Pieter, yang saya panggil Oppung sepanjang wawancara, menyediakan waktunya bertemu di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Rabu (6/8). Amat ramah, rendah hati, bersahabat demikian Oppung ini dalam pandangan saya.(Foto Simon Saragih) |
Pieter, yang saya panggil Oppung sepanjang wawancara, menyediakan waktunya bertemu di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Rabu (6/8). Amat ramah, rendah hati, bersahabat demikian Oppung ini dalam pandangan saya.
AC dinyalakan untuk membuat saya nyaman walau saya tak hirau sebenarnya dengan suhu udara karena bertemu dengannya pun sudah sebuah kesempatan berharga. Disuguhi "English Tea" (tes manis) dengan cadangan tambahan dalam teko, biskuit serta martabak telor meski saya sudah kenyang. Keramahan asli Simalungun yang paripurna. Layak diteladani.
Bicara runut dan tampak siap dengan sketsa dan silsilah Partuanan Sipolha Damanik. Sungguh Pieter menanggapi serius wawancara, yang baginya amat penting untuk menorehkan sejarah masa lalu Partuanan Sipolha.
Setelah pemanasan perkenalan sembari memastikan bahwa dia merasa nyaman dengan lawan bicara, kemudian cerita pun dimulai. Terasa ada sikap investigatif dari Pieter pada orang yang sedang berhadapan dengannya. Terbiasa dengan cara seperti itu dalam 25 tahun karir sebagai wartawan membuat saya sangat maklum.
Dia adalah salah satu putra dari Tuan Boturan, salah satu korban tewas di masa revsos. Kisah kematian Tuan Boturan cukup berliku dan sempat dilalui dengan cara mengamankan diri tetapi ajal tetap memburunya.
"Setelah bapak saya sempat diamankan ke Parapat untuk menghindari perburuan Barisan Harimau Liar (BHL), kami pun mengungsi dengan berjalan kaki. Tujuannya adalah ke sebuah tempat tak berpenghuni di atas desa Sipolha yang dulu adalah hutan belantara tetapi kami anggap aman dari kejaran BHL. Dari situ turun kami ke pantai setelah keadaan dirasakan aman. Dari pantai Sipolha kami marsolu menuju Panahatan di daerah Parapat tempat wisma Pertamina sekarang."
Dari situ Pieter, semuanya berempat termasuk ibu yang sedang hamil tua, berjalan kaki mendaki gunung. Singkat cerita, tibalah di Siantar. Tujuannya adalah membawa makanan ke sebuah tahanan yang sekarang Siantar Hotel. Mereka mencari Tuan Boturan Damanik, ayahnya yang diciduk.
Informasi bahwa Tuan Boturan ada di Siantar Hotel didapat berkat relasi Inangtuanya boru Hutahayan, yang memiliki pergaulan luas. Si Inangtua bersama Pieter dan adek-adeknya bersama Ibunda menghadap ke Siantar Hotel.
Tak lama kemudian muncul seorang pria bongsor, berpostur tinggi, berkumis sembari makan sirih. Dia tidak ingat siapa persisnya pria itu.
Rombongan tak acuh lagi tentang siapa pria itu. Bagi mereka hal terpenting adalah bertemu sang bapak yang mereka rindukan. "Bisakah kami bertemu Tuan Boturan?" demikian salah satu rombongan memohon.
"Tidak bisa...!" Demikian pria berwibawa tapi tak ramah dan menyeramkan itu menjawab.
"Kami membawa nasi, bisakah kami memberinya makan?" demikian mereka berharap tinggi. "Tidak, tapi sini makanannya, saya yang ngasih!" Demikian reaksi yang mereka terima dari pria dengan kumis sedikit belepotan cairah merah sirih itu.
Makanan pun diserahkan. Tak lama setelah itu si pria menghilang dari hadapan mereka. Kemudian mereka hanya mendengar, "Amang oi Amang... Lalu senyap."
Suara siapa itu? Pieter tak tahu. Hal yang dia tahu, ada tiga orang dari keluarganya saat itu di Siantar Hotel tersebut, ayahnya, abangnya anak dari tutur bapatua dan seorang bapatuanya.
Suara itu adalah suara terakhir dan mereka pun tak pernah lagi datang besuk membawa makanan. Dari jaringan yang ada, mereka kemudian mendapatkan informasi. Keluarga ini punya relasi yang memiliki armada truk. Seorang supir armada truk memberi tahu mereka, "Suatu malam salah satu truk pernah dititipi tiga karung."
Lalu karung itu dibuang di aliran sungai yang melintasi Sinaksak di Pematang Siantar. Apakah itu Tuan Boturan dan dua anggota keluarganya? Pieter pun tidak tahu pasti. Namun ada indikasi bahwa itu adalah keluarganya.
Suatu saat pada dekade 1960-an, saat keadaan sudah aman, Pieter yang berkarir militer pernah berjalan dengan rombongan naik mobil dari Medan menuju Pematang Siantar. Tanpa diduga, ban mendadak pecah, persis di titi sungai di Sinaksak. Seakan-akan dia dipaksa keadaan harus berhenti di termpat dimana dulu dia telah diberi tahu bahwa tiga karung telah dibaurkan.
Semenjak itu setiap kali dia ke Siantar dan melewati jembatan itu, Pieter wajib turun dan tapakur sejenak. Kemudian keluarga pun mengambil air dari sungai di Sinaksak itu.
Semenjak itu tak ada lagi kejadian mengganggu setiap kali dia melewatinya. Mereka berkesimpulan, bahwa tiga karung itu, salah satunya adalah ayahnya. Setelah itu "karung" tak pernah lagi mengusik mimpi-mimpi keluarga.
Namun kisah sedih keluarga memiliki rangkaian panjang dengan puncak suara lenguhan itu tadi. Tuan Boturan bukan sasaran pertama BHL yang mulai berkecamuk di awal Maret 1946. Sasaran pertama adalah para keturunan Tuan Markadim, tutur oppungnya Pieter.
Pieter adalah keturunan dari oppung kandungnya Tuan Dolok Sumurung (Tuan Gurasa), adek Tuan Markadim.
Keturunan Tuan Markadim adalah sasaran pertama, bahkan lebih dulu disasar dari Tuan Sahkuda, Raja Sipolha dari Keturunan Tuan Laem (sering disebut Laen). Tuan Sahkuda ini adalah ayah dari almarhum mantan Bupati Djabanten Damanik.
Setelah BHL menyasar keturunan Tuan Laem dan Tuan Markadim, keadaan sempat dianggap aman. Namun dugaan ini meleset. Kemudian mereka mendapatkan informasi bahwa rangkaian pembersihan keturunan Partuanan Sipolha akan berlanjut. Ini terlebih lagi akibat berita rencana kedatangan kembali Belanda di tahun 1947 pada agresi pertama.
Sadar akan keadaan bahaya, keluarga meminta Tuan Boturan menghindar. Keluarga bersikap gentlement. Tuan Boturan melarikan diri dengan solu di malam hari di tahun 1946 itu dari Sipolha menuju Parapat. "Karena malam hari, kami tidak sempat melambaikan tangan. slrp... selrrpp.... slrppp... Itulah suara deburan air yang terkayuh hole (alat pengayuh). Itulah pertanda keberangkatan bapak saya dan kemudian kemudian suara gemercik air itu makin lama makin hilang.'
Tujuan perjalanan Tuan Boturan adalah ke pos Tentara Republik Indonesia di Parapat. "Istilahnya menyerahkan diri ke aparat keamanan," kata Pieter. Kemudian seorang anggota tentara bermarga Hutauruk datang ke Sipolha, ke perkampungan yang dikuasai Tuan Boturan.
Semua kompleks rumah di satu sisi desa Sipolha, yang khusus untuk permukiman keturunan Tuan Gurasa diberi cap, "TRI". Setiap pintu rumah diberi cap itu dengan dugaan mereka aman dan tak lagi diganggu BHL.
Namun tidak demikian halnya. TRI pun menyerahkan Tuan Boturan ke Pematang Siantar. "Kita tidak tau kemana tapi kita merasa itu adalah demi penyelamatan."
Mereka yang tinggal di kampung pun tidak merasakan kenyamanan. Tangga rumah Tuan Boturan dirusak, saat pasukan BHL datang kembali. Alasannya, tangga rumah itu menyimbolkan feodalisme karena itu harus dirusak.
Pieter dan segenap anggota keluarga hanya bisa pasrah. Apakah takut dan gemetar? "Saat situasi seperti itu tak bisa lagi kita ingat tentang diri kita walau jelas sangat takut luar biasa," kata Pieter.
Bukan itu saja. Bukan hanya tangga rumah yang dihancurkan. "Mana Tuan Boturan?" demikian pasukan BHL bertanya pada keluarga yang masih tinggal.
"Abang saya Humala terpaksa menjawab mewakili keluarga," kata Pieter. Karena dijawab Tuan Boturan tidak di tempat, Humala pun ditempeleng. Setelah ditempeleng, Humala meninggal setelah pasukan melakukan sesuatu di hadapan keluarga. Ini tidak usah dirinci. Hal yang jelas, Humala meninggal langsung di tempat.
Setelah itu pasukan BHL pergi tetapi setelah menguras isi rumah. Semua benda yang dianggap berharga pun dibawa pasukan BHL lalu pergi. Keluarga tak lagi merasa aman. Mereka mengungsi ke sebuah tempat di atas desa Sipolha di malam hari yang senyap dan tak berpenghuni. Mereka menunggu siang hari untuk turun kembali.
Setelah siang hari, mereka ke pantai dan marsolu ke Panahatan. Ibundanya Pieter yang sedang hamil tua pun ikut. Untung sang bunda selamat walau sempat didorong dan perutnya yang mengandung tua tersentuh keras oleh pasukan BHL. "Maka itu ketika adek saya lahir, bekas sentuhan keras itu terlihat di kepala adek saya yang diberi nama Revol, merujuk pada revolusi sosial."
Saat melarikan diri itu, Revol belum lahir tetapi masih dalam kandungan. Setiba di Panahatan, mereka menuju Pematang Siantar. Akan tetapi jalan yang ditempuh bukan jalan raya yang ada karena dianggap tidak aman. Rombongan keluarga, ada empat orang, mendaki gunung mulai dari Panahatan.
Kisah pelarian mereka dengan mendaki gunung terjal mirip kisah pelarian sebuah keluarga Yahudi menghindari Nazi Jerman menuju Austria dalam film "Sounds of Music" yang juga melewati pegunungan.
Gunung yang dilalui tak memiliki jalan mulus dan tak pernah dilalui orang. Mereka tetap saja melintasinya karena ketakutan. Di lereng gunung itu, Sang Ibu mendadak terhenti. Kandungannya terasa perih dan tenaga si ibu habis. Mereka terpaksa berhenti.
"Kami semua bertangisan," kata Pieter. Menangis karena mereka melihat ibu yang tak berdaya, dan seolah-olah ajalnya pun akan mereka saksikan berakhir di lereng gunung yang tidak mudah dilalui itu. Membawa badan sendiri pun sudah tidak mudah, apalagi harus mengusung orang yang lunglai tak berdaya.
Mereka berhenti dengan harapan tenaga si ibu pulih. Tak lama setelah bertangisan sembari berhenti, tenaga si ibu pulih. Mereka pun kembali berjalan menapaki gunung menuju puncak dan kemudian turun terjal. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke Pematang Siantar dengan melewati hutan belantara yang pernah tidak dilalui orang.
Singkat kata, mereka tiba di Siantar. Di kota ini, suara lengguhan itu adalah hal yang mereka terima.
Akan tetapi setelah itu lama-lama keadaan aman. Dan segela kepenatan akan kisah mulai sirna.
Si Ibu balik ke kampung dan melahirkan anak, Revol dengan cacat di kepala. Setelah keadaan aman, sekitar tahun 1950, semua keluarga yang tunggang langgang melarikan diri bersatu kembali untuk pertama kali, yakni mereka yang selamat.
Di keluarga Pieter, si Ibu memberi pesan. "Tapakilah jalan hidup dan bergaullah luas." Sama seperti keluarga kerajaan korban revolusi, mereka pun tidak memikirkan dendam. Mereka fokus saja menatap masa depan. Pieter pun beruntung. Setelah peristiwa revsos itu, Abangnya Muller Damanik, almarhum yang mantan Rektor USI, sudah bisa jadi penopang hidup keluarga.
Muller memulai karir sebagai pasukan Blau Paper, dan akhirnya menjadi TNI. Muller sebagai yang tertua, sepeninggal Humala, tak lupa akan adek-adeknya. Muller membiayai semuanya dan adek-adek sangat tahu diri dan berjuang menggapai kehidupan.
Pieter yang menempuh pendidikan HIS, dan tahap lanjutan, kemudian melanjut ke SMA Biliton di Bandung, sebuah SMA yang saat itu punya reputasi besar. Lulus SMA, Pieter melanjut ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang.
Krisis Irian Jaya membuat pemerintah kekurangan pasukan. Para siswa APDN pun menjadi milsuk atau militer sukarela. Almarhum mantan Mensesneg Moerdiono adalah sekelasnya di APDN pun berubah menjadi pasukan militer.
Dari sinilah Pieter beralih menjadi militer dengan pernah bekerja di BAIS. Dia dekat dengan almarhum Jenderal LB Moerdani.
Di bawah kepemimpinan almarhum EWP Tambunan sebagai Gubernur Sumut, pernah ada pemikiran agar ada seorang Simalungun yang menjadi Bupati Simalungun. Seorang Panglima Bukit Barisan menemukan nama Pieter Damanik. Akan tetapi Benny Moerdani tidak setuju karena dia membutuhkan Pieter. Di samping itu, hambatan lain adalah karena dikhawatirkan keturunan feodalisme akan kembali berjaya. Padahal keluarga ini jauh dari pikiran demikian.
Jadilah jabatan Bupati Simalungun saat itu dijabat JP Silitonga. "Akan tetapi itu adalah sebuah berkat. Tak berhasil jadi bupati, saya tak lama kemudian menjadi Atase Pertahanan di KBRI London setelah mengalahkan sejumlah pesaing, termasuk almarhum Gubernur Sumut Raja Inal Siregar," kata Pieter.
Dari situ karirnya melejit, dan pada tahun 1991 atas penunjukkan mantan Presiden Soeharto Pieter menjadi Dubes di Filipina hingga 1995. Di Filipina, Pieter pernah menengahi perseteruan antara kelompok MORO dan pemerintah Filipina. Saat jadi Dubes, Pieter juga pernah menjadi penengah dan bertemu Nur Misuari, tokoh Muslim Mindanao.
Di Filipina ini dia juga pernah menjadi mediator untuk bertemu Kardinal Jamie Sin, tokoh Katolik yang turut memimpin aksi demonstasi People's Power yang menjungkalkan almarhum mantan Ferdinand Marcos tahun 1986.
Pieter teringat pesan ibundanya, jadilah orang yang bersahabat, rendah hati dan memiliki pergaulan luas.
Dia kini merasa bahagia di usianya yang ke-80 dengan tiga putrinya. Pieter menyerukan kebangkitan Simalungun, yang sangat sedikit berkarir di militer. "Juga tidak ada Simalungun yang pernah duduk sebagai gubernur."
Pieter menyerukan agar Simalungun bangkit. Dia tak memikirkan lagi kepedihan masa lalu. "Kami telah melupakan masa lalu dan justru selalu mengucap syukur. Kami tidak jatuh karena revsos tetapi kami bisa dikatakan melambung tinggi dalam kehidupan."
Memang menjadi pertanyaan baginya. Mengapa kami diburu BHL? Apa dasarnya? Itu hanyalah pertanyaan tetapi mereka tidak lagi perlu mendalaminya.
Akan tetapi ada satu hal yang tertangkap. Saat revsos itu, BHL begitu berkuasa dan begitu disegani. Penyerahan bapaknya ke TRI menunjukkan hal itu. Pasukan TRI pun keder pada BHL saat itu terbukti dengan penyerahan Tuan Boturan ke BHL di Pematang Siantar.
Saol siapa BHL, Pieter pun tidak pernah mendalami lagi. "Hanya saja, kami memang trauma dengan nama Tiga Ras," kata Piter. Tiga Ras adalah asal dari Saragih Ras, yang tidak pernah dia temui dan kenal.
Di lapangan dalam kesaksiannya, adalah pasukan BHL yang dia lihat begitu berkuasa. Pieter mendukung penulisan revsos. Namun dengan tujuan sekadar penorehan sejarah khususnya sejarah Simalungun. Dan ini dengan harapan semoga Simalungun bersatu ke depan. Itu lebih penting ketimbang jeritan masa lalu keluarga karena demikianlah keluarga Partuanan Sipolha berharap.
Kami memang bisa dikatakan terbagi dua. Keturunan Partuanan Sipolha dari garis para ibu etnis Toba cenderung berbahasa Toba dan dari garis para ibu etnis Simalungun cenderung berbahasa Simalungun. "Maafkan saya karena tidak memiliki bahasa Simalungun yang baik tetapi saya adalah Simalungun." "Tarima kasih da ambia, dear do horja nima on," katanya sembari mengantar saya hingga ke pintu rumahnya. Eak Oppung nabujur....(Simon Saragih)
0 Comments