Pagi ini (Minggu 13 September 2015) bersiap-siap menghadiri perayaan 112 tahun injil di Simalungun GKPS Resort Medan Selatan, yang diadakan di Gedung Tosim, Jalan Bunga Terompet, Medan.
Tanggal 2 September setiap tahun
diperingati sebagai ditaburnya injil untuk pertama kali di bumi
Simalungun (tepatnya di Pematangraya) oleh Missionaris August Theis.
Tanggal inilah yang diperingati oleh seluruh jemaat GKPS dimanapun
berada sebagai PESTA OLOB-OLOB GKPS.
Hari ini, 13
September 2015,GKPS Resort Medan Selatan merayakannya secara
bersama-sama dengan lima jemaat: GKPS Maranatha, Simalingkar, Pintu Air
Simalingkar, Pancur Batu dan Haleluya. Demikian juga Resort GKPS yang
lain di berbagai tempat di seluruh tanah air.
Semua
jemaat GKPS menyambut Pesta Olob-olob sebagai sebuah acara syukuran atas
suatu perubahan yang telah terjadi dengan hadirnya Injil. Momen
merefleksikan semua kebaikan Tuhan atas perjalanan Gereja [GKPS] dalam
menjalankan missinya untuk mencapai visi Tuhan atas umat manusia,
sekaligus juga memotret sejauh mana kita sudah berjalan pada visi
tersebut serta memperbaiki langkah-langkah selanjutnya.
Suasana
peringatan tahun ini ditandai oleh berbagai peristiwa eksternal (issu
globalisasi, kondisi Indonesia yang masih dalam tahap konsolidasi di
berbagai bidang untuk bangkit dari krisis yang berkepanjangan yang
banyak berdampak negatif terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat),
serta kondisi internal GKPS dimana pesta Olob-olob kali ini hanya
beberapa bulan pasca perubahan kepemimpinan di tingkat jemaat, Resort,
Distrik dan Pimpinan Pusat, yang sedikit banyaknya memiliki friksi yang
perlu dikonsolidasikan dengan segera, serta dampak dari faktor-faktor
eksternal ke dalam internal GKPS yang turut juga mempengaruhi kehidupan
jemaatnya, serta kecenderungan-kecenderungan baru yang menuntut
perbaikan manajemen gereja yang perlu dicermati.
INJIL : Membawa Perubahan Nilai
Sejak
Agust Theis menaburkan injil kepada masyarakat Simalungun di
Pematangraya, sebuah perubahan besar telah terjadi bagi warga
Simalungun. Kedatangan Injil telah “merobah” mereka dari kondisi buta
huruf, keterbelakangan akibat kepercayaan akan kekuatan gaib, tradisi
yang banyak membuat diskriminasi khususnya “perlakukan terhadap wanita”,
serta banyak lagi kebiasaan-kebiasan (mabuk-mabukan, madat dan judi,
dendam yang seringkali berakhir dengan saling membunuh diantara
saudara). Terang Injil ternyata telah membuka mata dan hati mereka untuk
hidup lebih sejahtera dan saling mengasihi sesamanya.
Masa-masa
awal kedatangan Injil, gereja menjadi sumber utama untuk menerangi
kegelapan di masyarakat di daerah Simalungun. Mereka rindu akan
“nilai-nilai” yang dibawakan oleh gereja, yang tidak hanya sekedar
siraman rohani belaka, tetapi juga menerangi masyarakat melalui
pelayanan pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi jemaat.
Program-program
gereja seperti pembrantasan buta huruf, pembrantasan penyakit
perbaikan dalam sistem pertanian untuk memperlihatkan mereka akan
kemuliaan Tuhan dan “percaya akan adanya Tuhan”.
Tuhan menganugerahkan
rencanannya melalui August Theis dengan bantuan data yang benar dari
“guru Amborsius” sehingga apa yang dimulainya dalam rencana itu masih
dapat kita rasakan hingga saat ini dan dalam segala zaman. Rencana itu
tidak muluk-muluk namun dapat menangkap kebutuhan jemaat saat itu,
disamping tentunya dengan manajemen yang transparan.
Pertanyaan
kita adalah apakah memasuki usianya ke-112, kerinduan warga GKPS akan
persekutuan, kesaksian dan pelayanan yang ditawarkan masih seperti
kerinduan awal berdirinya GKPS. Mampukah program-program yang ditawarkan
GKPS memberikan nilai-nilai baru kepada jemaatnya saat ini. Pertanyaan
ini tentunya akan sulit dijawab kalau kita tidak mau secara jujur
mengoreksi diri, mulai dari atas sampai ke bawah.
Pertanyaan
ini juga mendorong kita untuk bertanya lagi apakah ada “peran guru
Amborsius” saat ini yang mampu melihat “tanda-tanda” perubahan yang
selanjutnya dapat dirumuskan dalam program-program yang disyahkan Synode
Bolon.
Apakah mekanisme pelaksanaan program tersebut
cukup transparan sehingga dari tingkat atas sampai dengan jemaat dapat
dipahami, sehingga evaluasinya dapat dilakukan guna perbaikan program
pada masa berikutnya?.
Menghadapi era globalisasi dimana
perubahan terjadi sangat cepat, “peran guru Amborsius” dan August Theis
dalam merumuskan strategi pelayanan menjadi sangat menarik. Hal ini
bukan untuk mengatakan gereja hidup dari manajemen yang baik, tapi
gereja yang baik mempunyai manajemen yang baik. Manajemen yang baik
akan memberikan ruang yang jelas bagi kita untuk melaksanakan missi
Tuhan
Apakah dalam suasana globalisasi yang menjanjikan
perobahan baru ini mendorong mereka untuk lebih pengharapan baru akan
hubungan mereka yang lebih baik dengan sang penciptaNya..
GKPS Saat ini : Pelaksanaan Tri Tugas Gereja dan Peluang Perbaikan
Untuk
melihat kondisi GKPS marilah kita melihat dengan apa yang kita akui
sendiri, yakni dari apa yang tertuang di dalam catatan kita (Susukkara)
dan kalau itu kurang tepat marilah secara bersama-sama kita perbaiki.
Pertama.
Perkembangan jumlah jemaat, resort, Distrik, di GKPS berkembang cukup
pesat. Dengan jumlah anggota jemaat lebih kurang 220 ribu jiwa,
tersebar di 8 Distrik, lebih dari 20 provinsi di Indonesia.
Menarik
disimak, karena pertumbuhan jumlah jemaat, resort dan distrik, jauh
melebih pertumbuhan jemaat. Gedung gereja tumbuh dmana-mana, dan jemaat
sibuk dengan pembangunan gedung gereja.
Hal ini perlu
dicermati mengingat “sibuknya” pembangunan gedung, namun pembinaan
persekutuan, pelayanan dan kesaksian tidak mendapat porsi yang
seimbang.
Jangan heran kalau semakin bertambahnya
Pemuda/jemaat kita yang kurang berminat dengan pelayanan kita dan pergi
ke pelayanan yang lain. Kita berharap, Perayaan Olob-Olob di Resort
Medan Selatan hari ini, kegiatan yang dilaksanakan bukanlah menonjolkan
pengumpulan dana, tetapi lebih kepada refleksi apakah kehadiran Injil
membawa kedamaian, persatuan dan kesatuan diantara jemaat-jemaat.
Kedua.
Meskipun masih dalam perdebatan benar atau tidak, seringkali
dikeluhkan bahwa ada kenyataan yang menonjol bahwa arah program kita ke
pembangunan fisik. Kenyataan ini ternyata bukan hanya di jemaat, namun
juga di tingkat pusat.
Ketiga. Sebaran jemaat GKPS
berada 80-90 % berada di Sumatera Utara (Distrik I, II, III, IV dan
VIII) dan hanya 10% (20.408) berada di luar Sumatera Utara. Sebuah
keragaman kebutuhan jemaat yang besar dan harus dipetakan sehingga
pelayanan dapat menjangkau seluruh jemaat.
Kita berada dalam satu
sistem, dimana penduduk yang belum mengenal internet, pendidikan dan
status sosial yang berbeda, bergabung dalam sebuah persekutuan. Akses
informasi, pengetahuan dan modal yang berbeda memberikan pemahaman
tentang sesuatu yang berbeda, gereja harus hadir menjembatani hal
tersebut. GKPS juga harus merubah sistem pembinaan jemaat kepada
berbagai ragam jemaat tersebut.
Keempat. Adalah langkah
yang patut ditindaklanjuti bahwa beberapa kegiatan seperti “Dialog
Kebutuhan Jemaat”, “Pembinaan Persekutuan” yang tahun ini diadakan
beberapa kali dengan mengundang tokoh-tokoh dari Jemaat.
Dialog
tersebut merupakan suatu sarana untuk memahami kebutuhan jemaat dan
kebijakan yang seharusnya ditempuh oleh Pimpinan Pusat GKPS. Selama ini,
patut kita akui dan memang kenyataan bahwa kegiatan kita cenderung
mengarah kepada hal-hal fisik.
Kegiatan utama kita adalah persekutuan,
kesaksian dan pelayanan. Pernahkah kita hitung, berapa persenkah waktu
dan pengeluaran yang kita lakukan untuk mendukung kegiatan persekutuan,
kesaksian dan pelayanan tersebut, dibandingkan dengan biaya pembangunan
dan pemeliharaan gedung? Bukankah gereja adalah orangnya?
Kelima.
Sistem manajemen informasi (pembuatan data base dan pengiriman data)
yang mengarah ke antisipasi komunikasi global telah dimulai dengan
adanya internet di Kantor Pusat dan mediaonline GKPS. Kita kini sudah
mampu melakukan komunikasi kantor Pusat melalui e-mail, salah satu akses
untuk masuk dalam dunia global.
Keenam. Dalam rangka
mengantisipasi perubahan yang sedemikian cepat serta kondisi nyata yang
ada seperti disebutkan diatas, maka saatnya dipikirkan manajemen yang
dapat membawa GKPS mampu berperan lebih besar lagi dimasa-masa
mendatang. Manajemen keuangan harus memanfaatkan teknologi informasi.
Secara bertahap dan terjadwal, seluruh transaksi keuangan sudah dapat
dilakukan melalui bank.
Ketujuh. Peran lembaga-lembaga
pelayanan GKPS (Yayasan) saat ini memiliki potensi konflik (walaupun
tidak terbuka), dengan kebijakan Pimpinan Pusat. Menjadikan
lembaga-lembaga yang ada ke bentuk Yayasan atau Badan belum diikuti
dengan sosialisasi yang memadai. Pengelolaan Badan dalam bentuk Yayasan
dan Badan, memerlukan pembahasan serius karena dua hal berbeda, tetapi
masih dikelola dengan cara lama.
Dari ketujuh hal
diatas, diusulkan sebagai bahan dalam menyusun potret GKPS (dalam
konsep/wacana) yang seharusnya dapat dibuat sebelum 2018 dan ketika
memasuki Synode kita sudah memiliki sebuah gambaran yang jelas mengenai
kondisi aktual kita, serta kondisi yang mempengaruhi (eksternal).
PEMBERDAYAAN INSTITUSI
Semua
hal diatas, tentunya harus disalurkan melalui institusi-institusi yang
sudah ada. Kekuatan kita adalah “penyertaan Tuhan” atas
lembaga-lembaga yang kita miliki, yang mempersatukan kita. Keputusan
tertinggi berada di Synode Bolon, sebuah sidang tertinggi yang dihadiri
oleh perutusan-perutusan resort/distrik, pendeta, utusan pengurus
pusat seksi (Bapa, Sikolah Minggu, Wanita dan Pemuda).
Seluruh
rencana selama masa periode kepemimpinan Pimpinan Pusat serta
perubahan peraturan dan pembuatan peraturan baru GKPS dibahas dan
disyahkan pada Synode bolon. Demikian pula pelaksana keputusan tersebut
yakni (Pimpinan Pusat, pelaksana mandat Synode Bolon) dan Majelis
Gereja (mengawasi pekerjaan Pimpinan Pusat) dipilih oleh Synode Bolon.
Anggota Majelis Gereja menurut Keputusan Synode Bolon, yang domisilinya
di Pulau Jawa, Kalimantan, Pekan baru, Palembang, Jambi, Bandar
Lampung dan Sumatera Utara.
Ada enam hal yang perlu menjadi wacana di tingkat pusat dan Synode Bolon menjelang 2018, yakni :
Pertama,
perlu dipikirkan mekanisme yang efektif penyusunan draft
Keputusan-keputusan Synode Bolon, sehingga sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan jemaat dan bukan “mengambang” sifatnya, serta pelaksanaan
Synode yang efektif. Program yang diputuskan seharusnya mencakup apa
yang akan dirubah dan menjadi apa yang dikehendaki Tuhan.
Kedua,
pengaturan yang jelas antara pelaksanaan Keputusan Synode Bolon dan
Kewenangan yang dimiliki oleh Pimpinan Pusat dalam mengambil
langkah-langkah mewujudkan keputusan tersebut, sehingga tugas-tugas yang
dibebankan kepada pimpinan pusat dapat tuntas menjelang periodenya
berakhir.
Harus jelas, kewenangan Pimpinan Pusat dalam
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyelesaikan suatu masalah.
Keputusan-keputusan yang dapat diambil oleh Pimpinan Pusat dan yang
harus “mendapat persetujuan dari Majelis Gereja”, harus
mempertimbangkan kebutuhan organisasi.
Kalau tidak maka
permasalahan-permasalahan yang ada akan terus mengambang dan
masing-masing akan melemparkan tanggungjawab. Bayangkan, kalau untuk
mengangkat seorang sekretaris yang mendesak di Pimpinan Pusat harus
mendapat persetujuan dari rapat Majelis Gereja, tentunya akan lambat.
Ketiga,
sistem pengawasan beserta indikator-indikatornya penting dirumuskan
sebelum dilaksanakan. Sistem pengawasan kita yang sekarang ini bukan
merupakan Total Quality System bahkan cenderung hanya melihat sisi
keuangannya saja. Sementara, program-program dan target program
seringkali tidak masuk dalam materi pengawasan.
Keempat,
adanya operasionalisasi yang jelas oleh Pimpinan Pusat kepada seluruh
lapisan (struktur yang dibawahnya) mengenai pelaksanaan amanah Synode
Bolon.
Tugas utama Pimpinan Pusat adalah bagaimana tri
tugas gereja (pelayanan, kesaksian dan Persekutuan) berjalan sesuai
dengan amanah Synode Bolon. Untuk pelaksanaan tugas utama tersebut,
dibentuk unit-unit yakni Departemen Persekutuan, Departemen Kesaksian
dan Departemen Pelayanan.
Untuk mendukung tugas utama tersebut dibentuk
Biro-Biro. Tugas utama tersebutlah yang mestinya didukung oleh
Biro-biro tersebut. Bukannya malah tugas-tugas pendukung yang paling
menonjol.
Seyogianya, Kantor Pusat memberikan arah
kebijakan yang jelas untuk dioperasionalkan di tingkat Resort dan
Jemaat dengan Koordinasi dari Praeses. Ada hal-hal khusus yang dapat
dilaksanaan sesuai dengan keberadaan jemaat, namun penting diketahui
hal-hal mana yang merupakan hal-hal khusus tersebut.
Kelima,
Keberadaan Yayasan dan Lembaga. Dalam mewujudkan pelayanannya yang
bersifat holistik, GKPS memiliki kegiatan-kegiatan pendukung lainnya
yakni Yayasan, dan Badan-badan, yang dalam struktur yang ada berada
dibawah Departemen Pelayanan.
Penting dirumuskan sejauh
mana wewenang dan tanggung jawab kedua belah pihak agar kasus-kasus
yang lama. Kasus Juma Bolak, dan berbagai kasus yang tidak sesuai
dengan misi gereja tidak terulang kembali. Perlu dipahami, semua
Yayasan dan Badan adalah perpanjangan tangan Pimpinan Pusat, mereka
bukan berdiri sendiri dan kegiatannya harus sinkron dengan
program-program yang ditetapkan pimpinan pusat.
Keenam,
perayaan Olob-olob kali ini adalah beberapa bulan menjelang Pilkada
2015. Kiranya gereja GKPS tidak terjebak dalam politik praktis dan mampu
menjaga dirinya sebagai pengawal demokrasi di tanah air. Gereja tidak
boleh peduli hanya kepada kepentingan segelintir orang, tetapi
kepentingan semua jemaat, umat manusia.
PENUTUP
Memasuki
usianya ke112, GKPS telah tumbuh menjadi suatu persekutuan yang besar
dan hidup ditengah suasana dengan perubahan yang sangat cepat. Memang
masih menjadi perdebatan, apakah manajemen gereja tidak akan membawa
gereja menjadi sebuah lebih mementingkan prinsip-prinsip organisasi dari
pada persekutuan, kesaksian dan pelayanannya.
Namun, di pihak lain
seringkali alasan manajemen diabaikan untuk “memaafkan”
perbuatan-perbuatan atau hasil kerja yang tidak selesai dan hanya
ditutup dengan kata “siparayakon”. Ketidak tegasan manajemen seringkali
membuat cara-cara pengambilan keputusan menjadi “subjective” dan bukan
mengarah kepada kepemimpinan yang Kristiani (korupsi, penyalahgunaan
wewenang) yang berpotensi menyimpan “buah-buah konflik”.
2
September setiap tahun adalah merefleksikan diri pada missi gereja
yang sesungguhnya. Apakah “pekerjaan utamanya” yakni pelayanan,
persekutuan dan kesaksiannya telah membuahkan “buah-buah roh” yang
tercermin dalam kehidupan jemaat dan pemimpinnya atau malahan cenderung
telah terjebak dalam “pekerjaan pendukung” yakni pembangunan sarana dan
prasarana yang justru potensial untuk membuahkan bayang-bayang
kegelapan “kecemburuan, percekcokan”, karena manajemen yang tidak
transparan.
Adalah tugas kita bersama untuk memahami dan
memberikan solusi sehingga persekutuan kita yang sudah besar ini dapat
mewujudkan visi Tuhan ditengah-tengah warga GKPS sehingga menjadi
terang juga bagi lingkungan kita.
Satu hal yang penting
adalah bahwa dalam suasana seperti ini kita masih diberi kesempatan
setidaknya merefleksikan perbuatan Tuhan atas GKPS dalam kurun waktu
yang panjang tersebut dan dengan penuh pengharapan bahwa Tuhan masih
terus “campur tangan” untuk memperbaiki program dan pola-pola
manajemennya guna mendorong warga GKPS dimasa mendatang melakukan
perobahan-perobahan yang menghasilkan buah-buah roh yang diwujudkan
dalam kehidupan berjemaat, berbangsa, bernegara dan ditengah-tengah
kehidupan dunia.
Last but not least. Menjelang Pilkada
2015 hendaknya seluruh umat dan pemimpin gereja memahami bahwa politik
praktis bukanlah tugas gereja. Gereja bertugas mengawal pelaksanaan
Pilkada, bukan turut menjadi tim sukses calon tertentu.
Gereja bertugas
mengawal demokrasi, mencerahkan umatnya berdemokrasi yang baik, sehingga
dapat berjalan dengan baik dan berkualitas. Kiranya perayaan Pesta
Olob-olob ke 112 ini bebas dari kampanye politik Pilkada. SELAMAT MAROLOB-OLOB MA HITA. AMEN. (St Jannerson Girsang)
0 Comments