Info Terkini

10/recent/ticker-posts

ETNOMUSIKOLOG TERGIANG UCAPAN TARALAMSYAH

Setia Dermawan Purba
Oleh: Setia Dermawan Purba, etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara, Medan
TAHUN 1991 tepatnya di bulan Juni saya berkunjung ke rumah Tulang Taralamsyah Saragih di Jambi. Saya memperkenalkan diri dan langsung disambut dengan kalimat, “Ngak usah kau mau jadi seniman Simalungun.”

Saya terkejut mendengar sambutannya itu. Ada sekitar tiga jam saya mewawancarai beliau. Kekecewaan terlihat dari jawaban-jawabannya saat wawancara. Kekecewaan itu membuat dia merantau ke Jambi.

“Lang ihargai Simalungun seniman Seniman Simalungun,” demikian kalimat lain Taralamsyah yang diingat Setia Darmawan.

Namun Setia Darmawan sangat tahu. Taralamsyah hanya sedang ingin menyuarakan kerinduannya pada Simalungun walau dengan cara unik. “Buktinya saat itu Taralamsyah sedang sibuk menyusun kamus Simalungun. Dia pun menjawab semua pertanyaan saya soal seni budaya Simalungun.”

Dari wawancara itu Setia Darmawan sedikitnya tertolong tentang pengayaan pengetahuan dari wawancara itu. Taralamsyah sedikitpun tidak pernah melupakan Simalungun.

Namun memang ada alasan kekecewaan Taralamsyah. Setia Darmawan membandingkan penghargaan yang diperoleh almarhum Djaga Depari , seniman Karo. Misalnya ada “Piagam Anugerah Seni” dari Presiden RI (2 Mei 1979), “Piagam Anugerah Seni” dari Gubernur Sumut (13 Juli 1979). “Tuguni Djaga Depari pe dong do,” kata Setia.

Saat bertemu Taralamsyah itu Darmawan pun berkata: “Au Tulang, lang murni seniman profesiku. Akademisi do homa au dahkam." Artinya, profesi saya bukan murni seniman tetapi juga akademisi.

"Andai kata saya mengeluti seni semata mungkin juga .... Untung saya berprofesi sebagai dosen dan tidak hanya mengandalkan musik untuk hidup," lanjut Setia Darmawan, Dosen Etnomusikologi USU kelahiran 1956.

Setia Darmawan berkunjung ke Jambi karena ingin memperdalam pengetahuan soal seni budaya Simalungun. Karena itu dia singgah di Jambi dari perjalanan balik ke Medan setelah mengunjungi Jakarta.


“Memang ada beberapa tokoh seni Simalungun seperti AK Saragih dan lainnya. Akan tetapi saya juga tahu Tulang Taralamsyah adalah salah satu yang paling paham soal seni musik. Karena itulah saya menemuinya untuk wawancara.”

“Di samping itu bapak saya Tanda Purba Tambak kelahiran 1912 asal Kariahan Usang sudah lama melakukan korespondensi terkait penulisan kamus Simalungun yang dilakukan Taralamsyah. Bapak saya merupakan salah satu informan. Dari situ saya juga jadi tahu kehebatan Taralamsyah,” lanjut Setia.

Lalu bagaimana eksistensi para seniman Simalungun?

Bagaimana bentuk apresiasi dan animo masyarakat Simalungun sendiri pada budayanya? “Saya pikir kita tak perlu banyak berharap. Akan tetapi mari kita berbuat walau sedikit demi sedikit. Kita berbicara banyak tentang budaya Simalungun tetapi tidak melaksanakan banyak hal. Sekali lagi walaupun kecil, mari kita mulai berbuat sesuatu.”

Setia Darmawan juga menyinggung kepunahan arsip budaya Simalungun yang sudah pernah diingatkan. “Pada seminar kebudayaan Simalungun tahun 1962 Taralamsyah sudah mengingatkan agar segera mendokumentasikan gual-gual (gendang tradisional) Simalungun.”

Ini karena arsip-arsip memang sudah hilang. “Banyak nama-nama gual yang diinventarisasi oleh Taralamsyah. Beliau menginventarisasi jenis-jenis gual dari seluruh daerah di Simalungun. Apa yang terjadi? Tak pernah ada yang memperdulikannya.”

“Ongga do ididah nasiam Gonrang Sidua-dua itampilhon sonai homa Sitalasayak? Padahal bani sinurat ni Taralamsyah dong do ai dua si. Alani ai ongga do au isukkuni mahasiswaku.”

“Pak, kok gak pernah saya lihat dimainkan Gonrang Sidua-dua dan Sitalasayak? Padahal di kampus kita dipelajari.”

“Pak, kami meneliti upacara sayur matua di daerah Percut, kok sudah seperti nada musik Toba yang kami dengar?”

Acara sayur matua adalah acara penghargaan bagi orangtua yang panjang usia dan perjalanan hidupnya dianggap relatif paripurna.

“Balosku. Itulah fenomena yang terjadi pada musik tradisional Simalungun tetapi saya tetap mengajarkan hal yang sebenarnya pada kalian,” demikian Setia Darmawan menjawab pertanyaan para mahasiswanya.

Arsip-arsip Taralamsyah itu pun tercecer entah dimana terutama di saat situasi sosial politik sedang kacau di masa lalu. “Sekarang tinggal beberapa arsip gual lagi yang ada? Tinggal sedikit, sangat sedikit dan boleh dihitung dengan jari.”

Menurut Taralamsyah, pernah ada 200 lebih gual dan musik Simalungun.

Kemudian langkah dokumentasi juga pernah dilakukan oleh almarhum Jansen Saragih, salah satu putra Raja Raya terakhir, Jan Kaduk. “Namun beliau (Jansen) hanya merekam dan membuat not dari beberapa gual saja.”

“Seperti yang saya usulkan, mari segera rekam ulang. Kita dokumentasikan musik-musik tradisional termasuk gual. Mumpung para pelakunya masih ada. Kesempatan belum sirna. Sudah ada juga dokumentasi tentang beberapa lagu karya Taralamsyah. Mari kita lengkapi itu dengan mendokumentasikan melodi sarunei dan lagu-lagu rakyat lainnya. Mumpung masih ada beberapa tertua yang bisa mengingat. Dari tindakan ini saja kita akan bisa dapatkan beberapa bentuk tangga nada Simalungun. Mari segera mendokumentasikannya."

Sumber daya ada

“Dari segi sumber daya manusia kita mampu melakukannya. Misalnya setelah didokumentasikan langsung dituliskan not-nya. Saya sudah membuat not beberapa gual, misalnya Gual Rambing-rambing yang hanya terdiri delapan bar saja. Mahasiswa saya cukup mampu membaca not dan sudah mampu manggual Rambing-rambing. Nanget-nanget hudugut-dugut do manulisi ... Ai ope natarbaen.”


“Saya sangat setuju usulan soal invetarisasi dan pendokumentasian gual Simalungun. Masalahnya siapa yang mau melakukannya? Situasi sudah mendesak dan harus segera dilakukan. Parsarunei Simalungun kini hanya tinggal beberapa orang, tidak lebih dari duapuluhan. Mereka ini pun mungkin tidak banyak lagi tahu gual yang diinventarisasi oleh Taralamsyah.”

Siapa yang akan melakukan dokumentasi? “Siapapun itu, akhirnya memang tetap kembali ke masalah dana. Melakukan dokumentasi akan menyita waktu dan membuat penghasilan untuk keluarga bisa terganggu. Pendokumentasian membutuhkan riset ke daerah-daerah di Simalungun. Dan itu artinya butuh biaya.

Setia Darmawan berbicara soal pengalaman pencarian sponsor untuk mendukung dokumentasi seni musik tradisional Simalungun. “Dop honsi salosei au kuliah hun UI thn 1994, piga-piga proposal huajuhon do hubani pemerintah sonai homa hu bani perorangan lahou mambaen bengkel instrumen musik pakon kerajinan lain ni. Hasil ni nihil.”

“Memang sipata mandolei do diri. Mase lang dong halak na ra mangurupi? Domma marlajar diri nean soal sonaha cara mambaen alat musik ogung naituang, sedo songon sonari on pitah i las listrik. Padahal sederhana do cara pembuatan ni. Domma huteliti homa sonaha cara pembuatan talempong I Bukit Tinggi. Bahan ni kuningan..”

Setia Darmawan juga menemui kebuntuan. “Saya menawarkan kepada pemerintah. Ketika itu tahun 1995. Bupati Djabanten Damanik sudah meng-ACC dan diteruskan kepada Bappeda untuk ditindaklanjuti. Saya dorong juga dengan melobi ke DPR-D. Hasilnya nihil. Saya lakukan cara lain, menawarkan kepada perorangan untuk dijadikan bisnis. Ngak ada yang berminat. Saya bertindak hanya sebagai konsultan dan karena tidak mungkin berperan sebagai pengusaha karena saya seorang guru. Mungkin dari segi bisnis tidak menarik bagi pengusaha Simalungun, mereka lebih tertarik kepada bisnis lain.”

Namun dia tidak berhenti karena kendala dana itu. Dalam kesibukannya dia tetap mendokumentasikan arsip seni Simalungun. “Halani ai dugut-dugut hita ma tong, aha pe kendala ni.”

Namun dia kerap melakukan komparasi soal animo. “Tonggor hita ma simbalok ta. Alat-alat musik ni margorga jenges. Hape bagian ta? Lalap do songon sapari ondei.”

Setia Darmawan juga memperlihatkan contoh lain tentang animo yang rendah. 

“Kalau kita lihat di Parapat, di kedai suvenir sulit ditemukan kerajinan Simalungun kecuali di kedai Tulang Sipayung di Pagoda. Saya pernah menawarkan kepada salah satu panitia pembangunan gereja Simalungun agar suvenir yang diberikan dibeli dari Tulang Sipayung di Parapat itu. Eh... pada hari "H", bukan suvenir ciri Simalungun yang diberikan. Minat orang Simalungun untuk membeli kerajinan Simalungun sedikit. Ya memang pasar juga yang menentukan.”


“Saya sudah melihat di rumah orang-orang Simalungun, hanya di beberapa rumah saja ada terpampang kerajinan Simalungun, malah kerajinan orang lain yang mendominasi. Kalau kita lihat simbalok ta tak sedikit saya temukan alat musik tradisionalnya yang dipajang dirumahnya.”

“Domma piga hali husobut, anggo isobut marahap Simalungun, pakon nipi ni pe ikkon marbahasa Simalungun ma. Mungkin terlalu ektrim do ra in tene? Ase husobut pe sonai, maningon botul do ipahami hita budaya Simalungun secara mendalam. Anggo lang, maol do hita mandalankon, makkarosuhkon, melestarihon, manghargai budaya Simalungun.’

“Anggo au makkatahon bahat ma budaya Simalungun na mati suri. Halani ai porlu ma tumang isuntikhon hormon baru ase manggoluh use. Artini, anggo mengangkat kebudayaan ta ai hubani seni pertunjukan, maningon ibotoh hita do aha fungsi ni janah nilai aha do nalaho sipataridahon i jai.”

“Sonahama sasada halak rah mambantu ambit pemahamanni tentang budaya Simalungun pe minim do. Jadi mangarah ma hita ase bahat hasoman ta na mandalankon janah marosuh bani budaya Simalungun.”

Konsistensi nada musik pun menjadi pengamatannya. 

“Dop honsi hu amati pardalanan ni acara adat i Simalungun, sonai homa i luar Simalungun, keyboard mando gatinan tampil manang ipake. Aido ase huhatahon intensitas gonrang pe domma minim. Naparah ni, bahat lagu sileban na itampilhon bani acara ni halak Simalungun. Ambit pe itampilhon lagu Simalungun domma lang sesuai be hubani irama Simalungun. Contoh, lagu Parsirangan (tading ma ham) seng tartangar songon irama Gual Sakkiting. Jadi sulit ma manortorhonsi. Gual do mulani tortor. Aima ase anggo seng pas gual ni, lang tartortorhon be songon tortor ni Simalungun.”


“Sabonarni annggo par-keyboard mambotoh gual atap irama musik Simalungun, pasti irama keyboard ni pe ibahen ma irama na sosok bani Simalungun. Tangar hita ma keyboard Karo, irama keyboard ni lang daoh hubani musik tradisi ni. Aima ase anggo tortor ni sidea taridah botul do ciri tortor Karo ni. Sonai homa keyboard Toba, taridah do ciri musik pakon tortor ni.”

“Anggo hita, lang na botoh be aturan musik pakon tortor ni. Libas tumang, na ponting puas manortor. Contoh ni na lain use. Anggo hita mangindo gual/doding: ‘Nasiam panggual nami/par-keyboard nami, bahen nasiam ma lagu namardomu hombar hujai.’”

“Alani aha ase sonai sahap pangindoan hu panggual ai? Alani lang ibotoh hita be manontuhon laguni. Orangtua ta na hinan ibotoh do irama pakon tortor ni Simalungun. Sonari on bahatan ma na lang mambotoh. Tonggor hita ma gonrang na ipakei par keyboard i Simalungun. Gonrang pangindungi ni baggal tumang. Mase lang dong na ra mamissang? On ma sada contoh na lang parduli be hubani identitas ni sandiri.”

“Juga disayangkan, kaset pita hasil rekaman Tursini sulit ditemukan. Saya sudah pernah meminta kepada botou-nya Immen Saragih, sampai sekarang gak dapat.”

“Toko Robinson, ai do goran produser ni Tursini Saragih. Bahat tumang ma irekam ni lagu-lagu Tursini Saragih pakon gual Simalungun.”

“Adong homa SITALASARI goranni grup panggual na hun Siantar pakon parsarunei ni, ai ma Soki Sipayung par Huta Saing. Hutawarhon do ondei hubani pimpinan Robinson ase irekam. Ihatahonni ma. Bahat kaset Simalungun na lang laku. Laho hututung ma in, nini. Ceritani ai awal tahun 80-an. Sonari domma tutup toko ai.”

“Tahun 1982 survei do homa au hu Raya. Boli ham ma kaset on, Nikku huban piga-piga hasoman. Balosni hasoman ta I jai. ‘Ija ma huputar holi kaset in, tape-recorder-hu pe seng dong?’ Nai homa do balosni hasoman ta sanggah jubileum I Medan tahun 1983.”

“Sada faktor bani panorang ai ase lang bahat na mamboli kaset Simalungun, ai ma halani na seng dong alat pemutarni. Marbeda bani simbalok ta Karo. Bangga nasida mamboan tape-ni merek Sanyo. Bani tahun 70-an halak Karo merekam secara langsung pertunjukan ni Reno Surbakti. Bani panorang ai, ekonomi sidea domma lumayan. Sayur-mayur domma bahat isuan sidea.”

“Karena itu ketika saya bertemu Taralamsyah, beliau langsung mengatakan kepada saya jangan mau jadi seniman Simalungun. Ini betul saya ingat,” kata Seti Darmawan. Ini karena memang susah mendapatkan pijakan pada diri sendiri.

“Kembali ke soal Taralamsyah, kita membicarakan eksistensinya di Jambi. Seharusnya kita banyak juga membicarakan ketika beliau di Medan. Orkes Na Laingan yang turut dia koordinir sangat memberikan apresiasi dan memberi warisan tak langung terhadap perkembangan kesenian Simalungun. Pada masa ini pula beliau banyak membuat notasi lagu rakyat Simalungun. Juga dari pengalaman beliau belajar musik barat, terciptalah lagu-lagu Simalungun yang sudah memasukkan unsur musik barat tetapi tidak menghilangkan ciri musik Simalungun.”

“Contohnya lagu “Eta Mangalop Boru”. Lagu ini kental sekali Simalungun-nya dari segi melodi dan ritme gual haro-haro, tetapi dia masukkan unsur musik barat. Ini terlihat dari modulasi nada dari minor ke mayor.”

“Sekali lagi walaupun kecil, mari berbuat. Seperti yang dimulai dengan penulisan buku Taralamsyah Saragih, mari kita dukung.”

Setia Darmawan pun bercerita bahwa dia tetap terpanggil untuk melakukan sesatu. “Tahun lalu saya berbuat sedikit untuk kebudayaan Simalungun, antara lain sebagai pembicara pada konferensi folklore se-Asia di Yogyakarta pada Juni 2013 dengan membawa makalah “Huda-huda/Toping-toping Simalungun”.”

“Bulan September 2013 saya membawa seniman Simalungun ke Festival Danau Toba. Bulan September 2013 membawa Tim kesenian mengikuti pagelaran musik gereja bernuansa Simalungun di Tarutung. Bulan Desember 2013 bersama IMAS-USU membuat pagelaran budaya dan tribute to Sarudin Saragih. Walaupun sedikit, mari kita berbuat.”(Simon Saragih)
Bang Simon, ini design cover depan dan belakang yang dibuat oleh Lim Bun Chai. Sumber : 

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments