![]() |
Penulis: Pdt Dr. Martin Lukito Sinaga
|
Wacana Islam Nusantara yang
mengemuka akhir-akhir ini sungguh patut dibawa masuk ke dalam percakapan
lintas-agama, juga ke dalam komunitas Kristiani.
Sudah cukup lama
pertemuan lintas-agama seperti Islam-Kristen di Indonesia digiring ke
ranah politis; kita dengan mudah mencatat isu politisnya, dari soal-soal
kerusuhan pasca Reformasi 1998 sampai ihwal pendirian rumah ibadah.
Tapi dengan wacana Islam Nusantara ini dinamika lintas-agama akan jadi
baru, sebab yang diretas ialah soal lingkup pengaruh agama-agama dalam
pembentukan kenyataan sosial di lapangan kehidupan nyata sehari-hari.
Umat Kristiani pun patut memperhitungkan dinamika baru islam
Indonesia dengan dicanangkannya Islam Nusantara ini. Dengannya, gereja
dapat merancang secara baru responsnya, yang menurut saya akan
membebaskannya dari perasaan gugup sebagai minoritas, sebentuk perasaan
yang muncul akibat serba politisnya relasinya dengan Islam selama ini.
Walau tentu mesti ada sinyal atau gelagat konstruktif gerejawi yang baru
yang dilakukannya. Momennya untuk rekonstruksi juga pas, sebab
akhir-akhir ini dari ujung Barat sampai Timur Indonensia telah terjadi
pemilihan baru para pemimpin gereja-gereja Indonesia.
'Islam Nusantara' ialah mengenai ekspresi unik dan pengakaran khas
Islam dalam ruang dan sejarah Indonesia. Telah terbentuk tradisi khas
Islam Indonesia setelah berabad-abad menempuh proses "take and give"
dengan serat-serat budaya di Nusantara ini.
Pembentukan tradisi
kontekstual itu dimungkinkan terutama oleh watak sufistik Islam
Indonesia, yang selanjutnya telah menciptakan identitas Islam yang
moderat dan toleran.
Bahkan, Islam Nusantara telah membentuk realitas sosial "modern"
dengan gagasan barunya mengenai masyarakat. Dari Kiai Agus Sunyoto saya
mendengar bahwa gagasan mirip "citizen" lahir dari karya Syekh Lemah Abang.
Ia memprakarsai komunitas mandiri, yang bebas dari sistem sosial serba "kawulo-gusti",
dan di situ setiap orang diperbolehkan memilih dan meningkatkan status
sosialnya sendiri.
Nusantara telah diberi corak baru oleh daya rohani
Islam itu sendiri. Sebentuk masyarakat merdeka telah terukir di
Nusantara -mirip dengan borjuasi Eropa-, dan ini tentu saja telah
memudahkan Islam dan bangsa ini menjadi modern.
Atas semua diskursus ini, tentu baik juga kalau ditanya: bagaimanakah
memerikan umat kristiani Indonesia dalam proses mengakarkan dirinya ke
dalam realitas sosial di negeri ini. Adakah Kristen Nusantara?
Nusa Gereja-Suku
Di kalangan umat Kristiani telah pula niat mengakar di Nusantara
dicanangkan -malah secara teologis pendiri Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta sejak tahun 1930-an mengupayakan 'teologi in loco"-, sebentuk pempribumian teologi Barat agar tidak terasa asing itu.
Dengan demikian gereja-gereja yang semula tumbuh dalam berbagai pot
dan berpostur bonsai itu, hendak ditanam ulang di tanah subur negeri
ini. Dari proses tanam-menanam itu memang telah pula terbentuk
pulau-pulau gereja-suku yang tersebar di seantero Nusantara ini.
Apakah
selanjutnya telah terbentuk semacam Kristen Nusantara yang coraknya
terasa dari "Sabang sampai Merauke"? Terasa sulit menjawab dengan
positip hal ini, dan itu terkait proses perkembangan tradisi kristiani
Indonesia yang belum jelas hendak beranjak kemana. Kemandegan
perkembangan tradisi kristiani yang bisa melintas di nusantara terjadi
antara lain karena pulau-pulau gereja suku itu cenderung berhenti pada
dirinya.
Gereja suku lahir dari gagasan romantisme badan zending dan
para misionaris abad XIX -ribuan jumlahnya datang dari Eropa menginjili
di Nusantara- yang berharap bahwa seluruh kehidupan budaya suku-suku di
Indonesia akan dikristenkan.
Ada proses pertumbuhan organik yang
diharapkan terjadi dalam suku bangsa tadi, dan dibayangkan sebagai
hasilnya akan tumbuh pohon baru, semacam sosok "Kristen-Batak" atau
"Kristen-Toraja". Maka memang diperlukan isolasi di sini, agar terjamin
kemunculan identitas yang kompak namun baru itu.
Studi Hasselgren (2000) tentang komunitas orang Batak-Protestan ke
Medan di awal abad XX mengisahkan tentang karakter kompak komunitas itu.
Pengalaman kultural membangun desa mandiri, harajaon, membuat
mereka membayangkan bahwa di kota Medan pun hal itu harus terjadi,
sementara asupan kristianitas yang mereka terima membuat mereka dengan
mudah menyerap ide kemajuan.
Saat gereja pertama mereka dirikan di Medan maka itu berarti bahwa roh harajaon
itu telah datang dan bermukim ke dunia rantau. Maka mereka terus
semangat membangun rumah-rumah mereka mengitari gereja tadi dan tak
berniat pulang sama sekali.
Sementara itu ide kemajuan telah pula
meyakinkan mereka untuk terus meretas dan memenangkan dunia urban itu.
Tapi jelas pula akibatnya: tradisi kompak Kristen-Batak itu tak akan
direntang apalagi dijalin dengan tradisi tetangganya yang Melayu dan
muslim.
Membandingkannya dengan studi Budi Susanto SJ (1989) tentang
komunitas Katolik-Batak, segera terasa bahwa orang Batak telah menemukan
dalam gereja Roma Katolik itu "sahala" atau wibawa, suatu unsur penting
dan impian utama orang Batak. Dan "sahala" Katolisisme itu membuat
mereka bisa berharap akan mendapat kekayaan sampai pandai bicara.
Dengan kata lain tradisi yang berkembang di situ ialah berputarnya
agama Kristiani demi memenuhi impian-impian masyarakat lokal, dan
sejarah gereja lokal itu akan bergerak seputar pemenuhan impian itu.
Niat membagikan suasana Katolik-Batak secara interkultural ke komunitas
lainnya akan terhempang, karena impian suku-suku lain tentang
Katolisisme tentu amat berbeda. Pulau-pulau atau nusa gereja-suku memang
telah mempercepat pengakaran agama Kristen, namun sekaligus membuatnya
berputar di dalam tembok dan urusan etnis tertentu saja.
Minoritas Tidak Menonjol
Dalam studi Myengkyo Seo tentang Gereja Kristen Jawa/GKJ (2013), ia
mencatat bahwa akhir-akhir ini terjadi proses baru di dalam gereja-suku
itu. Ada satu GKJ di Solo-Surakarta yang punya alamat dan halaman yang
sama dengan masjid Al-Hikmah. Saat Idul Adha misalnya, warga GKJ akan
ikut berpesta dan berbagi daging kurban, dan tentulah ibadah pagi gereja
dipindahkan ke sore hari.
Suatu saat ada permohonan dari pendeta agar suara adzan sedikit
dikecilkan karena akan berlangsung penahbisan pendeta yang baru.
Menjawab permohonan itu ternyata pihak mesjid sama sekali tidak
menyalakan pengeras suara hari itu, dengan alasan mereka tokh
bisa mendengar panggilan itu dari mesjid di tempat yang lain. Ketika
ditanya apa gerangan sebabnya sehingga pihak mesjid melakukan yang lebih
dari yang diminta, pendeta Widiatmo menjawab, “karena kami belajar
tidak menonjolkan diri”.
Sikap tidak menonjolkan diri itu sesungguhnya mencermin belokan hidup
menggereja yang lebih mendasar lagi; menurut Seo telah mencair
batas-batas komunitas gerejawi tersebut, dan tidak penting lagi
penegasan siapa yang di luar dan siapa yang di dalam. Malah menurut
pendeta Trimin dari GKJ Susukan, tugas GKJ bukan membawa orang
non-Kristen ke dalam atau menghalangi warga gereja ke luar, tetapi membuat semua orang tahu bahwa pintu GKJ selalu terbuka.
Tentu catatan analitis Seo ini serius dan membuka tantangan baru,
dalam arti apakah memang jalan menjadi Kristen Nusantara ialah dengan
membuka isolasi gereja-suku sambil selanjutnya mengambil posisi tidak
menonjol agar dengannya umat Kristiani dapat melakukan "take and give" secara lebih intensif lagi?
Di pihak lain, percakapan model menggereja yang cukup serius telah
diajukan oleh Romo Mangunwijaya, dengan nama yang disebutnya yaitu Gereja Diaspora.
Maksud beliau ialah gereja perlu hidup menyebar mengikuti langgam
umatnya, dan memasuki ruang-ruang jerih umat dalam upaya sintas di dunia
modern ini.
Bukan ortodoksi yang dikejar, bukan menjulangnya gedung
gereja yang dibangun, tetapi keterlibatan konkret di berbagai ranah
tantangan. Kalau umatnya buruh, maka persekutuan iman mesti terjadi di
antara pabrik-pabrik, kalau jemaatnya pedagang di pasar rakyat maka
gereja menjadi persekutuan memberdayakan modal kerja sektor informal
itu.
Maka modus bahwa gereja harus kelihatan hadir besar dan bertambah
banyak digangsir di sini, yang perlu rupanya gereja menyebar dan tidak
menonjol, lalu mencari bentuk kehadirannya dan ruang pengaruhnya.
Semacam menggarami proses hidup diajukan di sini, dan inilah yang dapat
menjadi cikal-bakal tradisi Kristen di Nusantara.
Maka kalau begitu akan terjadi sinergi Islam-Kristen: gereja bertugas
memperkuat pelayanan multi-aspek atas umat yang berdiaspora di berbagai
tempat dan perkara -tentu umat lintasiman-, dan itu dikerjakannya di
antara sela atau celah yang dibuka oleh rekan seperjalanannya, yaitu
umat Islam Nusantara. (Penulis adalah dosen luarbiasa STT Jakarta dan pendeta GKPS Cijantung).
Sumber: SATUHARAPAN.COM
0 Comments