Info Terkini

10/recent/ticker-posts

DRAF FINAL, KEJAYAAN TARALAMSYAH DAN MUSIK SIMALUNGUN

Sultan Saragih-(Putri Ke 11 Bp Taralamsyah Saragih) dan Suhu Muhar Omtatok.Foto diabadikan saat pertunjukan Teater dan Tari Tradisional Simalungun Dalam Tradisi "Ritual Parsimagotan" Karya Bersama Sultan Saragih & Suhu Muhar Omtatok, Kamis 6 Juni 2013. Pukul 20.30 s/d 22 WIB di Taman Budaya Jambi, Kambang Telanaipura Kota Jambi.Foto Asenk Lee Saragih

 Pertunjukan Teater Simalungun di Taman Budaya Jambi

* Orkes Nalaingan Memukau Soekarno

“Presiden Soekarno amat menyukai tarian Manduda,” kata Menna Purba kelahiran 1927, salah satu penyanyi Nalaingan. Ini kenyataan yang dia saksikan saat Soekarno berkunjung ke Medan, Sumatera Utara dan disuguhi tarian dan nanyian Simalungun yang dilakoni para personel Nalaingan.

“Tarian Manduda” memeragakan orang berpasang-pasangan menumbuk padi bersama, sebuah kebiasaan masa lalu di Simalungun. Kelebihan tarian ini ada pada hentakan gerak yang seragam dengan iringan salah satu melodi Simalungun terbaik yang memang enak didengar oleh suku mana saja.

Karena Soekarno suka Istana Negara pun pernah menjadi ajang pertunjukan tarian Simalungun. Enna Garingging seorang bintang radio Sumut dekade 1950-an mendukung itu. Karena kagum dan menyukai budaya Simalungun dia dan rekan-rekan pernah sengaja dipanggil menari di Istana Negara, Jakarta, di hadapan Soekarno dan tetamu negara.

Inilah berkat torehan Nalaingan, sebuah orkes Simalungun yang didirikan Saridin Purba, Djawalim Saragih dan Taralamsyah di tahun 1959. Mereka bertiga berasal dari lingkungan Kerajaan Raya dan tergolong masih satu keluarga serta sarat bakat musik.

Taralamsyah jago melodi, syair dan pola gerakan tarian. Djawalim handal di gitar dan tampi l sebagai pemimpin orkes. Saridin adalah pegawai negeri dengan fanatisme pada budaya yang rela dengan dukungan keuangan dari kantong pribadi. 

Mereka punya kesibukan masing-masing sebagai sama-sama pegawai negeri tetapi konsisten pada pengembangan karya seni Simalungun. 

Honor tak memadai saat itu jika hanya mengandalkan penghasilan dari orkes. Namun ini tidak menyurutkan nyali bermusik mereka. Idealisme dan panggilan jiwa ditopang bakat seni yang kuat membuat Saridin Purba, Taralamsyah Saragih, Djawalim Saragih percaya diri mendirikan dan melestarikan orkes ini.


Kesadaran diri, panggilan jiwa dan barangkali juga idealisme telah mendorong berdirinya sebuah orkes Simalungun, Na Laingan, mengambil kata Simalungun,artinya yang indah, cantik. Dua kata ini dilebur menjadi Nalaingan.

Jika untuk tujuan peruntungan ekonomi pendirian Nalaingan jelas tidak mendapatkannya. Di tahun 1959 saat orkes berdiri jumlah penduduk Simalungun sangat sedikit, perekonomian terbelakang dan mayoritas warga hidup sebagai petani subsisten. 

Tulisan-tulisan tangan Taralamsyah yang terjaga rapi menunjukkan itu. Honor para personel Nalaingan misalnya, hanya seukuran Rp 200 per orang. Padahal ini adalah honor saat tampil menghibur almarhum Presiden Soekarno di Gubernuran Medan, Sumut pada 26 April 1962. Orang yang memanggil mereka pun bukan sembarangan, yakni Bupati Simalungun Radjamin Purba (menjabat 1960 – 1970).

Akan tetapi itu tidak terlalu penting bagi mereka walau tentu diperlukan. Namun hal terpenting adalah bernanyi, menari dan menghibur serta menjadi motor seni budaya handalan pada zamannya. Itulah yang membuat mereka serius dan tekun berlatih. Hasilnya adalah kualitas hiburan yang memukau para penonton. 

Setiap kali tampil selalu ada sambutan meriah. “Kita mendapatkan riuh rendah tepukan,” kata Menna mengenang masa lalu.

Aransemen, irama musik, pola tarian Nalaingan memesona. Tidak heran jika mereka sering tampil di acara-acara penting seperti peresmian pasar los di Haranggaol, juga atas undangan Bupati Radjamin, yang memang gencar mendorong budaya Simalungun.

Pada 21 September 1961 Nalaingan tampil pada peresmian Gereja HKBP-S di Jalan Hang Tuah, Medan. Mereka juga menghibur pada acara halal bihalal pegawai PLN di Jalan Linggar Jati, Medan.Bahkan Nalaingan pernah diundang tampil di acara Perkumpulan Tionghoa Perantauan di Medan dengan pertunjukan selama empat hari berturut-turut yakni periode 16 – 19 Februari 1962. Ini karena nama Nalaingan terdengar di luar non-Simalungun. Nalaingan juga tampil di acara kelompok maupun pribadi di berbagai kota seperti Parapat, Bangun Purba, Binjai. 

Kualitas penampilan Nalaingan tergolong super pada zaman itu. Profesionalisme Nalaingan sampai membuat mereka pernah disewa Lokananta, sebuah perusahaan rekaman pertama di Indonesia, milik negara yang berdiri tahun 1956. 

Lokananta merekam lagu-lagu Indonesia hingga lagu-lagu daerah dan menjadi bahan siaran hiburan RRI yang amat terkenal di zaman Orde Lama dan Orde Baru di seluruh stasiun. Untuk musik pengiring album Karo dalam rekaman Lokananta, para pemusik Nalaingan menjadi andalan. Lagu-lagu karya Djaga Depari seorang komponis besar etnis Karo saat itu dalam rekaman Lokananta juga diiringi orkes Nalaingan.
Seperti bapak, seperti anak.

Mengapa semangat personel Nalaingan tinggi? Mengapa honor yang rendah tak menyurutkan semangat? Pada saat itu Presiden Soekarno memang sedang gencar mendorong harkat dan martabat bangsa. Lewat budaya, Soekarno pun mendorong penonjolan martabat bangsa. Jepang dan Perancis pun sangat terkenal sebagai bangsa yang kuat akan jati dirinya. 

Kondisi eksternal seperti ini turut mendorong semangat para pujangga etnis. Dalam hal ini semangat itu telah diejawantahkan oleh para personel Nalaingan.

Namun di luar faktor eksternal itu, Orkes Nalaingan adalah salah satu resultante semangat para orangtua mereka. Nama-nama pendiri dan para personel Nalaingan adalah para keturunan tetua dan elite Simalungun zaman dulu. Mereka terbawa semangat dan kesadaran akan jati diri yang diusung para tokoh Simalungun masa lalu asal Kerajaan Raya.

Saridin Purba dan Taralamsyah Saragih adalah keturunan atau cucu Raja Rondahaim, dari pihak ibu dan bapa. Mereka ini adalah kelompok internaat hoofd der zonen (kalangan tertentu yang dapat privilis soal pendidikan, sebagai salah satu contoh).

Rondahaim pernah dijuluki oleh Belanda sebagai Napoleon Bonaparte dari Simalungun, sebagaimana dikatakan Donald Tick, seorang pemerhati para ningrat Indonesia asal Belanda, yang kini tinggal di Vlaardingen. 

Rondahaim adalah salah satu Raja penegak kuat identitas Simalungun. Dia dikenal dengan strategi perang yang membuat wilayahnya sulit ditaklukkan. Kebesaran dan kehebatan Rondahaim turut menghadirkan era keemasan Simalungun. Para Raja Raya meneruskan pematrian identitas.


Jalam Saragih Sumbayak, adalah kakek kandung Djawalim, yang pernah bekerja di Kerajaan Raya, saat Rondahaim berkuasa. Putra Jalam, yakni Pendeta J Wismar dan abang kandungnya Jaudin, adalah rakyat biasa tetapi gencar mendorong identitas Simalungun. 

Jaudin dan pendeta Wismar terkenal sebagai tokoh non-ningrat yang menghendaki akses pewartaan dalam Bahasa Simalungun. Mereka juga menuntut akses menjadi pendeta bagi puak Simalungun non-ningrat. Hal inilah yang turut mendorong perubahan HKBPS menjadi GKPS. (A History of Christianity in Indonesia, Jan Sihar Aritonang, Karel Adriaan Steenbrink).

Djawalim, putra Jaudin, adalah personel dan pemimpin Orkes Nalaingan. Istrinya Menna Purba mengaku darah seninya diturunkan dari keluarga ibunya, Dinaria Saragih Garingging, adalah cucu Rondahaim.
Umansyah Saragih, anggota Nalaingan, adalah juga cucu kandung Rondahaim atau putra Tuan Sumayan, sama seperti Taralamsyah.


Kombinasi darah ningrat dan semangat awam pendorong “ahap” Simalungun telah menyemburkan semangat di balik pendirian Nalaingan. 


Untungnya Kehidupan mereka ditopang kegiatan non-musik. Djawalim adalah pengawai Jawatan Penerangan dan Taralamsyah pegawai Departemen Keuangan di Medan, pindahan dari Pematangsiantar.

Di usia sekitar 30-an hingga 40-an saat itu mereka serius menggeluti musik, tari dan seni suara. Usai kerja di sore hari mereka mulai berlatih dan kadang berlangsung larut malam. Ada sikap saling dorong karena sama-sama merasa memiliki. Ini jugalah yang membuat Nalaingan solid.


Meski sesama keluarga, disiplin keras tentu berlaku. Kemarahan Taralamsyah bisa meluap jika para personel melantunkan nada falseto, dan jika para penari memeragakan pola tari yang salah. Antusiasme, kesadaran akan peran sebagai agen seni budaya dikombinasikan disiplin keras.

Menna mengenang, betapa Taralamsyah pernah agak berang pada suaminya, Djawalim, karena keasyikan “mamiltik” gitar hingga celah masuk akordion yang dimainkan Taralamsyah menjadi canggung. “Ai lalap do maen sandiri ho ambia, andigan do au masuk,” demikian Menna tertawa mengenang Taralamsyah.

Namun di luar latihan, mereka adalah sahabat. Menna Memanggil Tulang pada Taralamsyah tetapi suaminya memanggil abang pada Taralamsyah. Menna memprotes tetapi Taralamsyah tidak mempermasalahkan dipanggil Abang oleh Djawalim. Mungkin karena mereka semarga, walau Djawalim seharusnya memanggil Tulang juga pada Taralamsyah. 

Intinya, itulah gambaran kekerabatan mereka yang begitu dekat. Saat latihan, pasangan mereka masing-masing sama-sama mendukung. Mereka paham antusiasme pasangannya. 

Saat latihan, mereka tidak punya uang memadai soal makanan. Karena itu Menna suka memasak untuk konsumsi para personel jika latihan berlangsung di rumahnya.

Istri Taralamsyah, Siti Mayun Siregar, tak ketinggalan. “Saat para penari Nalaingan hendak tampil, Nanturang turut membulangi para personel. Sungguh seorang istri yang penurut dan melayani,” kata Menna tentang istri Taralamsyah, yang dia panggil Nanturang. 

Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang kesengsem dengan penampilan Nalaingan. Kualitas seni Simalungun di tangan mereka tergolong prima. 

Ada juga bukti lain dari keindahan seni Simalungun warisan mereka. Pernah ada permintaan agar tor-tor Simalungun dipakai menyambut Pangeran Bernard dari Belanda tahun 1970. Harris Hemdy Purba, putra kandung Saridin Purba, pernah ikut sebagai penari di Istana Negara. Ini karena seni tari Simalungun lolos seleksi untuk diperagakan menyambut kedatangan sang Pangeran. “Tor-tor Simalungun terpilih untuk ditampilkan,” kata Harris Hemdy.

Ini adalah warisan Nalaingan yang diturunkan kepada Harrys, yang pernah mencoba menghidupkan kembali Orkes Nalaingan. Harrys menyetujui kualitas prima personel Nalaingan.

Ada satu lagi yang memukau dari Orkes Nalaingan. Ini soal perangai, perilaku dan pergaulan. Fanatisme mereka akan budaya Simalungun dijaga sedemikian rupa agar tetap khas Simalungun. Akan tetapi mereka orang yang terbuka dan bergaul. 

Menna mengenang, Nalaingan sering kali dikunjungi Gordon Tobing, Djaga Depari dan Nahum Situmorang. “Mereka berkepentingan dalam rangka rekaman Lokananta,” kata Menna.

Bukan itu saja, Taralamsyah pun pernah membantu dengan menciptakan lagu Karo karena Djaga Depari tidak bisa memenuhi kuota delapan lagu Karo untuk rekaman Lokananta. Jadilah Taralamsyah menciptakan lagu Karo, salah satunya berjudul “Padan Pengindo”.

Inilah kelebihan Nalaingan dan Taralamsyah, tidak terjebak chauvinisme. Hal itu justru membuat rekan seniman dari etnis lain semakin simpatik. Tutur kata yang santun dan keramahan Simalungun, sikap terbuka, membuat seniman lain merasa nyaman.

Jati diri mereka kuat dan mampu berdiri sejajar dengan etnis lain, atau bahkan lebih dari yang lain. Suatu keteladanan dan etos yang layak ditiru generasi sekarang.(Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments