Keluarga St Jannerson Girsang. Foto IST/FB |
BERITASIMALUNGUN.COM-Dua puluh lima tahun yang lalu, di usia 29 tahun, saya mengalami
goncangan hidup yang hebat. Bak diterpa Gempa 9.3 skala Richter. Oyong
dan hampir tidak mampu berdiri.
Di usia muda seperti itu,
setelah menjabat hanya 20 bulan, saya harus melepas jabatan rektor di
Universitas Simalungun, Pematangsiantar—jabatan yang mungkin hanya
diperoleh orang lain ketika di usia 30-an atau 40-an.
Pasalnya,
sangat sepele, saya bukan orang yang “bersih lingkungan”. Suatu status
yang sangat mengerikan di masa Orde Baru. Keputusan terbaik bagi saya,
mengundurkan diri. Walau sangat pahit, lebih dari pahitnya pil kina.
Saya
harus menanggung sesuatu akibat yang di luar kontrol saya, di luar
tindakan saya, dan di luar kuasa saya. Saya hanya bisa menyerah dan
membiarkan Tuhan yang mengatur hidup saya kemudian.
Peristiwa
itu terjadi hanya beberapa minggu setelah sebuah acara pemberian
penghargaan kepada Petani Jeruk dan Bawang Putih di kampus.
Dalam
acara itu, saya duduk berdampingan dengan Raja Inal Siregar yang saat
itu baru dilantik menjadi Gubernur Sumatera Utara, dan JP Silitonga
Bupati Simalungun, Jabanten Damanik, Walikota Pematangsiantar (Ketiganya
sudah meninggal dunia).
Bahkan saya beberapa bulan
sebelumnya mengadakan perhelatan akbar yang dihadiri ribuan mahasiwa
dari 9 Universitas di kota itu, di GOR Pematangsiantar menyambut
kedatangan Panglima Kodam I Bukit Barisan.
Sebuah posisi yang dari kacamata dunia, sebuah masa depan yang sangat cerah, seandainya saya bisa terus di sana.
Berhentinya
saya menjadi rektor di usia muda seperti itu mamaksa banyak harapan
yang harus kukubur, banyak cita-cita yang harus kureorientasi.
Cita-citaku beralih hanya memperjuangkan anak-anak. Mereka tidak boleh
korban.
Tidak mudah menghadapinya. Saya memutuskan pindah
ke Jakarta. Saat itu saya benar-benar shock dan sempat lima hari
mengurung diri tidak keluar rumah.
Gelap, dan tidak tau
apa yang harus dilakukan. Sedih, melihat anak-anak yang ketika itu masih
berusia 5 tahun dan satu tahun, dan anak saya nomor 3 Bernard masih
dalam kandungan. Tanpa modal yang cukup, tanpa harta apapun. Karena
jabatan bukanlah media untuk korup!
Jakarta, sebuah kota
besar yang kejam. Tidak peduli dan tidak berbelas kasihan. Saya
membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan, bayangan di depan yang ngeri.
Ternyata, bulan demi bulan semua kekhawatiran, bayangan mengerikan
lenyap sejalan dengan waktu.
Ucapan-ucapan seseorang,
bisa menjadi inspirasi, ungkapan-ungkapan Kitab Suci bisa menjasi
kekuatan di saat kita sedang dirundung masalah.
Saya
waktu itu teringat pidato Jabanten Damanik, bekas Walikota
Pematangsiantar, ketika masih sering menghadiri upacara di kota itu.
"Jangan
terlalu senang kalau cuaca lagi cerah, karena kalau tiba saatnya
mendung akan tiba. Sebaliknya jangan pula terlalu sedih kalau mendung
datang, karena matahari akan bersinar, awan akan bergerak, cerah akan
datang," kata Jabanten Damanik, dalam sebuah pidatonya di kampus
Universitas Simalungun dalam sebuah acara.
Pengkhotbah
mengatakan, Semua ada waktunya!. Ada waktu bersedih, dan ada waktu
berduka, ada waktu sukses, ada waktu gagal. Buku Suci mengatakan:
"Bersukacitalah setiap saat". Walau dalam suasana suka, maupun suasana
duka. Tantangan hidup adalah memaknai semua peristiwa menjadi suka cita.
Ketika
itu aku memanknai peristiwa itu. “Tuhan yang paling tau hidup saya. Dia
akan memberikan sesuatu yang lebih indah menurut kehendakNya”
Meski
saya memutuskan Jakarta adalah harapan, tetapi kemudian saya akhirnya
mendapat pekerjaan di Medan.Seseorang menawarkan pekerjaan dan itu
kuanggap sebagai jawaban doaku. Hal yang mengobati ketika kita dalam
suasana hopeless adalah "bekerja". Apapun jenis pekerjaan itu. Dari
rektor menjadi wartawan!
Dari rektor yang memiliki supir
pribadi, dan tinggal di rumah dinas yang nyaman, dikelilingi lapangan
dan kebun sawit, saya kemudian tinggal di rumah kecil tanpa kursi di
Perumnas Simalingkar selama dua tahun, harus naik angkot dan berjalan
hilir mudik di kota Medan yang jauh lebih panas dari Pematangsiantar.
Entah
berapa kantor saya sudah jalani. Tempat saya bekerja sesudah melepas
jabatan rektor adalah menjadi wartawan di Majalah Prospek, dan
mengalami perampingan 1992, kemudian bekerja kantor Konsulat Amerika,
yang kemudian ditutup pada 1995, lantas pada Nopember 2001, enam tahun
bekerja di Pramindo-- KSO Telkom Sumatra, yang seharusnya berakhir 2010,
ternyata putus kontrak di tengah jalan dan seratusan karyawan PRAMINDO
diberi pesangon, Menurut saya relatif cukup besar . Ketiga peristiwa
terakhir ini terjadi di saat saya bersungguh-sungguh bekerja, dan
karierku mulai berkembang.
Saya harus mereorientasi lagi hidup. Saya memilih menulis dan mendidik anak-anak. Anak-anaklah yang berkarya ke depan!
Kekhawatiran
senantiasa muncul dalam setiap peristiwa di atas. Apa yang
meggembirakan saya adalah saya mampu bersuka cita atas semua peristiwa
itu, dan tetap memegang prinsip, suka cita adalah upah saya yang
terbesar, bukan jabatan atau kekayaan materi.
Kesimpulan
saya. Pemaknaan kita terhadap peristiwa: suka dan duka, cerah atau
mendung adalah kemampuan kita memaknai sebuah suasana atau peristiwa.
Seseorang akan mengatakan beruntung kakinya patah, karena akhirnya tidak
jadi dikirim ke medan perang sebagai wajib militer, dan dia akhirnya
bisa menjadi pemain musik yang handal.
Saya beruntung
tidak lanjut menjadi rektor, karena berbagai ragam kehidupan, berbagai
ragam tantangan yang bervariasi saya hadapi dengan suka cita. Saya
memiliki petualangan yang hanya dimiliki sedikit orang. Saya bangga
dengan semuanya itu, saya bangga menceritakan kepada setiap orang. Suka
cita adalah upah terbesar dalam kehidupan kita.
Tuhan
Maha Baik!.Ketika memasuki kota Medan pada 1990an, bekerja sebagai
wartawan majalah ekonomi ibu kota, tinggal di rumah kecil tanpa kursi
selama dua tahun, saya rasanya tidak mampu menyekolahkan anak-anak saya.
Ternyata, 25 tahun kemudian, 6 Juni nanti putri bungsu saya Devee
Girsang akan diwisuda dari President University, Cikarang, Jakarta.
Saya
tidak bisa membayangkan, kalau dua puluh lima tahun kemudian, saya
masih mampu meraih suka cita, hingga saat ini. Saya menghibur banyak
teman, dan sebaliknya mereka menghibur saya juga. Anak-anak sudah
selesai perkuliahannya dan dua putri saya sudah menikah, putra saya
sudah bekerja dan putri bungsu akan diwisuda bulan depan.
Hidup
adalah kemampuan kita menjalani waktu yang diberikan Tuhan dengan suka
cita. Suka cita diperoleh dengan melakukan pekerjaan sebaik-baiknya
sehingga memberi suka cita bagi yang lain.
Hidup kita
ini berada dalam kontrol suatu kekuatan yang tidak bisa kita bayangkan
apalagi digambarkan dan diramalkan. Keyakinan atas kekuatan itu sangat
menentukan sikap kita memaknai masalah.
Kita hanya setia
menjalankan tugas, memanfaatkan waktu beberapa tahun, dan percaya
bahwa suatu saat kita akan mati, dan pada waktunya (entah kapan), kita
akan dihakimi oleh sang pencipta.
Syukurilah hidup,
jalani hidup seperti air mengalir seperti sungai. Alam mengatur bahwa
air harus mengalir ke daerah yang lebih rendah oleh gaya gravitasi bumi
yang diciptakan Tuhan, melintasi kelokan-kelokan sungai hingga mencapai
muaranya di laut. Kadang air bergerak tenang di tanah yang datar dan
kadang terjun ratusan meter seperti air terjun Sipiso-piso. Semua akan
sampai ke laut, semua akan mengalami mendung dan cerah.
Tugas manusia di dunia hanya satu: mengejar suka cita dalam keadaan apapun, memancarkan suka cita itu kepada yang lain.
Itulah
bedanya air, bedanya mahluk lain dengan manusia. Air dan mahluk lain
tidak bisa bercerita. Saya bisa mengisahkan pengalaman saya.
Mari teman-teman saling menguatkan, sharing sesuatu yang membuat kita bersuka cita, membuat hidup kita lebih berwarna.
Manusia
adalah mahluk yang berbudaya, mampu menundukkan alam, dan memiliki
pengalaman hidup yang memberi inspirasi atau semangat kepada yang lain.
Bukan sebaliknya membiarkan hidup kita saling menabrak aturan yang sudah ada, menyakiti satu sama lain. Suka cita akan lari!. (St Jannerson Girsang-Medan, 19 Mei 2015)
0 Comments