Ramlo R Hutabarat |
Hampir senja tadi, saya bertemu dengan Maha Dharma Saragih, Ketua DPC
PDIP Simalungun di Kompleks Griya Simalungun di Jalan Asahan.
"Apa kabar ? Bagaimana keadaan di lapangan ?", tanyanya kepada saya seperti kebiasaannya, ramah dan akrab.
Saya jawab dia dengan mengatakan, kabar baik dan sehat. Meski pun,
keadaan di lapangan becek. Dia tertawa renyah. Saya juga tertawa. Kami
tertawa. Ojak Naibaho mantan Ketua DPC PDIP Simalungun yang berada di
antara kami cuma senyum-senyum dikulum.
Maklumlah. Sebagai politisi
handal dan brliant, Ojak yang asal Samosir itu memang selalu senyum
dikulum membuat banyak orang cengar-cengir.
Entah bagaimana awal
ceritanya, saya katakan kepada Maha Dharma bahwa baru tadi malam saya
bakar kemenyan di rumah saya.
Dalam kepulan asap yang menyebar dan
menebar di kamar kerja saya kata saya, Sang Hyang menjelaskan cuma dua
pasang calon Bupati Simalungun nanti yang akan bertarung di pemilukada
2015.
"Siapa ?", tanya Dharma dan segera saya jawab jelas, tegas dan pasti :
"Nuriaty Damanik dan Tumpak Siregar saja"
"Akh. Masya ? Lantas JR Saragih ?", tanyanya penuh selidik.
Saya jawab enteng :
"Sang Hyang cuma mengatakan, yang akan bertarung dalam pemilukada
Simalungun 2015 cuma Nur dan Tumpak saja. Sang Hyang tak menyebut nama
JR Saragih sebagai peserta"
"Bah. Lantas, siapa nantinya yang akan muncul sebagai pemenang ?", Dharma kembali mencocor saya dengan pertanyaan baru.
Beberapa jenak saya diam. Saya menyalakan sigaret yang sedari tadi
menyelip di jemari saya. Mengisapnya, dan menghembuskan asapnya ke udara
lepas dan bebas, saya mulai menjelaskan panjang lebar kepada Dharma.
Saya katakan bahwa saya cuma menyampaikan apa yang dikatakan Sang Hyang
kepada saya tadi malam, setelah saya membakar dupa seraya memberi
sesajen.
Menurut Sang Hyang, Nur dan Tumpak punya masing-masing
kelebihan sekaligus kekurangan. Nur memiliki populeritas tapi kurang
isinitas. Sebaliknya, Tumpak memiliki isinitas tapi kurang dalam soal
populeritas.
Dharma tertawa dan karena itu saya mencoba diam
untuk beberapa jenak. Setelah tertawanya Dharma terhenti, saya pun
merasa aman untuk meneruskan penuturan Sang Hyang kepada saya.
Masih menurut Sang Hyang, Nur itu kan hampir lima tahun ini menjadi
Wakil Bupati Simalungun. Dia 'bernasib baik' karena selama hampir lima
tahun ini pula dizolimi atau terzolimi.
Dan karena itulah dia cukup
bahkan sangat populer di Simalungun. Populer karena dizolimi serta
terzolimi. Banyak anggota masyarakat Simalungun yang menaruh simpati
karena itu. Iba, prihatin bahkan terenyuh. Inilah antara lain modalnya
untuk bisa memenangkan pertarungan dalam pemilukada nanti, kata Sang
Hyang.
Sayangnya, hampir selama lima tahun pula Nur tidak
memiliki apa-apa. Bagaimana dia bisa memiliki apa-apa, sebab hampir
selama lima tahun ini dia cuma menerima dan mendapatkan gaji tok.
Dia
tidak mendapatkan wewenang lain kecuali yang normatif, mengakibatkan
secara isinitas dia menjadi lemah. Padahal, untuk memenangkan sebuah
pertarungan seperti pemilukada tidak bisa cuma mengandalkan populeritas
semata.
"Yang terutama, kan faktor isinitasnya", kata saya sambil
tertawa dan Dharma pun ikut tertawa. Terus terang, saya nggak tahu apa
yang saya tertawakan dan saya pun ragu Dharma tak tahu mentertawakan
apa.
Seperti diterangkan Sang Hyang kepada saya, di kubu Nuriaty
ada mesin-mesin yang tokcer dan canggih. Tapi mesin-mesin itu jelas
tidak bisa berjalan atau dijalankan dengan baik tanpa minyak di
tabungnya. Termasuk pelumas dan segala macam.
Bahkan mesin yang
secanggih apa pun tak bisa bergerak tanpa bahan bakar. Juga boleh jadi
mesinnya macet kalau pelumas tidak ada.
"Mesinnya bisa malah pecah", kata Sang Hyang kepada saya, kata saya kepada Dharma.
Tumpak Siregar sendiri, justru memiliki isinitas yang tinggi dan sangat
besar kata Sang Hyang kepada saya seperti yang saya tuturkan kepada
Maha Dharma.
Dia dikenal sebagai pengusaha sukses dengan areal atau
lahan kelapa sawitnya yang beribu-ribu hektar entah dimana-mana saja.
Setiap hari pohon-pohon sawit milik Tumpak menambah isinitasnya bahkan
hingga bertruk-truk, berteronton-teronton. Hal itu terjadi seiring
dengan terbitnya matahari dan bersinarnya rembulan di langit.
"Kalau populeritas dipertentangkan dengan isinitas dalam sebuah
pemilukada, isinitas selalu dimenangkan", kata saya kepada Dharma
seperti dijelaskan Sang Hyang kepada saya.
Dharma tertawa. Saya tertawa. Ojak Naibaho masih tetap senyum-senyum. Senyum dikulum yang sulit sekali untuk dimaknai.
Sebelum bertemu dengan Dharma, saya bertemu juga dengan Luhut Sitinjak
mantan Anggota DPRD Simalungun, juga di Griya Simalungun.
Biasalah,
karena lama tak bertemu karena kesibukan keseharian masing-masing kami
akhirnya saling kangen-kangenan.
"Akh. Mengaplah kita lama tak bertemu, Lae", kata saya kepadanya mengawali percakapan kami.
"Ya. Apalah mau dikata. Setelah tak lagi menjadi Anggota DPRD, saya
kembali menekuni profesi saya sebagai praktisi hukum", katanya sambil
mengunyah nasi campur di mulutnya.
"Sekiranya kita bertemu beberapa waktu lalu .........", kata saya entah mengapa.
"Sekiranya berrtemu ?", kata Luhut sambil memandangi saya.
"Sekiranya kita bertemu beberapa waktu lalu, aku mau ajak kian Lae
untuk maju sebagai bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Simalungun pada
pemilukada ini", kata saya ringan dan enteng serta santai.
"Siapa
di antara kita yang menjadi bakal calon bupati dan siapa pula yang
menjadi bakal calon wakil bupati ?", tanya Luhut juga ringan, enteng dan
santai.
Saya tidak menjawab pertanyaan Luhut, dan Luhut pun
sepertinya tak memerlukan jawaban saya. Saya jadi tertwa dan Luhut pun
tertawa. Beberapa orang yang ada di kedai itu yang mendengarkan
percakapan kami ikut-ikutan tertawa.
Saya tidak tahu apakah mereka
tertawa karena merasa lucu atas percakapan kami atau justru mereka
mentertawakan kami. Yang saya tahu, kalau mau ikut menjadi peserta
pemilukada ya harus memiliki isinitas yang tinggi, banyak dan besar.
Tidak cukup hanya integritas, kapabilitas, kualitas apalagi kalau cuma
populeritas.(Siantar
Estate, 11 Agustus 2015
Ramlo R Hutabarat)
0 Comments