IST BERITASATU.COM |
Pasca-Orde Baru tumbang, polemik kebenaran sejarah Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober bermunculan. Banyak pihak yang meragukan akurasi sejarah yang disodorkan pemerintah terkait peristiwa kelam setengah abad silam.
Kali ini pun, polemik itu muncul dalam wujud kontroversi perlu
tidaknya pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi),
meminta maaf keluarga eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal
itu terkait posisi PKI yang dianggap sebagai dalang di balik peristiwa
penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Pascaperistiwa
itu, para anggota PKI dan simpatisannya diburu dan banyak di antara
mereka yang dieksekusi mati tanpa proses pengadilan.
Keluarga eks anggota dan simpatisan PKI pun mendapat stigma negatif
dari pemerintah dan masyarakat. Dampaknya, mereka kehilangan hak-hak
sipil dan politik, seperti sulit mendapat pekerjaan, terutama di
lingkungan pemerintahan, dan tertutupnya kesempatan untuk menjadi
penyelenggara negara. Perlakuan diskriminatif tersebut berangsur-angsur
dihapus sejak Orde Baru tumbang.
Terkait hal itulah, Presiden Jokowi sempat dikabarkan akan
menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga eks-PKI. Kabar tersebut
sontak memantik kontroversi dan polemik. Kenyataannya, kabar tersebut
tidak benar. Presiden menegaskan, tidak pernah ada rencana meminta maaf
sehubungan peristiwa tersebut. Bahkan, Sekretaris Kabinet Pramono Anung
menyebut kabar tersebut sebagai fitnah yang diembuskan pihak-pihak yang
memiliki motivasi untuk memojokkan presiden.
Peristiwa sejarah yang populer di masyarakat sebagai Gerakan 30
September (G30S) atau pemberontakan PKI dalam rangka mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi komunis tersebut, tak bisa dimungkiri masih
menyisakan banyak pertanyaan di masyarakat. Sejumlah pihak menilai ada
pembelokan fakta dari peristiwa itu. Rentetan peristiwa yang selama ini
dipahami masyarakat sejak di bangku sekolah adalah fakta yang
manipulatif. Akibatnya, ada dorongan supaya pemerintah meluruskan fakta
sejarah di balik tragedi pembunuhan tujuh pahlawan revolusi pada 1965,
dan peristiwa-peristiwa yang mengiringinya.
Persoalannya, hal itu tidak mudah dilakukan. Sebab, di satu sisi ada
pihak keluarga pahlawan revolusi, yang menjadi korban dari peristiwa
yang oleh masyarakat dipahami sebagai pemberontakan PKI. Di sisi lain,
juga ada pihak keluarga eks-PKI yang oleh sebagian kalangan diyakini
menjadi kambing hitam atas manipulasi sejarah 1965.
Jika sejarah diubah, diyakini akan membuka persoalan baru yang sangat
pelik. Persoalannya tidak hanya menyangkut apa yang dirasakan para
korban dan keluarga tujuh jenderal, tetapi juga seolah-olah
mengesampingkan tidak ada persoalan ideologis di balik tragedi 50 tahun
lalu tersebut. Kondisi ini juga perlu disadari akan terjadi berkaitan
dengan kabar permintaan maaf dari pemerintah.
Sesungguhnya, saat ini telah terbangun rekonsiliasi di antara mereka
yang terkait langsung dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Di antara
keluarga pahlawan revolusi dan keluarga eks-PKI, misalnya, sudah lama
terjalin komunikasi yang hangat, yang mencerminkan tidak ada lagi
persoalan di antara mereka. Tanpa harus melupakan peristiwa tersebut,
keluarga pahlawan revolusi dan keluarga eks-PKI ingin menunjukkan bahwa
mereka tidak ingin tersandera oleh masa lalu yang kelam. Rekonsiliasi
yang terbangun antara dua pihak yang terkait langsung, sejatinya
mengirim pesan yang kuat kepada kita sebagai bangsa, bahwa jangan sampai
sejarah kelam menjadi penghalang untuk melangkah ke depan, mengingat
tantangan besar justru mengadang di masa depan.
Isu permintaan maaf yang sengaja diembuskan, adalah langkah
kontraproduktif yang tidak saja menghabiskan energi, tetapi juga sangat
berpotensi membuka luka lama. Luka yang sesungguhnya telah disembuhkan
oleh rekonsiliasi dan sikap pemerintah menghapus diskriminasi terhadap
keluarga eks-PKI, jangan sampai muncul lagi oleh kepentingan sempit
segelintir pihak.
Saat ini kita seharusnya mengarahkan energi dan perhatian untuk
memerangi musuh bersama, yakni praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), feodalisme yang masih mengakar, dan ekstremisme yang mencoba
merobohkan bangunan pluralitas yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Di samping itu, tentu kita juga tetap waspada untuk mencegah jangan
sampai peristiwa seperti yang terjadi pada 1965 terulang kembali.
Meskipun seluruh komponen bangsa telah menerima dan mengakui Pancasila
sebagai ideologi negara, tetap saja kewaspadaan perlu terhadap setiap
upaya mengganti ideologi yang telah disepakati para founding fathers.
Kita tidak bisa menghalangi jika ada upaya mencari kebenaran hakiki
atas setiap peristiwa sejarah. Namun, upaya itu harus dilakukan secara
cermat dan berhati-hati. Upaya tersebut pun harus dijauhkan dari
motivasi balas dendam terhadap sejarah. Jangan sampai memicu kontroversi
yang justru berpotensi mengganggu kohesi sosial serta stabilitas
politik dan keamanan yang dengan susah payah telah dibangun.
Sebab, bangsa ini harus membayar teramat mahal jika pelurusan sejarah
justru melahirkan efek samping yang kontraproduktif. Apalagi, saat ini
kita tengah menghadapi persoalan besar di bidang ekonomi dan tantangan
pelik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Beritasatu.com)
0 Comments