St Jannerson Girsang |
Malam ini (Kamis 1 Oktober 2015) menjelang tidur, saya beberapa jam terakhir menulis draft sebuah buku otobiografi di teras rumah. Secara fisik mungkin capek, tapi hobby ini membuatku kadang kurang kontrol. Maunya terus, dan terus! Suasana makin sepi, sejak saya memulainya sekitar pukul 22.00 sehabis kebaktian rumah-rumah (partonggoan).
Penghuni rumah di sekitar rumah kebanyakan sudah bermimpi. Ada yang belum pulang dari tempat kerja, karena shift malam.
Aku memilih menulis di teras malam ini, karena jalan di depan rumah
baru dilapis seminggu yang lalu. Mulus!. Jalan dengan aspal yang agak
terbal tidak lagi mengirim debu ke teras, seperti sebelumnya. Sekalian
merubah suasana! Menulis di teras rumah terkadang membawa sensasi
tersendiri.
(Menjelang Pilkada Kota Medan, Desember 2015
penduduk sedikit agak dimanjakan, termasuk sepanjang jalan depan rumah
kami yang panjangnya beberapa ratus meter, Cuma, tidak semua jalan di
kompleks perumahan ini seperti bagusnya jalan Kopi Raya I dan II,
Perumnas Simalingkar. Jalan-jalan lain harus bersabar. Kami memang beruntung. Itu kataku. Tapi yang lain pasti mengatakan diskriminasi.)
Sesekali sepeda motor, dan mobil yang lewat, di depan rumah
mengeluarkan suara yang menggelegar. Kusyukuri sebagai penahan rasa
ngantuk.
Dentakan kartu truf dari meja di warung depan rumah
yang dimainkan beberapa orang bapak membuatku merasa tidak sendirian,
Suara-suara emosional mereka membuatku merasa ramai, walau sendiri.
Sayangnya suara AC kamar tidur di belakangku mengundang masuk kamar tidur. Aku membayangkan enaknya tiga penghuni rumahku sudah lelap!. Mereka sudah ke peraduan sejak beberapa jam lalu.
Mata mulai tidak besahabat lagi, ditambah mata terpengaruh asap dari
Riau dan Jambi. Sedikit perih, walau tentunya tidak separah penderitaan
teman-teman dekat sumber titik api.
Teringat pengalamanku di
Riau 18 tahun yang lalu. Saya tidak bisa membayangkan betapa
terganggunya hidup mereka, tertuma mereka dari kalangan miskin dan
anak-anak kecil.
Saya pernah mengalami tinggal di Riau selama
beberapa hari saat kebakaran hutan di sana, 1997. Sejak itu, setiap
tahun mereka sudah merasakan begini selama 18 tahun. Wilayah itu sudah
menghasilkan jutaan generasi yang terganggu pernafasannya sepanjang
hampir 5 Pelita.
Saya mengalami sendiri di lapangan keadaan
di tengah wilayah dekat titik api. Anda bisa merasakan ruang tertutup
dimana asap sudah tersimpan beberapa lama. Menyengat dan baunya aneh.
Dada sesak, kalau keluar dari mobil ber-AC.
Malamnya, saya
menonton peristiwa jatuhnya Garuda GA 152, di daerah Pancur Batu melalui
pesawat TV di penginapan. 222 penumpang tewas!. Pesawat itu jatuh saat
suasana kabut tebal melanda Polonia, meski penyebab jatuhnya disebutkan
bukan karena kabut tebal itu.
Penderitaan anak-anak lebih
parah lagi. Saya menyaksikan anak-anak sekolah tanpa masker harus
berjalan kaki dan menembus ruang yang terisi asap selama berbulan-bulan. Generasi seperti apa yang kita hasilkan dari anak-anak seperti itu?
Kderugian yang diderita akibat ulah pengusaha yang culas, jelas tak
bisa dibitung dengan tepat. Keamanan pesawat terganggu, ribuan penundaan
keberangkatan dan kedatangan pesawat. Karena tidak ada angka yang tepat
semua orang anggap remeh, termasuk pemerintah selama ini.
Perasaan jengkel, muncul. Tak masuk logikaku di abad ke-21, setiap tahun
para pengusaha pembakar hutan, dan masyarakat yang kurang mengenal
bahaya api masih tega dan tak jera-jeranya meracuni jutaan umat manusia,
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara tetangga. Malu. Tapi dasar
bangsa ini tidak tau malu lagi.
Tidak cukup peringatan Hari
Kesaktian Pancasila menyadarkan rasa nasionalisme mereka. Harus dengan
hukuman berat seperti yang diterapkan pak Jokowi sekarang.
Lanjut Pak Jokowi. Jangan cuma janji, jangan hanya pintar cari kambing
hitam. Kalau tahun depan masih ada kebakaran hutan, rakyat tidak akan
percaya lagi sama Bapak! 18 tahun Indonesia tidak bisa menundukkan api di Riau, Jambi, Kalimantan!.
Outbox thinkinglah!. Proses yang biasa tak akan menghasilkan hasil yang
berbeda. Mudah-mudahan kita tidak menunggu 18 tahun lagi penduduk di
sana menderita.
Ah, kok jauh sekali kepedulianku, padahal
cuma bisa prihatin saja.Saya tidak bisa membuat apa-apa untuk
meringankan penderitaan mereka.
Mungkin masih lebih baik, dari
pada mereka yang membisniskan penderitaan rakyat melalui iklan. Bukankah
banyak pengusaha Alkes mengiklankan prestasi mereka mempromosikan
masker dengan memanfaatkan anak-anak.
Seharusnya semua pengusaha
alkes tidak menjual masker--atau setidaknya disubsidi pemerintah,
karena itu adalah membantu masyarakat miskin. Jadi tidak perlu pakai
iklan segala.
Kembali soal menulis!
Menulis memang lebih
enak sendirian, tidak perlu dibantu siapapun. Menulis adalah kehidupan
yang rela meluangkan kebanyakan sisa hidup untuk "sendiri". Mampu tidak
bicara dengan siapapun selama berjam-jam. Beda kalau plagiat atau Copy
paste. Satu menit bisa selesai satu artikel.
Saat menulis tidak
diperlukan orang-orang yang bangun di sekitar laptopku. Kalaupun ada
orang di sekitarku, rasanya hanya akan menggangu, karena mereka bukan
mengajakku menulis, tetapi ngobrol.
Ah, pekerjaan menulis tidak
perlu dipaksakan, karena tidak akan menghasilkan produk yang baik.
Lagi, pula badan akan terasa penat dan tidak mampu bekerja banyak esok
harinya. Cukup sekian dulu malam ini. Hari esok masih menunggu. Selamat tidur dan semoga semuanya bisa lelap.
Warung depan rumah sudah mulai menutup pintunya setengah, berarti akan
segera tutup. Mungkin sebentar lagi aku tidak lagi mendengar suara-suara
itu.
Menutup laptop, memasukkan meja-meja dan kursi Oshin rotanku ke dalam rumah, adalah pekerjaan terakhirku sebelum bobo!.
Besok, saya kembali mengeluarkannya bersama cucu kecilku yang memberiku banyak kesenangan dan inspirasi.
Lupakan dollar yang terus merangkak, lupakan perlambatan ekonomi,
lupakan semua yang membuat diri khawatir, karena semua yang kita
khawatirkan di luar kontrol kiita.
Jangan lupa berdoa!. Doakan
korban asap, doakan pengusaha perkebunan supaya bertobat, doakan
pemerintah agar mampu menghentikan pembakaran hutan, doakan pemerintah
agar mampu membangun jalan-jalan mulus. (St Jannerson Girsang)
0 Comments