Ilustrasi: Kondisi Jalan Gunung Meriah - Saran padang Kab Simalungun tidak terjamah pembangunan sudah 2 generasi.Foto Damares Purba |
BERITASIMALUNGUN.COM, Simalungun-Sejumlah Kelapa Sekolah di
Kabupaten Simalungun mengaku gerah atas kebijakan yang dilakukan Dinas
Pendidikan dengan berbagai praktik indikasi pungutan liar (pungli) terhadap
sekolah-sekolah. Setiap sekolah dikutip Rp300 ribu.
Meski tidak berani berbicara terang-terangan, namun para
Kasek dengan tegas mengatakan keberatan atas kutipan tersebut. “Sebenarnya
sudah biasa ada kutipan-kutipan dari Dinas Pendidikan. Untuk foto Presiden dan
Wakil Presiden saja dikutip Rp300 ribu per sekolah,” kata salah seorang Kepala
SD di Kecamatan Panei.
Menurut Kasek yang tidak ingin namanya dipublikasikan itu,
dirinya tidak berani melakukan protes bahkan angkat bicara karena takut
kehilangan jabatannya. “Tak mungkin kita protes. Tidak logis juga hanya gara-gara
hal sekecil ini, jabatan saya sebagai kepala sekolah harus dicopot. Itu namanya
konyol. Tapi itu kenyataannya,” akunya.
Hal itu diamini salah seorang Kepala SD dari Kecamatan Dolok
Panribuan. Dia mengatakan, pihaknya telah membayar Rp300 ribu untuk foto
presiden dan wakil presiden yang dibagikan langsung Dinas Pendidikan
Simalungun.
“Sudahlah. Kepala sekolah juga tinggal memilih mau angkat
bicara atau dicopot. Dan siapa orang yang mau dicopot gara-gara Rp100 ribu.
Tapi memang jika dikalkulasi dengan jumlah sekolah se-Simalungun, jumlahnya
sangat besar,” jelasnnya.
Terpisah, salah seorang pengawas SD di salah satu kecamatan
mengaku, dirinya tidak bisa berbuat banyak atas kutipan yang dilakukan Dinas
Pendidikan Simalungun. “Jangankan untuk foto presiden yang harganya Rp300
ribu, untuk fotocopi saja kepala sekolah kadang harus membayar Rp200 ribu. Itu
hanya mengandalkan stempel basah. Tapi saya juga tidak berani bicara
blak-blakan karena bisa-bisa saya kehilangan jabatan saya. Kita berharap hal
ini harus disikapi secara bersama jika ingin membangun pendidikan di
Simalungun,” harapnya.
Ramon Purba (42), salah seorang pedagang perlengkapan kantor
di Pasar Horas mengaku, dirinya biasa menjual gambar presiden dan wakil
presiden di kisaran Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. “Harga Rp200 ribu untuk
keduanya itu sudah dengan bingkai dan kaca,” ucapnya singkat.
Berbeda dikatakan salah seorang Kepala SMK di Simalungun
yang juga tidak bersedia disebut namanya mengatakan, gerah dengan berbagai
praktik pungli di Dinas Pendidikan.
“Misalnya saja untuk Gebyar SMK yang digelar beberapa waktu
lalu itu justru dikutip dari masing-masing sekolah sebesar Rp5 juta. Padahal
dana itu sebenarnya sudah ditampung di APBD sebesar Rp300 juta. Belum lagi
masing-masing sekolah harus membayar stand pameran,” jelasnya.
Selain itu, menurut guru PNS tersebut, sama halnya dengan
pelatihan kurikulum 2013. Untuk guru memang tidak membayar, tetapi pihak
sekolah yang harus menyetor ke Dinas Pendidikan.
“Di APBD itu ditampung pelatihan penyusunan kurikulum SD/SMP
Rp500 juta dan SMA/SMK Rp250 juta. Tetapi justru sekolah diwajibkan membayar.
Belum lagi jika berbicara pengurusan sertifikasi guru, setiap guru harus
menyetor Rp500 ribu hingga Rp1 juta sehingga tetap tercatat sebagai penerima
sertifikasi berikutnya,” jelasnya.
Koordinator Lembaga Pemerhati Anggaran dan Kebijakan
Pemerintah Petra Institute Kelvin Pasaribu, akhir bulan lalu (29/12)
mengatakan, pihaknya sudah mendengar keluhan guru dan Kepsek terkait dugaan
pungli tersebut. “Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja atau dipandang sebelah
mata,” tegas Kelvin.
Menurutnya, untuk kasus foto presiden misalnya. Jika
perhitungan kasar dimana untuk satu sekolah harus membayar Rp300 ribu,
sementara harga sebenarnya hanya sekitar Rp200 ribu.
“SD ada 773 sekolah, SMP 55 sekolah, SMA 52 sekolah, SMK 40
sekolah. Maka total sekolah ada 920 sekolah. Artinya untuk masalah sekecil ini
saja ada kutipan sekitar Rp92 juta (920 x Rp100 ribu= Rp92 juta). Dan hal
seperti ini sudah sering terjadi. Namun sulit dibuktikan dan guru jarang melakukan
protes karena nilai kutipan sangat kecil. Tetapi dalam penjumlahan seluruh
sekolah, nilai sangat besar sehingga perlu disikapi,” tegasnya.
Kelvin menambahkan, keluhan ini perlu ditelusuri karena
bukti-bukti ini ada di lapangan. Artinya, secara logika, tidak mungkin seorang
guru atau kepsek angkat bicara secara blak-blakan karena dapat mengancam
jabatan mereka. “Disinilah peran DPRD sebagai fungsi pengawasan dan wakil
rakyat. Kita mempertanyakan fungsi DPRD jika mengaku tidak pernah mendengar berbagai
keluhan itu,” ucapnya.
Guru dan Kepsek Diimbau Melapor
DPRD Simalungun sebelumnya sudah mendesak Kepala Dinas
Pendidikan Simalungun Wasin Sinaga untuk menyelesaikan permasalahan pungli yang
marak di instansi tempat ia bertugas.
Ketua Komisi IV DPRD Simalungun Histony Sijabat mengatakan,
maraknya isu pungli tersebut, pihaknya sudah memanggil Kadisdik. “Kita sudah
panggil kepala dinasnya agar masalah kutipan ini ditelusuri,” katanya.
Pihaknya juga sudah menelusuri maraknya pungli di Dinas
Pendidikan Simalungun. Namun, dari hasil penelusuran mereka di lapangan,
pihaknya tidak menemukan adanya pungli. Meski demikian, pihaknya masih mencari
informasi dugaan pungli tersebut.
“Bila kita temukan maka akan ada tindakan-tindakan dari DPRD
dan melaporkan ke inspektorat maupun kepala daerah,” tegasnya.
Dia berharap agar semua pihak yang menjadi korban atau yang
mengetahui adanya pungli yang dilakukan oknum-oknum di Dinas Pendidikan agar
melaporkan ke Komisi IV sebagai pengawas kinerja pendidikan di daerah itu.
“Kalau ada yang merasa keberatan atau merasa dirugikan
sebaiknya laporkan ke kita dan kita akan menindaklanjutinya,” imbaunya.
Dalam rekaman video yang dipegang sejumlah wartawan di
Siantar Simalungun terkait adanya pungli tersebut, salah seorang pengawas di
salah satu kecamatan mengatakan, Disdik melakukan kutipan Rp300 ribu untuk foto
presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu.
Pria yang mengenakan pakaian safari itu juga mengatakan,
tidak hanya kutipan untuk foto presiden, tetapi biaya-biaya yang dikeluarkan
nilainya juga berpariasi. “Fotocopy saja kepala sekolah harus membayar
Rp200 ribu. Itu hanya mengandalkan stempel basah. Kita berharap hal ini
disikapi jika ingin membangun pendidikan di Simalungun,” imbaunya.
Sayang, Kepala Dinas Pendidikan Simalungun Wasin Sinaga
dikonfirmasi melalui telepon selulernya tidak bersedia meberikan keterangan
karena teleponnya yang aktif tidak kunjung diangkat dan juga SMS yang
dilayangkan wartawan tidak mendapat balasan.
Sementara Kadis Perhubungan Komunikasi Informasi Simalungun
Jhoni Saragih melalui telepon selulernya mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi
terlebih dahulu dengan Dinas Pendidikan Simalungun terkait masalah ini.
“Hal ini akan kita koordinasikan dulu dengan Dinas Pendidikan,” ucapnya
singkat. (MSC)
0 Comments