JAKARTA-Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Perppu Pilkada langsung menjadi UU
Pilkada, Selasa (20/1). Sepuluh fraksi di DPR menyetujui Perppu tersebut. Namun
ada banyak hal yang harus diperbaiki jika UU itu segera dilaksanakan. Apalagi
jika mau digunakan untuk pilkada serentak pada akhir 2015.
Koordinator Komite
Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampouw mengemukakan, agenda mendesak setelah
disetujui Perppu tersebut adalah merevisinya. Pasalnya ada banyak substansi
yang masih perlu diperjelas. Salah satu substansi yang bisa diubah adalah soal
tahun pelaksanaan Pilkada serentak dan uji publik.
“Ini hal baru (uji
publik, Red) karena itu memang masih banyak yang harus dijelaskan. Misalnya,
bagaimana mekanismenya, apa metode uji publik, sampai dimana kewenangannya, dan
lain-lain," kata Jeiry di Jakarta, Rabu (21/1).
Ia mengharapkan,
revisi pun harus dilakukan dalam waktu yang cepat. Mengingat waktu yang sangat
mepet untuk pelaksanaan pilkada serentak.
Namun, dia ragu DPR
bisa melakukannya dalam waktu yang cepat. Sebab pembahasan UU di DPR dalam
pengalamannya selalu molor.
Dengan waktu yang
begitu mepet, Jeiry mengusulkan agar pelaksanaan pilkada serentak sebaiknya
diundur ke tahun 2016. Sebab kelihatannya agak sulit melaksanakannya tahun ini.
Jika ingin
dipercepat dia meminta DPR agar perlu mengidentifikasi hal-hal penting yang
akan direvisi. Dengan demikian bisa lebih mudah dan cepat prosesnya.
Selain itu harus
ditetapkan jadwal yang pasti kapan harus selesai. Hal itu untuk menjadi patokan
kerja DPR agar bekerja sesuai dengan waktu yang ada. “Jadwal yang pasti itu
agar tak molor pembahasan revisi UU tersebut," tegasnya.
Maksud Uji
Publik
Sedangkan salah satu poin yang masih
dipermasalahkan dalam UU Pilkada baru yakni terkait uji publik. Sejumlah
pengamat menilai, uji publik merupakan sesuatu yang positif tetapi tidak jelas
baik mekanisme dan output yang mau dihasilkan.
Koordinator Jaringan
Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Masykuruddin Hafidz menilai, uji publik
ini sebenarnya ide yang positif karena memberikan kesempatan yang sama kepada
setiap calon kepala daerah untuk melakukan sosialisasi dan kampanye.
“Uji publik ini
sebenarnya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap calon untuk
berkampanye dan sosialisasi, sehingga calon yang kaya tidak lebih banyak ke
masyarakat dibandingkan yang kurang modalnya," ujar Masykuruddin di
Jakarta pada Rabu (21/1).
Namun, dia beranggapan uji publik ini bermasalah karena tidak memberikan implikasi apa-apa terhadap pencalonan. Panitia uji publik, katanya, tidak punya kewenangan untuk memberikan penilaian terhadap para calon. Uji publik ini bisa dimanipulasi oleh orang-orang tertentu dengan untuk membuat terkenal.
Namun, dia beranggapan uji publik ini bermasalah karena tidak memberikan implikasi apa-apa terhadap pencalonan. Panitia uji publik, katanya, tidak punya kewenangan untuk memberikan penilaian terhadap para calon. Uji publik ini bisa dimanipulasi oleh orang-orang tertentu dengan untuk membuat terkenal.
“Panitia uji publik sebenarnya bisa memberikan penilaian atau opini atau skor dengan ukuran-ukuran tertentu sehingga masyarakat dapat menilai para calon berdasarkan uji publik tersebut. Dengan begitu uji publik mendapat nilai yang lebih," jelasnya.
Koordinator Komite
Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Semampow menilai, uji publik merupakan sesuatu
yang baru dan positif dalam pilkada, namun sangat kabur dan perlu diperjelas.
Menurutnya, uji publik hanya formalitas saja karena tidak bisa menggagalkan
calon kepala daerah.
“Saya menganjurkan uji
publik menjadi kesempatan untuk melakukan penjaringan calon-calon yang terbaik.
Setelah itu, parpol bisa merekrut calon-calon tersebut," kata Jeirry.
Dia menganjurkan
agar uji publik menjadi media bagi KPU memperkenalkan para calon kepala daerah
kepada publik dan memberikan akses kepada masyarakat terkait profil dan rekam
jejak para calon. “Nanti, yang ikut uji publik saja, yang bisa menjadi
calon kepala daerah," pungkasnya. (sp/lee)
0 Comments