St Jannerson Girsang Bersama Cucunya. Foto IST FB Patricia Marcelina Girsang |
"Do not wait until tomorrow what you can do today/now"
Perintah itu tertulis di buku tulis saya waktu masih kelas I SD, akhir
60-an. Saya sudah menghafalnya hampir 47 tahun. Meski saya belum tau
bahasa Inggeris saat itu, namun saya beruntung karena ayah saya seorang
guru dan mampu menerjemahkannya.
Tapi, perintah itu hanya
sekedar saya hafal, dan belum mampu mempraktekkannya secara sempurna
dalam kehidupan. Masih banyak menunda-nunda pekerjaan, sehingga orang
lain sering dirugikan. Kalau menghafalkannya, bangun tidur, kalau
ditanya saya pasti ingat!.
Sama seperti perintah di bungkus
rokok kretek: "Merokok bisa mengakibatkan kanker, sakit jantung,
impotensi....". Semua perokok pasti hafal perintah ini. Karena setiap
kali merokok, pasti dia membacanya Tokh, jumlah perokok makin
meningkat.
Itulah sisi gelapnya pengajaran dengan hafalan. Kita
menimba banyak pengetahuan di sekolah, di lingkungan rumah ibadah. Kita
banyak menghafal dalil-dali ilmu-ilmu sosial dan eksakta, banyak
menghafal ayat-ayat suci. Mengisi otak dengan kebenaran, tapi tidak
sampai ke hati.
Di sekitar kita kurang keteladanan, dan tidak banyak orang yang bangga sebagai teladan.
Pengetahuan kita banyak digunakan untuk berdebat. Seorang sarjana,
doktor, apalagi sudah Professor seharusnya tidak ada lagi yang masuk
penjara. Karena mereka sudah banyak belajar tentang kebenaran.
Nyatanya di negeri kita yang banyak sekolah dan rumah ibadah, penghuni
penjara itu banyak yang bertitel sarjana, doktor, bahkan bergelar guru
besar. Dari yang berpangkat prajurit hingga jenderal menghafal banyak
peraturan, tetapi tokh juga ada yang terjerat kasus korupsi.
Di
sekolah, kita banyak menghafal dalil-dalil, aturan-aturan. Tau artinya
secara harfiah, tetapi tidak pernah merenungkan mengapa hafalan itu
muncul, dan mengapa itu harus dihafal. Alhasil, hafalan tidak sampai
mengubah sikap kita.
Kita tidak sampai kepada esensi pendidikan.
.Padahal, "The essence of education is character". Kini susah menjamin
kalau sudah sarjana, master, doktor, professor itu berkarakter lebih
baik dari yang tidak berpendidikan setingkat itu.
"Selamat
belajar nak penuh semangat. Rajinlah belajar tentu kau dapat. Hormati
gurumu, sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman".
Potongan syair lagu ketika saya masih SD, selalu terngiang dan intinya,
sekolah itu agar menjadi murid yang budiman,mampu menghormati dan
menyayangi orang lain.
Orang berpengetahuan tinggi diharapkan memiliki karakter yang baik, menjadi murid yang budiman.
Pengkotbah pintar mengatur kata-kata yang puitis, lelucon yang membuat
gelak tawa jemaat, memasukkan ayat-ayat yang relevan dan menggugah
jemaat menghafal ayat-ayat suci.
Semua orang senang pulang, dan
mengatakan khotbahnya bagus. Tapi tidak sedikit orang hanya
menggunakannya sebagai pengetahuan saja, alat berdebat, bukan mengubah
karakternya. Pada kenyataannya sikap berbuat jahat makin canggih dan
meningkat jumlahnya.
Menghafal, itulah yang banyak diajarkan dalam sistem pengajaran di sekolah-sekolah dan lembaga keagamaan kita.
Meningkatnya pengetahuan sebenarnya diarahkan agar orang yang
bersangkutan berubah sikap dan karkaternya, dari yang tidak baik, yang
tidak benar menjadi baik dan benar.
Khotbah, nasehat,
pengetahuan disampaikan bukan hanya sekedar memperkaya pendapat dan
pintar berdebat. Seharusnya mampu menginspirasi untuk mencapai
perubahan sikap, meningkatkan kepedulian kita atas sekeliling kita,
meningkatkan passion untuk melakukan perbuatan baik, membantu orang
lain.
Sekali lagi, pengetahuan tidak sekedar memperkaya
pendapat, tetapi seharusnya membuat orang makin bijaksana. Mudah-mudahan
kita tidak hanya penghafal, tetapi adalah pelaku pengetahuan, Firman
Tuhan yang kita dengar. Semoga!. .(St Jannerson Girsang)
0 Comments