Hari ini (Rabu, 5 Agustus 2015) saya membaca sebuah artikel yang
menarik di Harian Sinar Indonesia Baru, terbitan Medan. Judulnya
"Indonesia Layak Bersyukur Punya NU dan Muhammadiyah".
Seharusnya masyarakat, khususnya para pemimpin agama seluruhnya membaca artikel ini. Baru-baru ini kedua ormas Islam terbesar di Indonesia itu mengadakan
Muktamar (Kongres). NU di Jombang, Jawa Timur mendeklarasikan Islam
Nusantara, dan Muhammadiyah di Makassar Sulawesi Selatan mengumandangkan
Islam Berkemajuan.
Artikel ini menarik karena memberi
pencerahan sekaligus membuka mata kita betapa pentingnya peran
organisasi keagamaan di Indonesia mengindonesiakan Indonesia. Organisasi keagamaan seharusnya terlihat wujudnya dengan khotbah-khotbah
"BERISI" dan membumi di bumi Indonesia, terlihat nyata dalam aksinya
secara individu dan lembaga di tengah-tengah masyarakat.
Dan
semua agama jangan lupa, bahwa mereka hidup di Indonesia, mengembangkan
pelayanannya berbasis budaya dan karakter Indonesia dengan empat piilar
kebangsaannya: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
"Bahkan
para intelektual NU dalam sepuluh tahun terakhir ini lebih mewarnai
pemikiran Islam di Indonesia yang lebih menonjolkan inkusivitas Islam
berbasis kebudayaan lokal.nasional," kata artikel yang ditulis oleh
Ahmad Zaenal itu.
Negara ini berhutang kepada kedua Ormas Islam
ini. Kehadiran kedua ormas tersebut di tengah masyarakat dengan puluhan
ribu lembaga pendidikan umum dan keagamaan yang dikelolanya, demikian
pula pelayanan kesehatan, sosial dan ekonominya yang memberi manfaat
langsung ke masyarakat.
Saya setuju, bangsa ini seharusnya juga
sama dengan pendapat Jokowi dalam pidatonya pada pembukaan Muktamar
Muhamadiyah di Makassar baru-baru ini, seperti dikutip artikel ini, "Negara ini benar-benar berhutang kepada Muhammadiyah, Bayangkan berapa
ratus ribu bayi, bahkan jutaan anak bangsa ini yang lahir di di PKU
Muhammadiyah atau klinik bersalin Aissy'ah seluruh pelosok negeri ini,"
kata Jokowi, seperti dikutip penulis artikel ini. Muhammadiyah juga
mendidik jutaan orang di sekolah-sekolah dan berbagai usaha yang
dikelolanya.
Satu hal yang paling penting yang kutangkap dari
artikel ini, "Gus Dur dengan Amin Rais berbeda. Begitu pula NU dengan
Muhammadiyah. Namun menyangkut kepentingan bangsa, sejarah membuktikan
dua ormas ini dan tokoh-tokohnya memiliki kesamaan tujuan", tulis
artikel ini.
Kiyai Haji Mohammad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan
Kiyai Haji Wahid Hasyim tokoh NU, adalah nasionalis sejati pemimpin
pergerakan nasional. Hendaknya para pemimpin agama sekarang ini tidak
berada dalam kungkungan kepentingan agamanya saja, tetapi juga bagi
kepentingan nasional.
Kita semua berdoa, semoga kedua ormas
terbesar ini terus menjaga konsistensinya, menjaga Indonesia dengan
keragaman agama mampu berdamai dan hidup harmonis berlandaskan tujuan
nasional yang sama.
"Tidak berlebihan jika kita berharap banyak
dari NU-Muhammadiyah. Keduanya dapat dikatakan sebagai reservoir etika
republik. Keduanya berinvestasi banyak dalam menyemai benih kehidupan
etis sebelum republik berdiri. Keduanya juga menempatkan wakilnya dalam
perumusan dasar negara dan konstitusi negara pertama". (Yudi Latif, Kompas.com, 4 Agustus 2015)
: .
Para pemimpin agama lainnya seharusnya bergandeng tangan mengelola
ormas keagamaannya dengan bijaksana, menyemaikan nilai-nilai baik, dan
membawa negeri kita ini menuju masyarakat adil dan makmur.
Mari
belajar saling menghargai dan saling menghormati. Berbeda tetapi dalam
kerangka tujuan nasional kita adalah satu tujuan, membangun Indonesia
dan menjadikan Sumber Daya Manusia yang Cerdas, Inovatif, dan
Kompetitif.
Tidak picik, tidak seperti katak dalam tempurung! .erima kasih NU, terima kasih Muhamadiyah. .
Artikel itu dapat diakses di : http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=70661. Baca juga artikel yang ditulis Judi Latif, berjudul: NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika. (http://print.kompas.com/baca/12r3O). (St Jannerson Girsang)
0 Comments