Butet Manurung dan Rosenman Manihuruk saat ke Redaksi Harian Jambi, Rabu (20/11/2013) sore.Foto Dok Asenk Lee Saragih |
BERITASIMALUNGUN.COM, Jambi-Saur Marlina Manurung (42) atau yang dikenal dengan nama Butet Manurung
memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award. Antropolog lulusan Unpad
ini, dikenal atas dedikasinya bagi suku anak dalam. Perempuan yang akrab
disapa Butet ini memang berjuang di pedalaman hutan Jambi menjadi guru
dan mendirikan Sokola Rimba.
Dalam undangan yang dikirim panitia Ramon Magsaysay Award lewat surat elektronik ke redaksi@detik.com Jumat (22/8/2014), disebutkan bahwa penghargaan akan digelar pada 31 Agustus mendatang di main theater cultural center of the Philippines.
Disebutkan juga penganugerahan Ramon Magsaysay ke 56 ini akan diberikan ke sejumlah orang termasuk Saur Marlina Manurung, dan juga sejumlah nama antara lain dari China yakni Hu Shuli, dan dari Afghanistan Omara Khan Masoudi.
Butet sejak akhir '90-an sudah masuk ke hutan-hutan di Jambi. Dia mengajari anak-anak suku anak dalam membaca dan menulis. Kisah Butet juga diangkat ke layar kaca dengan judul 'Sokola Rimba'.
Di dalam film itu, Butet memberikan pelajaran kepada suku anak dalam agar mereka tak ditipu para pembalak liar yang kerap membabat habis hutan milik orang rimba itu.
Penghargaan Ramon Magsaysay, ini kerap disandingkan dengan hadiah nobel. Penghargaan Ramon Magsaysay ini diambil dari nama Presiden Filipina yang tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Ramon Magsaysay diberikan untuk individu atau kelompok yang dianggap memberi perubahan terhadap komunitas masyarakat di sekitarnya.(*)
Dalam undangan yang dikirim panitia Ramon Magsaysay Award lewat surat elektronik ke redaksi@detik.com Jumat (22/8/2014), disebutkan bahwa penghargaan akan digelar pada 31 Agustus mendatang di main theater cultural center of the Philippines.
Disebutkan juga penganugerahan Ramon Magsaysay ke 56 ini akan diberikan ke sejumlah orang termasuk Saur Marlina Manurung, dan juga sejumlah nama antara lain dari China yakni Hu Shuli, dan dari Afghanistan Omara Khan Masoudi.
Butet sejak akhir '90-an sudah masuk ke hutan-hutan di Jambi. Dia mengajari anak-anak suku anak dalam membaca dan menulis. Kisah Butet juga diangkat ke layar kaca dengan judul 'Sokola Rimba'.
Di dalam film itu, Butet memberikan pelajaran kepada suku anak dalam agar mereka tak ditipu para pembalak liar yang kerap membabat habis hutan milik orang rimba itu.
Penghargaan Ramon Magsaysay, ini kerap disandingkan dengan hadiah nobel. Penghargaan Ramon Magsaysay ini diambil dari nama Presiden Filipina yang tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Ramon Magsaysay diberikan untuk individu atau kelompok yang dianggap memberi perubahan terhadap komunitas masyarakat di sekitarnya.(*)
Mira Lesmana bersama Sutradara Riri Riza dan pemeran Butet Manurung, Prisia Br Nasution ke Redaksi Harian Jambi, Rabu (20/11/2013) sore.Foto Dok Asenk Lee Saragih |
Butet Manurung |
Butet Manurung, Prisia Br Nasution ke Redaksi Harian Jambi, Rabu (20/11/2013) sore.Foto Dok Asenk Lee Saragih |
Mira Lesmana bersama Sutradara Riri Riza dan pemeran Butet Manurung, Prisia Br Nasution ke Redaksi Harian Jambi, Rabu (20/11/2013) sore.Foto Dok Asenk Lee Saragih |
Butet Manurung: Separuh Hidup Bersama Orang Rimba
JAMBI-Tidak ada orang yang bercita-cita untuk hidup bersama orang dengan
keterbelakangan. Terutama di hutan rimba dengan semua kondisi sulit yang harus
dihadapi. Namun, Butet Manurung rela separuh hidup di hutan untuk mendidik anak
rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Tak ada yang
berbeda dengan sosok Saur Marlinang alias Butet Manurung (43) saat berkunjung
ke Redaksi Harian Jambi.
Wajahnya masih sama seperti peluncuran Buko Sokola
2007 lalu di Jambi. Penampilannya yang sederhana dan sulit mengumbar senyum,
mengundang keingintahuan dengan Sosok Butet Manurung. Butet menyempatkan
waktunya berbincang dengan Harian Jambi di sela kunjungan Mira Lesmana bersama
Sutradara Riri Riza dan pemeran Butet Manurung, Prisia Br Nasution ke Redaksi Harian
Jambi, Rabu (20/11/2013) sore.
Kunjungan itu
dalam rangka silahturahmi media terkait dengan penayangan perdana secara nasional
di Bioskop 21 Kamis 21 November film
terbaru berjudul Sokola Rimba di bawah naungan rumah produksi Miles Films.
Film
ini mengisahkan tentang perjuangan seorang Butet Manurung yang rela mengajar anak
rimba di pedalaman Hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Sokola Rimba adalah film
adaptasi buku Butet Manurung di tahun 2007 yang berjudul sama.
Buku tersebut
berisikan berbagai pengalaman luar biasa yang dilalui Butet mulai dari
pengalaman yang indah hingga yang menegangkan. Dedikasinya yang tinggi sebagai
pengajar di daerah pedalaman hutan membuatnya dianugerahi Heroes of Asia Awards
2004 majalah Time.
“Separuh hidupku
bersama orang rimba. Hidupku sudah menyatu dengan suku rimba atau suku anak dalam.
Saya tidak bisa terlepas dari mereka. Mereka sudah bagian dari hidupku. Di mana
pun aku berada, suku terasing adalah keluargaku sepanjang hayat,” demikian
tuturnya.
Nama Butet
Manurung tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Perempuan berdarah Batak ini
boleh dibilang lain dari perempuan biasa. Mengabdikan diri bagi suku terasing
di Indonesia ini, merupakan panggilan hidupnya.
Alumnus Antropologi Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung Jawa Barat mengatakan, keberadaan suku terasing di
Indonesia boleh dikatakan mulai punah. Padahal suku tersebut merupakan aset negara
yang harus dilindungi dan mendapat perlakuan seperti masyarakat lainnya.
Namun pada
kenyataannya, tutur Butet, suku terasing di Indonesia semakin terpinggirkan,
bahkan habitat mereka sudah menjadi lahan penjarahan pelaku ilegal logging.
Kondisi tersebut, membuat Butet Manurung terpanggil untuk pendamping suku
terasing, termasuk SAD yang bermukim di
Makekal Hulu Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Bangko Merangin
Provinsi Jambi selama beberapa tahun.
Sokola
Sebagai wujud
kepedulian Butet terhadap SAD, dirinya membentuk suatu lembaga yang diberi nama
Alternatif Education Community For Indigenous Forest People pemberdayaan
pendidikan alternatif suku anak dalam. Disebutkan,
sokola di TNBD memang sangat berperan bagi perkembangan ilmu SAD.
Memberikan
sekolah alternatif bagi 5.000 jiwa suku kubu yang bermukim di Makekal Hulu itu
merupakan anugerah dan hidup baginya. Menurut wanita peraih penghargaan “Women
of the year 2004” dari ANTV award ini, pemberdayaan SAD meliputi pendidikan alternatif, pelayanan
kesehatan, bercocok tanam, serta pengadaan penerangan pemukiman tenaga surya.
Pihaknya telah
melakukan pemberdayaan SAD di kawasanan TNBD sudah tujuh tahun lamanya. Dari
hasil pembinaan yang mereka lakukan perubahan kultur suku anak rimba sudah
mulai tampak. Setidaknya enam anak Rimba sudah dijadikan guru bagi komunitas
SAD di kawasan seluas 50 ribu hektar tersebut. Mereka sudah dapat menulis, membaca
dan berhitung (calintung) dan bercocok tanam. Bahkan mereka sudah ada yang
paham dengan teknologi komunikasi menggunakan HP.
“Selain memberi
pendidikan alternatif, sokola yang beranggotakan enam orang itu yakni Dodi
Rokadian, antropolog asal Bandung, Indit, antropolog dari Yogyakarta, Dani,
antropolog Unpad-bandung, Willy, pendamping Bukittinggi, Irmansyah, pendamping
Jambi dan saya sebagai guru besar juga melakukan pelayanan kesehatan kepada
para SAD,” ujar wanita kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972 ini.
Disebutkannya,
sokola juga menyediakan pembangkit listrik tenaga surya untuk penerangan
pemukiman SAD. Ada 59 kelompok SAD yang bermukim di TNBD dengan jumlah jiwa
sekitar 5000 jiwa. Cerita Butet, yang mengaku masuk ke Jambi tahun 1999 lalu
ini, sejak melakukan pemberdayaan, mereka kesulitan terhadap penerangan di kawasan
tersebut. Sebuah mesin diesel (genset) yang bahan bakarnya bensin dirasakan
sangat sulit untuk dipertahankan. Hal karena harga bensin di kawasan itu
melambung tinggi dari harga biasa.
Ditambahkan,
gangguan atau kendala yang dihadapi sokola selama berada di TNBD, terjangkit
penyakit malaria. Namun, hal itu tidak sampai mengganggu aktivitas mereka
karena dapat ditangani oleh petugas sokola.
Menyinggung
masalah dana penelitian dan pemberdayaan sokola, Butet menyebutkan, sumber dana mereka berasal dari
salah satu yayasan luar negeri Global Environment Fasilitation (GEF). Selain
itu juga dari sebuah lembaga UNDV (sejenis lembaga peduli pendidikan dunia UNESCO).
Selamatkan Lingkungan
Disisi lain Butet
menuturkan, SAD juga sangat berperan dalam penyelamatan lingkungan dari
penjarah. Namun, usaha yang dilakukan SAD masih terpinggirkan oleh Pemerintah
Provinsi Jambi. Pada peringatan hari lingkungan hidup sedunia pada Senin 5 Juni
2006 lalu, Temenggung Tarib sebagai utusan komunitas suku anak dalam di Desa
Pematang Kabau Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun memperolah penghargaan
Kalpataru 2006 dari Bapak Presiden RI SBY di Istana Negara.
Kepedulian SAD
terhadap pelestarian lingkungan hidup, sewajarnya mendapat perhatian serius
dari Pemerintah Provinsi Jambi. Bahkan kini pemukiman mereka terusik dengan program
perencanaan pengelolaan Taman Nasional (TNBD). semoga SAD selalu bagian dari
masyarakat Jambi.
Selama delapan
tahun, wanita penerima anugerah "Woman of The Year" tahun 2001 di
bidang pendidikan oleh televisi swasta Antv ini, menggerakkan sokola-kelompok pendidikan
alternatif. Kini, sokola alternatifnya sudah menyebar di 10 daerah, diantaranya
Jambi, pejuang dari Aceh, Makassar, Bulukumba (Sulawesi), Flores, Pulau
Besar dan Gunung Egon, Halmahera, Klaten, Bantul, dan Kampung Dukuh (Garut). Sayang,
Kampung Dukuh sudah berhenti, jadi tersisa hanya sembilan.
Wanita yang juga
penerima penghargaan dari majalah Time sebagai "Heroes of Asia Award
2004" dan peraih "Woman of The Year" bidang pendidikan oleh
televisi swasta Anteve pada tahun 2004 ini, selalu merasa nyaman di hutan
karena sejak masih mahasiswa sudah akrab dengan hutan. Karena begitu masuk ke
sana, menurutnya, seakan jarum jam berhenti, identitas gelar sarjana yang
dimilikinya terlupakan dan yang paling membuatnya terharu dan tak akan
dilupakan, saat semuanya memanggilnya “Bu Guru”.
Terkait dengan film
sokola rimba, lanjut Butet Manurung, film tersebut hanya bagian dari isi
bukunya sebagai kepedulian terhadap suku rimba. “Saya bersyukur adanya film
ini. Saya bangga sebagai pendampingan suku rimba. Ternyata buku saya menjadi
inspirasi Mira Lesmana dan Riri Riza menjadikan film Sokola Rimba,” katanya.(Rosenman Manihuruk/Asenk Lee Saragih)Separuh Hidup Bersama Orang Rimba)
0 Comments