Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Ketika Elite Partai Politik 'Melonte'

Ramlo R Hutabarat
BERITASIMALUNGUN.COM, Jamak sudah diketahui, pada 9 Desember nanti akan dilaksanakan pemilukada serentak di 269 daerah di tanah air. Hari-hari sekarang, sudah pada tahapan penelitian administrasi dan faktual di tingkat desa/ kelurahan atas dukungan terhadap bakal calon dari jalur perseorangan. Sementara Pengumuman Hasil Analisis DP4 pun sedang dilakukan. Ini artinya, para penyelenggara pemilukada tengah sibuk-sibuknya, Baik KPU, PPK serta PPS. Bahkan pun, tentu, PPDP (Petugas Pendata Daftar Pemilih). Panwaslu serta segenap jajarannya di tingkatan kecamatan dan desa tentu juga.

Jamak juga sudah diketahui, untuk menjadi calon kepala daerah ada dua jalur yang bisa ditempuh. Pertama lewat perseorangan, dan yang kedua lewat jalur partai politik atau gabungan partai poliitik . Mereka yang melalui jalur perseorangan, terlebih dahulu harus menyerahkan syarat dukungan dan syarat administrasi lainnya kepada KPU. Syarat dukungan ini akan diteliti oleh KPU untuk selanjutnya dilakukan penelitian administrasi dan faktual oleh PPS di tingkat desa atau kelurahan. Kelak, pada 26 Juli 2015 setelah semua berkasnya dinyatakan lengkap oleh KPU, mereka boleh mendaftar sebagai pasangan bakal calon kepala daerah.

Di tengah kesibukan mereka yang melengkapi berkasnya itu, mereka yang menempuh jalur partai politik atau gabungan partai politik juga sibuk tak tanggung-tanggung. Mereka harus mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu dan segala macam termasuk uang yang sangat banyak agar mereka diajukan atau dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon kepala daerah. Pada kesempatan inilah para elite partai politik melakonkan diri seolah 'lonte', yang akan mengajukan seseorang menjadi calon kepala daerah apabila diberi uang. Uang yang bergepok-gepok, berlemari-lemari bahkan bisa sampai sebanyak satu truk dua belas roda.

Sesungguhnya, saya mengamati, dari sinilah awal munculnya korupsi yang menggurita setelah siapa pun dia terpilih dan menjadi kepala daerah. Di tahap awal setelah seseorang terpilih dan menjadi kepala daerah, dia akan berupaya melakukan mutasi terhadap jajaran pemerintahan yang berada di bawah ruang lingkupnya. Yang pertama-tama dia lakukan adalah mengganti Kepala BKD, Kepala Inspektorat dan Sekda. Menyusul Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas PU Bina Marga, dan seterusnya. Lantas, para Eselon III di SKPD-SKPD. Dan semuanya diukur dari berapa uang yang bisa diterimanya dari semua mereka yang diangkatnya.

Dari sistem mutasi atau pengangkatan inilah kemudian muncul stagnasi roda pemerintahan. Mereka yang diangkat untuk menduduki jabatan struktural, sesungguhnya tidak atau belum memiliki kompetensi yang layak. Tidak memiliki kecakapan atau keterampilan di bidang tugasnya, sehingga sesungguhnya dia tidak tahu bagaimana mengerjakan apa di bidang tugas pokok dan fungsinya. Semuanya jadi marambalangan , centang perenang tak karu-karuan. Makanya di tahun-tahun pertama pemerintahan seorang kepala daerah, pemerintahan daerah yang dipimpinnya dililit dan diselimuti ragam masalah. Termasuk masalah APBD yang langsung diobok-obok.

Apa boleh buat. Karena sejak awal si kepala daerah sudah dilumuri masalah korupsi, dia pun harus berhadapan dengan petugas hukum. Juga oknum-oknum pers, oknum-oknum LSM, termasuk para 'begu ganjang' yang banyak bertebaran dimana-mana. Semua mereka justru memanfaatkan kasus korupsi sang kepala daerah untuk kepentingan priobadi masing-masing. Dan karena itu, sang kepala daerah pun harus gali lobang serta gali lobang juga, sehingga perlakuan korup yang dilakukannya semakin menjadi-jadi.

Ikwal kata, saya ingin mengatakan bahwa perilaku korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang marak dilakukan oleh kepala daerah belakangan di tanah air, bersumbu pada elite partai politik yang 'melonte' pada masa musim pemilukada. Tidak ada seorang pun di tanah air yang bisa menjadi calon kepala daerah kalau tidak dengan mengeluarkan uang yang sangat banyak. Tidak seorang pun. Dan setelah menjadi calon kepala daerah pun, dia juga harus mengeluarkan uang lagi yang juga sangat banyak untuk pemilih yang diharapkannya memilihnya. Banyak sekali, sebab para pemilih juga tidk akan mau memilihnya kalau tidak dibayar dengan uang kontan atau material lainnya.

Makanya yang bertanda tangan di bawah ini mengharapkan tata cara pemilihan dan pengangkatan kepala daerah seperti yang diatur dalam peraturan perundangan sekarang, harus segera dirubah (lagi) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Biar ketika Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, bahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 kita lakoni, semuanya tidak pernah menghasilkan kepala daerah yang baik dan benar. Meski pun, tentu saja ada pengecualiannya.

Yang bertanda tangan di bawah ini juga meminta kepada Pemerintah Pusat untuk menerbitkan peraturan perundangan yang baru tentang pengangkatan kepala daerah (tidak pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian seperti sekarang) Intinya, kepala daerah setingkat Gubenur cukup diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri, sedang kepala daerah setingkat Bupati/ Walikota cukup diangkat Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur. Dengan metoda ini sekaligus unsur seorang kepala daerah sebagai wakil pemerintah pusat di daerah akan semakin kental bahkan dominan. Tidak lagi seperti sekarang, ketika seorang kepala daerah seolah raja di daerahnya.

Bertentangan dengan jiwa dan roh demokrasi ? (Siantar Estate, 26 Juni 2015.Ramlo R Hutabarat)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments