Oleh: Kurpan Sinaga
Minggu lalu saya bertemu dengan dua orang anggota MHN (pemasehat) PMS dalam kesempatan berbeda. Mereka menumpahkan kekecewaannya atas situasi PMS belakangan ini. Kedua anggota MHN tersebut meminta saya menggerakkan Harungguan Bolon Istimewa. Sebelumnya saya juga mendengar bahwa DPP/Presidium PMS pimpinan Alexius Purba akan menggugat PMS pimpinan JR Saragih ke pengadilan.
Sebelum sampai pada kesimpulan Harungguan Bolon Istimewa atau tidak, dan sebelum gugatan kepengadilan dimulai, saya mempelajari kembali permasalahan dan merasa perlu mewacanakan beberapa hal ke semua pihak. Hal baru yang hendak saya sampaikan adalah menyangkut ketentuan perundangan boleh tidaknya kepala daerah menjadi pimpinan PMS. Mudah mudahan bisa mengarah pada kesepakatan bersama tanpa harus gugat menggugat.
Benarkah JR Saragih sudah menjadi Ketua Umum PMS? Jika jawabnya “ya” maka ybs sudah melanggar UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pertanyaan diatas disampaikan karena JR Saragih terpilih dalam Harungguan Bolon PMS Oktober 2010 di Pematang Siantar. Konsekwensi tidak hadirnya JR Saragih saat pemilihan saat itu mengharuskan diadakannya Harungguan Bolon Lanjutan untuk pengesahan pengurus dan pelantikan. Harungguan Bolon Lanjutan yang diselenggarakan panitia di Medan 14 Januari 2011 kembali tidak dihadiri JR Saragih sehingga Harungguan Bolon Lanjutan ini membatalkan terpilihnya JR Saragih dan memilih serta mengesahkan kepengurusan PMS dengan Ketua Umum Alexius Purba.
Namun keesokan harinya 15 Jan 2011 JR Saragih menggelar acara pelantikan dirinya di Raya. Pada hari pelantikan itu juga JR Saragih selaku ketua umum sudah mengeluarkan SK pergantian pengelola SMU Plus. Pergantian tiba-tiba tanpa melibatkan pengelola sebelumnya ini telah berbuntut panjang dan memicu masalah baru di SMU Plus PMS yang tenang selama ini.
Dapat dipastikan pergantian ini tidak didasari pikiran yg matang. Bagai mana mungkin pengurus yg baru dilantik hari itu juga sudah mengeluarkan keputusan yang membutuhkan kajian? Kantornya saja belum tahu dimana. Berkas-berkas pun belum serah terima dari pengurus lama. Akankah masalah di PMS berkepanjangan dan beranak pinak? Langkah penyelesaian menjadi tugas kita yang mendesak.
Selaku Sekretaris Steering Committee Harungguan Bolon PMS Tahun 2010 saya bertugas menyusun draf persyaratan ketua umum dan mekanisme pemilihan. Salah satu persyaratan yang saya cantumkan adalah “tidak sedang menduduki ketua partai dan tidak sedang menduduki kepala pemerintahan”. Bertemu pasal ini amarah pendukung JR langsung mendidih saat pembahasan pengesahan. Cacian dan hujatan bertubi-tubi pada saya yang duduk di sisi kiri depan ruang sidang. “Ini permainan Kurpan untuk mengganjal JR”, “ini mengada-ada, akal busuk! Dasar sejak dari dulu dia itu menghambat JR….” dst.
Saya tunjuk tangan dan menghampiri micropon untuk minta bicara tapi pendukung JR meledak berteriak menolak. Sidang di skors menenangkan situasi. Setelah sidang dibuka kembali saya ulangi berdiri untuk memberi penjelasan namun pendukung JR meledak lagi bercampur panik mendesak pimpinan siding untuk tidak membolehkan. Pimpinan sidang tidak berdaya, saya tidak diberi waktu untuk bicara. Tidak diberi kesempatan bicara hanya akibat tekanan peserta membuat saya protes datang menghampiri pimpinan sidang. Akhirnya kalimat “tidak sedang menduduki pimpinan pemerintahan” dicoret. Usia minimal 50 tahun pun diganti menjadi 43 tahun.
Waktu itu saya hendak menjelaskan bahwa persyaratan yang sama sudah diberlakukan dalam Harungguan Bolon lima tahun lalu. Disamping itu perlu juga diperhatikan ketentuan perundang-undangan tentang larangan untuk kepala daerah.
Larangan UU Terhadap Kepala Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 25 poin (f) berbunyi: Kepala. daerah mempunyai tugas dan wewenang: mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
Pasal 28 poin (e) berbunyi: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasai 25 huruf f;
Dari pasal diatas jelas tidak memungkinkan bagi seorang kepala daerah mewakili pihak manapun di pengadilan kecuali mewakili daerahnya atau menyangkut dirinya langsung. Sementara PMS yang merupakan badan hukum yang mengharuskan ketua umum mewakili organisasi keluar dan kedalam termasuk ke pengadilan. Hal ini diatur juga dalam Anggaran Dasar PMS.
Pelanggaran lainnya, Pasal 28 poin (b) menyebut: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
Inti dari pasal ini adalah larangan bagi kepala daerah turutserta dalam badan hukum. PMS yang merupakan perkumpulan berbadan hukum, pengesahan Kementerian Hukum dan Ham No. C-52.HT.01.03TH.2006 dengan sendirinya tidak dapat diketuai oleh yang berkedudukan sebagai kepala daerah. Walau pasal larangan di atas tidak eksplisit menyebut “perkumpulan berbadan hukum” tetapi perkumpulan berbadan hukum menjadi terlarang dimasuki kepala daerah konsekwensi dari status “badan hukum” itu sendiri. Hal ini tidak bisa lain mengingat sistem hukum Indonesia tentang perkumpulan hanya digolongkan antara “berbadan hukum” dan “tidak berbadan hukum”. Perkumpulan Berbadan Hukum ditangani Kementerian Hukum dan Ham sementara Perkumpulan Tidak Berbadan Hukum ditangani Kementerian Dalam Negeri.
Dari uraian diatas bila mana JR Saragih benar menjadi ketua umum DPP/Presidium PMS maka yang bersangkutan telah melanggar UU tentang larangan bagi kepala daerah. Pelanggaran ini akan terangkat ke permukaan bila saja Beliau mewakili PMS berperkara di pengadilan. Selain itu JR Saragih juga tidak lagi memenuhi syarat “tidak sebagai pimpinan partai politik” mengingat yang bersangkutan sudah menjadi ketua salah satu partai politik di Kab. Simalungun.
Kurpan Sinaga
Sekretaris & Sekretaris Eksekutif DPP/ Presidium PMS Periode 2005 – 2010,
Sekretaris Steering Committee Harungguan Bolon PMS Tahun 2010.
Minggu lalu saya bertemu dengan dua orang anggota MHN (pemasehat) PMS dalam kesempatan berbeda. Mereka menumpahkan kekecewaannya atas situasi PMS belakangan ini. Kedua anggota MHN tersebut meminta saya menggerakkan Harungguan Bolon Istimewa. Sebelumnya saya juga mendengar bahwa DPP/Presidium PMS pimpinan Alexius Purba akan menggugat PMS pimpinan JR Saragih ke pengadilan.
Sebelum sampai pada kesimpulan Harungguan Bolon Istimewa atau tidak, dan sebelum gugatan kepengadilan dimulai, saya mempelajari kembali permasalahan dan merasa perlu mewacanakan beberapa hal ke semua pihak. Hal baru yang hendak saya sampaikan adalah menyangkut ketentuan perundangan boleh tidaknya kepala daerah menjadi pimpinan PMS. Mudah mudahan bisa mengarah pada kesepakatan bersama tanpa harus gugat menggugat.
Benarkah JR Saragih sudah menjadi Ketua Umum PMS? Jika jawabnya “ya” maka ybs sudah melanggar UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pertanyaan diatas disampaikan karena JR Saragih terpilih dalam Harungguan Bolon PMS Oktober 2010 di Pematang Siantar. Konsekwensi tidak hadirnya JR Saragih saat pemilihan saat itu mengharuskan diadakannya Harungguan Bolon Lanjutan untuk pengesahan pengurus dan pelantikan. Harungguan Bolon Lanjutan yang diselenggarakan panitia di Medan 14 Januari 2011 kembali tidak dihadiri JR Saragih sehingga Harungguan Bolon Lanjutan ini membatalkan terpilihnya JR Saragih dan memilih serta mengesahkan kepengurusan PMS dengan Ketua Umum Alexius Purba.
Namun keesokan harinya 15 Jan 2011 JR Saragih menggelar acara pelantikan dirinya di Raya. Pada hari pelantikan itu juga JR Saragih selaku ketua umum sudah mengeluarkan SK pergantian pengelola SMU Plus. Pergantian tiba-tiba tanpa melibatkan pengelola sebelumnya ini telah berbuntut panjang dan memicu masalah baru di SMU Plus PMS yang tenang selama ini.
Dapat dipastikan pergantian ini tidak didasari pikiran yg matang. Bagai mana mungkin pengurus yg baru dilantik hari itu juga sudah mengeluarkan keputusan yang membutuhkan kajian? Kantornya saja belum tahu dimana. Berkas-berkas pun belum serah terima dari pengurus lama. Akankah masalah di PMS berkepanjangan dan beranak pinak? Langkah penyelesaian menjadi tugas kita yang mendesak.
Selaku Sekretaris Steering Committee Harungguan Bolon PMS Tahun 2010 saya bertugas menyusun draf persyaratan ketua umum dan mekanisme pemilihan. Salah satu persyaratan yang saya cantumkan adalah “tidak sedang menduduki ketua partai dan tidak sedang menduduki kepala pemerintahan”. Bertemu pasal ini amarah pendukung JR langsung mendidih saat pembahasan pengesahan. Cacian dan hujatan bertubi-tubi pada saya yang duduk di sisi kiri depan ruang sidang. “Ini permainan Kurpan untuk mengganjal JR”, “ini mengada-ada, akal busuk! Dasar sejak dari dulu dia itu menghambat JR….” dst.
Saya tunjuk tangan dan menghampiri micropon untuk minta bicara tapi pendukung JR meledak berteriak menolak. Sidang di skors menenangkan situasi. Setelah sidang dibuka kembali saya ulangi berdiri untuk memberi penjelasan namun pendukung JR meledak lagi bercampur panik mendesak pimpinan siding untuk tidak membolehkan. Pimpinan sidang tidak berdaya, saya tidak diberi waktu untuk bicara. Tidak diberi kesempatan bicara hanya akibat tekanan peserta membuat saya protes datang menghampiri pimpinan sidang. Akhirnya kalimat “tidak sedang menduduki pimpinan pemerintahan” dicoret. Usia minimal 50 tahun pun diganti menjadi 43 tahun.
Waktu itu saya hendak menjelaskan bahwa persyaratan yang sama sudah diberlakukan dalam Harungguan Bolon lima tahun lalu. Disamping itu perlu juga diperhatikan ketentuan perundang-undangan tentang larangan untuk kepala daerah.
Larangan UU Terhadap Kepala Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 25 poin (f) berbunyi: Kepala. daerah mempunyai tugas dan wewenang: mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
Pasal 28 poin (e) berbunyi: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasai 25 huruf f;
Dari pasal diatas jelas tidak memungkinkan bagi seorang kepala daerah mewakili pihak manapun di pengadilan kecuali mewakili daerahnya atau menyangkut dirinya langsung. Sementara PMS yang merupakan badan hukum yang mengharuskan ketua umum mewakili organisasi keluar dan kedalam termasuk ke pengadilan. Hal ini diatur juga dalam Anggaran Dasar PMS.
Pelanggaran lainnya, Pasal 28 poin (b) menyebut: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang: turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
Inti dari pasal ini adalah larangan bagi kepala daerah turutserta dalam badan hukum. PMS yang merupakan perkumpulan berbadan hukum, pengesahan Kementerian Hukum dan Ham No. C-52.HT.01.03TH.2006 dengan sendirinya tidak dapat diketuai oleh yang berkedudukan sebagai kepala daerah. Walau pasal larangan di atas tidak eksplisit menyebut “perkumpulan berbadan hukum” tetapi perkumpulan berbadan hukum menjadi terlarang dimasuki kepala daerah konsekwensi dari status “badan hukum” itu sendiri. Hal ini tidak bisa lain mengingat sistem hukum Indonesia tentang perkumpulan hanya digolongkan antara “berbadan hukum” dan “tidak berbadan hukum”. Perkumpulan Berbadan Hukum ditangani Kementerian Hukum dan Ham sementara Perkumpulan Tidak Berbadan Hukum ditangani Kementerian Dalam Negeri.
Dari uraian diatas bila mana JR Saragih benar menjadi ketua umum DPP/Presidium PMS maka yang bersangkutan telah melanggar UU tentang larangan bagi kepala daerah. Pelanggaran ini akan terangkat ke permukaan bila saja Beliau mewakili PMS berperkara di pengadilan. Selain itu JR Saragih juga tidak lagi memenuhi syarat “tidak sebagai pimpinan partai politik” mengingat yang bersangkutan sudah menjadi ketua salah satu partai politik di Kab. Simalungun.
Kurpan Sinaga
Sekretaris & Sekretaris Eksekutif DPP/ Presidium PMS Periode 2005 – 2010,
Sekretaris Steering Committee Harungguan Bolon PMS Tahun 2010.
0 Comments