simeloengoen en de Karolanden saat berkunjung ke Sipolha (Salah satu wilayah sentrum kebangsawanan Simalungun di Tepi Danau Toba).

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments