![]() |
Ramlo R Hutabarat |
Bolej jadi, benar juga kata kawanku. Aku sebenarnya tengah mengalami
gangguan jiwa. Betapa tidak. Sebab aku suka sekali pada perempuan.
Terutama, pada perempuan yang cantik dan menarik. Meski pun kupikir itu
syah-syah dan wajar saja. Sebab Mamakku perempuan, istriku juga
perempuan, dan putriku pun perempuan. Tidak seperti putri kawanku yang
setengah perempuan setengah lelaki. Waria kata orang-orang di kampungku.
Kalau aku melihat perempuan, dimana saja termasuk di gereja, aku selalu
senang dan suka. Apalagi, perempuan-perempuan yang berlenggak-lenggok
di panggung saat menari dan atau bernyanyi. Aku senang dan suka melihat
indah gemulai liuk-liuk tubuhnya saat menari. Melihat jemarinya saja
aku suka, juga lengannya, apalagi sorot matanya yang sendu merayu.
Pakaiannya ? Apalagi.
Tapi sebaliknya, aku sangat tidak suka
bahkan benci kepada siapa saja yang menjadi bakal calon kepala daerah,
calon kepala daerah, apalagi kalau dia sudah menjadi kepala daerah. Aku
bahkan muak dan hampir muntah pada sikap, tingkah dan polah mereka. Biar
siapa pun dia. Kawanku yang akrab denganku saja kalau berambisi menjadi
kepala daerah aku berbalik jadi tak suka (padanya) Konon pula kalau
sebelumnya calon kepala daerah itu tak kukenal. Marganti Manullang yang
sesungguhnya hula-hulaku pun setelah kutahu berambisi menjadi Bupati
Humbang Hassundutan, aku jadi tak suka. Termasuk Harry Marbun yang meski
pun temanku satu jemaat di GMI (Gereja Methodist Indonesia)
Dua
hal di ataslah yang membuatku jadi berpikir bahwa aku memang sedang
mengalami gangguan jiwa. Sayang sekali memang, tak ada uangku untuk
memeriksakan diriku ke dokter spesialis penyakit jiwa, sekaligus
berobat. Kalau uangku cukup, sudah lama aku mengunjungi klinik kesehatan
jiwa. Sungguh, aku ingin sembuh dari penyakit jiwa yang kuidap
(mungkin)
Kenapa aku tak suka pada bakal calon, calon dan kepala daerah ?
Sepanjang yang kulihat, mereka adalah orang-orang yang tamak, rakus,
serakah. Juga parjanji koling, haus kekuasaan dan arogan, mengkedepankan
kekuasaan dan selalu menyelesaikan masalah dengan menggunakan uang.
Ngomongan mereka sangat tidak sesuai dengan perbuatannya. Ngomongnya
ingin mensejahterakan rakyat, tapi nyatanya justru mensejahterakan diri
atau kelompoknya dari rakyat. Mereka juga adalah orang-orang yang piktor
bahkan munafik (muka nabi pikiran kotor) Dan mengingkari janji bagi
mereka tak ada soal, sebab mereka menganut paham janji politik tak ada
kewajiban untuk dipenuhi.
Tak mengenal diri, juga ciri khas bakal
calon, calon bahkan kepala daerah. Saat jelang pemilukada, mereka
datang dan menyatakan sangat mencintai daerahnya dan ingin membangun
anak negeri. Berupaya meningkat kehidupan anak negeri dengan cara ini
dan cara itu. Mengektifitaskan serta melakukan efiensi anggaran,
menempatkan (ASN) Aparatur Sipil Negara di daerahnya secara baik dan
benar sesuai dengan latar belakang pendidikan serta pengalamannya. Juga
melakukan penghematan anggaran, termasuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah.
Mereka juga berjanji untuk melakukan penghematan dengan
cara memangkas biaya-biaya perjalanan dinas, membatasi fasilitas
pejabat, dan lain-lain dan lain. Dan saat menjadi kepala daerah,
semuanya ngomong doang dan celakanya mereka tidak merasa apa-apa.
Kalau bakal calon kepala daerah sudah menjadi calon kepala daerah dan
akhirnya menjadi kepala daerah, semua yang diucapkannya dan
dijanjikannya hanya isapan jempol semata. Omong doang, dan celakanya
(sekali lagi), mereka tidak merasa bersalah dan tidak merasa apa-apa.
Menelantarkan anak negeri bahkan korupsi dan korupsi melulu. Jangankan
generasi muda anak negerinya, guru-guru pun selalu diperas bahkan
dizolimi. Ada ASN yang menentang kebijakan sang kepala daerah, segera
pindahkan ke daerah terisolir dan kalau perlu dipecat. Tak terbilang
pula sekiranya sang ASN tidak loyal dan manut. Nonjobkan. Kenapa rupanya
?
Ketika menempatkan ASN untuk menduduki jabatan struktural,
seorang kepala daerah selalu menggunakan seleranya saja berdasarkan suka
atau tidak suka. Biar sebelumnya bidan desa atau guru PAUD, bisa saja
diangkat sebagai camat apalagi guru SD. Biar guru bidang studi tata
busana di sebuah SMK, diangkat saja menjadi Kepala Dinas Tata Kota. Yang
penting ada tata-tatanya. Mau jadi Kepala Dinas Tata Kota yang cuma
guru tata boga di SMK, kenapa rupanya ? Yang penting (sekali lagi) ada
tata-tatanya.
Kelompok, saudara, kerabat, handai tolan atau
bahkan tetangga segera dipromosikan untuk menduduki jabatan struktural
yang potensial serta strategis, meski pun tidak memenuhi persyaratan.
Lihat misal Indra Simaremare yang diangkat Nikson Nababan sebagai Kepala
Bappeda Tapanuli Utara. Belum pernah menduduki jabatan eselon II dimana
saja, mendadak diangkat menjadi Kepala Bappeda. Makanya tak heran,
belum setahun sejak Indra menjadi Kepala Bappeda Tapanuli, sudah
diadukan oleh sebuah LSM di daerah itu. Sebaliknya lihat contoh Hulman
Sitorus yang Walikota Pematangsiantar. Dia justru mengangkat Renward
Simanjuntak menjadi Kepala Bappeda karena Simanjuntak yang satu ini
sudah terbilang berpengalaman di beberapa jabatan eselon II lainnya.
Makanya, Renward pun mahir dan cerdas melakoni perannya.
Kepala
daerah, juga banyak yang mengangkat guru menjadi kepala dinas. Ada guru
olahraga yang dipercaya menjadi Kepala Inspektorat. Ada juga guru penjas
yang diangkat menjadi Kepala Bappeda. Ada sarjana pertanian yang
sebelumnya bertugas di Dinas Sosial tapi belakangan diangkat menjadi
pejabat di Dinas Pendidikan yang membidangi sarana dan prasarana. Kalau
akhirnya tugas-tugasnya mandeg di bidang itu, siapa yang salah ?
Akh. Terlalu banyak yang bisa saya beri contoh betapa kepala-kepala
daerah tak becus mantang-mantang berkuasa penuh di daerahnya melebihi
kekuasaan Tuhan Yesus. Kalau mesti saya paparkan disini lengkap dengan
contoh-contohnya barangkali tak elok juga bagi saya, sebab banyak di
antara mereka yang adalah kawan-kawan saya. Yang patut untuk dicatat
disini, tugas-tugas pokok ASN di jajaran pemerintah daerah acapkali
mandeg bahkan stagnasi karena pejabatnya justru tidak atau belum
mengerti untuk menjalankan atau memerankan. Lihat misal terlambatnya
penyaluran Dana BOS di Tapanuli Utara akibat ketidak profesionalan
masing-masing staf yang menanganinya.
Tulisan saya ini pun
sebenarnya cuma pelipur lara belaka untuk saya renung-renungkan. Dari
pada bengong nggak tahu mau kemana pada Sabtu sore hingga malam ini. Dan
ini, ada kaitannya dengan uang. Sebab, apa yang dicari orang pagi
petang siang malam ? (Kota Pematangsiantar, 23 Mei 2015
Ramlo R Hutabarat).
0 Comments