Kel St Jannerson Girsang Bersama Orangtua.IST |
Punya kedua orang tua guru sungguh sebuah
kebangganku di masa kecil, hingga sekarang. Orang-orang segan kepada
guru dan anak-anaknya turut mendapat wibawa mereka.
Kini, aku
selalu dipuji teman-teman, karena meski orang tuaku sudah bersia 79
tahun, masih bisa setir sendiri, dari kampung kami di Nagasaribu ke
Medan berjarak 100 kilometer lebih, hanya berdua dengan ibuku.
Guru bisa menempatkan dirinya di mana saja. Bisa bergaul dengan segala
lapisan masyarakat. Mereka senantiasa menjadi guru kehidupanku, hingga
di usia lanjut.
Menjadi anak guru kami dididik hidup
sederhana. Wakut kecil kami tidak boleh mendapat uang pemberian orang
lain. Ayah saya sangat marah kalau saya menerima uang dari bapatua,
namboru atau siapa saja.
Punya orang tua sebagai guru ada sedihnya. Mereka mendidik dengan keras, disiplin, tapi penuh dengan kasih sayang.
Masih ingat suatu ketika di ruang tamu. Namboru dan mangkelaku mau
mengasih uang, mata ayah saya melotot. Saya langsung sadar, dan tidak
berani menerimanya.
"Anak-anak tidak boleh memiliki uang kalau
tidak perlu," demikian kata ayah saya. Tidak boleh menerima uang dari
orang lain, apalagi korupsi.
Orang tua saya sangat anti kalau
saya ikut main kartu, tuo, atau permainan apapun yang berbau judi. Suatu
ketika saya pernah diberitahu teman main domino. Besoknya di sekolah,
bersama teman-teman, di depan upacara Senin, saya disuruh buka baju.
Empat lidi "dilibas" ke punggung dua kali. Delapan baris luka di
punggung, baru sembuh dua minggu. Sakit!
Semua itu kurasakan
menjadi sebuah pelajaran.Main judi hanya buang waktu dan tidak ada
untungnya. Tapi kadang mencuri-curi juga. Tapi untunglah orang tua saya
melarang, karena kalau tidak pasti saya tidak jadi sekolah. Mendidik
anak harus dengan kasih sayang.
Kalau kami punya kesalahan pasti
dihukum. Tetapi selalu disayang. Setelah ayahku memukul, sesampai di
rumah, beliau akan mengobati luka bekas pukulannya. Kadang ada rasa
geram. "Huh, tadi dipukul, sekarang diobati".
Punya orang tua
guru, saya merasakan kasih sayang. Selalu ada waktu bercanda bersama di
rumah, di ladang waktu bekerja sepulang sekolah. Mereka selalu memiliki
cerita yang membangun karakter. Banyak sekali cerita anak-anak yang
diwariskan ayah dan ibu saya dan masih bisa saya ceritakan kepada
anak-anak.
Guru mengapresiasi prestasi sekecil apapun dari
anak-anaknya. Kedua orang tuaku bangga dengan prestasi anak-anak, bangga
dengan kebaikan, bukan kuasa atau materi.
"Biarlah hidup
sederhana, asal jangan korupsi. Lihatlah orang-orang di TV itu. Wah,
apalah artinya kaya kalau nanti masuk penjara," demikian selalu
diingatkan ibu saya.
Punya orang tua guru, tidak menuntut
apa-apa berupa materi dari anak-anaknya. Punya orang tua guru, bagiku
tidak merepotkan. Mereka selalu ceria dan sehat walafiat. Hampir tak
pernah menyusahkan kami.
Bahkan mereka terus berbakti kepada
anak-anak hingga usia mereka saat ini menjalani 79 tahun. "Memberi lebih
bahagia dari menerima", terus ingin berbuat yang terbaik bagi
anak-anaknya, walau kehidupan mereka hanya sederhana saja.
Kalau ada anak-anaknya yang berkekurangan, mereka setiap saat mau mengulurkan tangan.
Gaji guru itu kecil. Kami harus bekerja bersama-sama di ladang sepulang
ayah dan ibu mengajar di sekolah. Pensiun guru tidak besar, tetapi
menjadi berkat, tidak hanya buat kalian berdua, tetapi kepada kami,
cucu, cicitmu. Kasih guru sepanjang masa.
Itulah enaknya
menjadi anak guru. Tidak pernah berurusan dengan penjara karena korupsi.
Tidak susah menjawab pertanyaan anak-anak. "Pak, rumah kita, sepeda
motor kita ini dari mana?".
Sepanjang usia mereka terus melayani
dan tidak suka dilayani. Kalau kami datang ke kampung, ibu dan ayah
selalu sigap memasak, menyuguhi kopi. Nilai kami anak-anak bukan soal
pemberian kami, tetapi perhatian dan kasih sayang.
Selamat hari
guru buat kedua orang tuaku. Terima kasih atas didikanmu, soal
kehidupan, kesehatan, bermasyarakatnt, keuangan, mendidik anak. Panjang
umur dan tetap semangat, hingga akhir khayatmu. (St Jannerson Girsang)
0 Comments