Info Terkini

10/recent/ticker-posts

(DRAF FINAL) KISAH TARALAMSYAH MEMBUKA CAKRAWALA

Simon Petrus Saragih
* Sebuah Refleksi untuk Simalungun
Awalnya hanya sekadar niat mengenang kebesaran nama almarhum Taralamsyah Saragih. Kebesaran namanya sudah lama terpatri. Pada dekade 1970-an misalnya karena dianggap paling profesional Taralamsyah dicoba diundang ke Jakarta untuk mengembangkan seni budaya Simalungun.

Persepsi kebesaran namanya tetap turun hingga di benak generasi Simalungun zaman sekarang.

Niat mengenang. Itu saja awalnya.

Awalnya diduga tidak ada masalah apapun tentang perjalanan hidup Taralamsyah. Keharuman namanya, hanya itu saja yang tertangkap.

Awalnya dikira dia hanya seorang komponis yang sudah almarhum dan eranya berakhir tanpa meninggalkan jeritan batin.


Awalnya dikira dia dimakamkan di Simalungun tetapi ternyata dimakamkan di Jambi.
Intinya banyak generasi Simalungun yang tidak paham kisah salah satu tokoh terbesarnya yang datang dari dunia seni budaya.

Ada semacam gugatan batin mengapa kisah dan sejarah komponis besar Simalungun ini dibiarkan tenggelam?

Akan tetapi sudahlah, walau terlambat hal terpenting akhirnya dia diingat juga dan kisahnya hendak dibukukan. Harapannya semoga kemudian keuletannya diteladani oleh para generasi muda Simalungun yang bergerak di bidang seni budaya.

Walau terlambat ada hikmah dari kisah Taralamsyah ini. Dia seperti membuka sebuah tabir yang tidak pernah diketahui oleh generasi lebih muda Simalungun.

Dia seperti mengingatkan tentang sebuah penggalan perjalanan etnis Simalungun yang hilang. Ironisnya penggalan perjalanan yang hilang ini tak disadari sebagai sebuah kehilangan besar.

Taralamsyah seolah-olah hadir lagi untuk mengingatkan pentingnya restorasi ahap Simalungun atau jati diri Simalungun.

Taralamsyah seolah-olah hadir lagi, bukan untuk menggugat kematian para raja di era revolusi sosial yang juga menelan nyawa abang kandungnya sendiri, Tuan Jan Kaduk, Raja Raya terakhir. Taralamsyah seolah-olah hadir kembali untuk mengingatkan dampak tersembunyi revolusi sosial yang pernah menggoyang fabrikasi sosial.

"Lang adong penghargaan ni Simalungun bani budaya ni Simalungun," demikian Taralamsyah pernah menjerit tetapi tak ada yang mampu mendengar.

Akan tetapi setelah sekian lama berlalu, pekikannya menyibakkan sebuah era yakni revolusi, agresi Belanda yang turut mencabik sendi-sendi ahap Simalungun. Aksi bumi hangus rumah-rumah bolon juga telah menghanguskan pusaka-pusaka bernilai.

Wafatnya para raja telah meruntuhkan kerajaan beserta aset-aset seni budaya Simalungun tak ternilai.

Tidak heran jika seorang dosen Unimed, Medan, Erond L Damanik, melukiskan itu sebagai sebuah malapetaka. Bahkan tidak keliru ketika dia menyebut telah terjadi de-Simalungunisasi. Fabrikasi sosial dan identitas Simalungun menjadi luntur dengan sendirinya.

Erond L Damanik mengatakan semua hal itu telah membuka era neo-Simalungun yang lebih terbuka. Simalungun menjadi lebih beragam dan memiliki nilai yang lebih longgar. Bahkan ada fenomena, tercipta apa saja semaunya oleh para pencipta itu, ya soal tari, soal adat dan banyak lagi hal lainnya.

Semoga hal berikut ini tidak atau tidak akan pernah terjadi, yakni semoga de-Simalungunisasi atau neo-Simalungun itu tidak membiakkan pula sikap saling antagonis di antara sub-sub kultur Simalungun itu sendiri.

Jika ini terjadi maka petaka lain dan akan terjadi, berupa derivatif atau turunan dari kekacauan fabriksasi sosial yang tampak masih sedang berlangsung.

Jika kekacauan fabrikasi itu telah berkembang maka pas lah seperti apa kata Taralamsyah, "Lang ihargai Simalungun be budaya ni Simalungun."

Jika ekspresi batin Taralamsyah ini benar adanya, maka tidak heran jika Simalungun itu sendiri di masa lalu tidak perlu merasa pusing dengan hijrahnya Taralamsyah ke Jambi.

Jika ini terus berlangsung maka tidak heran jika Taralamsyah hanya disambut tepukan riuh rendah saat manggung dan kemudian dilupakan begitu musik telah redup.

Jika ini terjadi, yakni de-Simalungunisasi, maka tidak heran pula jika Taralamsyah tak lebih dari seorang yang hanya menjerit dan berteriak soal Simalungun, sementara Simalungun itu tidak merasa ada yang hilang diri dirinya.

Untuk generasi muda Simalungun sekarang ini adalah proses degradasi yang harus disadari. Generasi muda Simalungun harus menyadari bbahwa hal ini adalah potensi dekadensi yang membahayakan eksistensi. Ini adalah pencabutan akar jati diri yang justru akan disesali generasi Simalungun mendatang.

Sebab jika sebuah sub-bangsa yang tercerabut dari akarnya, hanya akan menemukan keadaan terlunta-lunta. Di sini tidak eksis dan di sana tidak eksis.

Seruan ini bukan bertujujuan membangkitkan chauvinisme Simalungun yang memang sangat tidak perlu. Ini adalah sebuah seruan, tentang restorasi ahap Simalungun, yang pernah ada dan pernah kukuh. Restorasi ahap (rasa) ini amat penting sebagai pijakan jati diri.

Sebuah jati diri dan kepribadian diri adalah hal terutama dan esensial bagi suku bangsa mana saja. Seperti kata pepatah, dimana kaki berpijak, di situ langit dinjunjung. Jika kaki ada di satu tempat, dan langit di tempat lain yang dijunjung, maka di situlah akan lahir lagi sebuah derivatif lain sebagai rentetan dari proses fabrikasi yang sedang kacau dan tampaknya belum terhentikan itu.

Bagi generasi muda Simalungun, tentu ini adalah sebuah panggilan!
Simalungun tidak Perduli

Panggilan ini menjadi penting dengan merujuk pada pengalaman Taralamsyah sendiri. Hingga dia meninggal pada 1993, tidak kunjung datang tawaran padanya untuk merealisikan penggalian arsip seni budaya Simalungun yang telah hilang. Dengan demikian, punahlah juga restorasi warisan budaya berupa arsip.


Ketika masih hidup dia menyanggupi untuk merestorasi semua arsip lagu, tari, dan gonrang Simalungun yang ada sebelum revolusi sosial tahun 1946. Ini tidak terwujud.

Sesuatu yang sudah hilang tidak lagi layak hanya untuk disesalkan. Hal yang hilang ya sudah hilang.

Hal yang menarik, mengapa Simalungun membiarkannya hilang? Mengapa Simalungun tidak mencarinya sementara banyak para pakar non-Simalungun yang mencari-mencari Taralamsyah selama dia masih hidup?
Apakah ini sebuah kelalaian atau ketidakpedulian? Dibilang lalai dan tidak peduli juga tidak sepenuhnya benar.

Ketika masih menjabat menteri, DR Cosmas Batubara sempat merencanakan pemanggilannya berkarya menggeluti seni budaya Simalungun di Jakarta, termasuk merestorasi arsip-arsip.

Masalahnya pemanggilan itu tak berhasil.

Tampaknya masalah terletak pada pengadaan biaya. Mengapa harus ada biaya? Mendalami seni budaya secara kontiniu berarti harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Karena itu kompensasi gaji untuk riset budaya harus ditanggung.

Ketika Taralamsyah mendalami pemetaan Kebudayaan Jambi, dia digaji penuh oleh Pemda Jambi. Ini menunjukkan penelitian dan pengembangan budaya itu tidak gratis.

Mengapa untuk Simalungun hal seperti yang dilakukan Pemda Jambi tidak bisa diwujudkan? Pemerintah tidak peka? Elitenya takut keluar uang dan hanya bisa sekadar mendorong?

Bukankah Simalungun itu sering menampilkan konser professional?
Dimana visi itu?

Apakah Simalugun tidak melihat bahwa profesionalisme harus didukung akar budaya yang kuat dan riset yang kuat serta arsip yang lengkap?

Bisakah sebuah profesionalisme di bidang seni budaya muncul jika akar budaya itu atau arsip-arsipnya telah hilang?

Mengapa Simalungun harus takut uang keluar meski ada potensi bahwa suatu saat budayanya bisa bertengger di panggung nasional atau bahkan internasional? Jika sudah profesional dan produk seni budaya itu bisa dijual, bukankah itu kemudian hari bisa mengembalikan investasi di bidang budaya itu?

Apakah ini soal uang, visi, atau soal ketidakperdulian? Apakah ini soal ketiadaan rasa kepemilikan?

Apakah jawaban nihil pada seruan Taralamsyah merupakan penguatan pada pernyataannya sendiri bahwa masyarakat Simalungun itu sendiri memang tidak perduli pada budayanya?

Jika tidak perduli, apakah ini karena Simalungun tidak berkualitas? Jika tidak berkualitas lalu mengapa seorang Doktor seperti Arlin Dietrich Jansen dari Washington University, memburu Taralamsyah hingga ke Jambi hanya untuk mendalami seni musik gonrang?
Alasannya adalah teknologi informasi tidak secanggih sekarang ini? Ketika komunikasi tidak sedahsyat sekarang ini, lalu mengapa Dietrich Jansen bisa melakukan korespondensi dengan Taralamsyah dari jarak yang amat jauh, antara Amerika Serikat dan Jambi?

Lebih jauhkah Jakarta-Jambi, atau Jambi Medan, ketimbang Jambi-Amerika Serikat?

Atau Simalungun masih miskin? Bukankah sudah banyak Simalungun yang tergolong berduit pada dekade 1960-an? Bukankah Bupati Rajamin Purba memberi contoh dengan melakukannya, yakni aksinya yang terus konstan mendorong karya seni Simalungun?

Apakah revolusi sosial telah membuat inersia Simalungun?

Atau adakah seni budaya Simalungun lain yang berkembang di luar jalur yang selama ini dikembangkan oleh Taralamsyah?

|Jika ada jalur seni budaya Simalungun lain yang berkembang di luarnya, dimanakah itu berada?

Jika ada. Lalu mengapa generasi muda Simalungun sekarang mencari-cari?
Jika ada budaya Simalungun lain di luar jalur yang dikembangkan Taralamsyah, seperti apakah wujudnya?

Jika ada budaya Simalungun di luar jalur yang pernah digeluti Taralamsah, tetapi pernah disebut kaum revolusioner sebagai kesenian feodal, sudahkah jalur buaya itu membuat Simalungun sangat bangga?

Apa yang menimpa Simalungun? Sebuah kesemuan rasa sehingga masih terus masih mencari?. (Simon Saragih)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments