Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Pesta Demokrasi Para “Kecoak”

Imran Nasution
Imran Nasution
Oleh : Imran Nasution

Pesta demokrasi memilih Walikota dan Wakil Walikota Siantar 2015 sebagai  proses perubahan lebih baik,  dapat terwujud apabila  kalimat itu bukan   sekedar  di ujung lidah tak bertulang. Tak terbatas kata-kata dan tinggi gunung seribu  janji.

Sementara,  kalau “Ingin hati memeluk gunung  apa daya tangan tak sampai”, masih untung kalau hanya  janji tidak direalisasi. Tapi kalau ingin memeluk gunung,  apa daya gunung meletus seperti  Sinabung, rakyat pasti terhuyung  seperti baru menelusuri  lorong tak berujung.

Ada juga pribahasa lama dan karena lamanya banyak dilupakan anak  zaman, “Jangan karena nila setitik, rusak susu  sebelanga”. Kalau dihubungkan dengan pemilihan walikota Siantar,  jangan  karena Pilkada  “setitik “ atau  hanya  sekali lima tahun,  rusak  seluruh atau  “sebelanga” keberagaman SARA kota Siantar yang begitu indah.

Kalau  keberagaman rusak dicabik  ambisi politik membabi buta sampai  rakyat susah cari nafkah,  merangkai  keberagaman  itu sulit sesulit  memahat batu  tapi jari dijepit. Sehingga, jepitan harus  dilepas, baru merangkai keberagaman  agar kembali indah.

Sebenarnya dan diharap bukan sebenarnya, kalau Pilkada  mencabik keberagaman dan kondisi Siantar lebih buruk dari  sebelumnya, sangat ironis karena uang rakyat  membiayai Pilkada digunakan  untuk melanjutkan penderitaan rakyat lima tahun lagi. Sehingga,  pesta demokrasi itu lebih pantas  disebut  pesta demokrasi para “kecoak”.

Kecoak yang menjijikkan dan  disebut orang  Siantar  lipas,  datang dari  berbagai lobang. Mulai dari lobang sampah sampai lobang toilet. Kemudian, pelaksana dan pengawas Pilkada dari atas  ke  bawah semua kecoak. Termasuk para undangan pesta yang diumpan  pakai uang. Pesta juga mendatangkan  tikus sebagai bintang tamu  didampingi para jangkrik sebagai pembisik.

Meski tiada mengaku dan kalau dituduh kecoak pasti marah bahkan menggugat,  bukan mustahil   kecoak penyebar kuman  menguasai pesta demokrasi karena  tak malu menyebut  pelopor perubahan. Padahal, perubahan itu hanya  internal kecoak agar lebih terampil menyusup berbagai musim.  Baik musim paceklik,  musim  cair karena hujan   atau  musim-musiman.

Kalau dikatakan “Siapa menabur angin dia akan menuai badai”, pada  pesta demokrasi  kecoak berubah jadi, ”Siapa  menabur uang akan  menang”.  Masalah melanggar, semua bisa diatur belakangan. Sehingga,  politik uang , tak perlu dilihat berkaca  mata apalagi pakai kaca mata kuda yang  hanya melihat ke depan karena berlangsung  kasat mata.

Biasanya dan sudah biasa, menjelang  Pilkada, banyak  “kompor”  yang menyala membuat  temperatur politik lokal memanas. Kemudian, saat kicauan  burung dari pohon tinggi bernada  propaganda  dihembus angin  ke delapan penjuru, suasananya makin riuh rendah.

Karena  angin politik berubah cepat dan sulit ditebak apalagi bisa mendadak jadi puting beliung,  kompor bersumbu cepat pendek meledak. Sehingga, ada lempar batu sembunyi tangan,  menangguk di air keruh atau menggunting dalam lipatan. Selanjutnya, rakyat jadi pecundang.

Di balik Cermin

Pesta demokrasi para kecoak harus digagalkan sebelum nasi jadi bubur sebagai santapan para kecoak. Karenanya, pelaksana, pengawas, peserta Pilkada, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta semua elemen terkait harus bertanggungjawab untuk tidak turut  jadi kecoak.

Sebelumnya, seluruh elemen terkait  itu wajib bercermin di atas permukaan kaca tak retak agar sadar  apakah  padangannya  mulai  rabun senja. Sehingga, mengetahui  bahwa  di balik cermin itu ada puluhan ribu kaum muda berlari tanpa alas kaki dan pincang  tertusuk duri.

Kreatifitas anak muda  tanpa wadah, liar. Pemusik dan penyanyi beraksi di simpang jalan.  Di  sudut remang kota, di lapo-lapo tuak  dan di mana saja asal bakat tersalur. Para seniman termarginal. Anak muda berbakat olahraga terlantar. Para pelukis dan fotografer menggambar raut wajah kota yang sedang murung.

Di balik cermin itu juga tampak ribuan kaum miskin mangap-mangap karena luput sebagai  penerima  Raskin yang  disantap pakai ikan asin. Perbelanjaan moderen menjarah ke pemukiman dan buka 24 jam membuat  pasar tradisional dan pedagang kecil kehilangan pembeli. Di balik cermin itu, ada telinga pejabat pekak  kritik karena GOR dirubah menjadi  lokasi bazar yang juga  pesaing pedagang pasar tradisional.

Tergambar kondisi RSUD  dr Djasamen Saragih. Taman Bunga,  lapangan H Adam Malik,  eks terminal Sukadame, kumuh  pasar Parluasan, stadion Sang Naualuh  dan tempat jin uang anak Terminal Tanjung Pinggir.

Sektor  pendidikan terpuruk diantara  maraknya  pembiaran  kutipan liar  terhadap siswa.  Rencana pembangunan Pasar Melanton Siregar tanpa studi kelayakan membuat   PD PAUS  sebagai pendiri bermasalah. PD Pasar Horas Jaya beda tipis dengan Dinas Pasar.

Masih di balik cermin itu, tergambar tentang Walikota sebelumnya yang selalu  ingin  aman. Sehingga Rancangan Tata Ruang Kota (RTRW) hanya di atas kertas. Tergambar  perbandingan Belanja Tidak Langsung dengan Belanja Langsung dalam APBD sebesar 70:30. Artinya, uang rakyat lebih dinikmati pejabat dibanding rakyat melalui pembangunan.

Penutup

Masih  jelas dalam ingatan ketika Pilkada langsung melalui pilihan  rakyat  gagal dikutak-katik  agar kembali  dipilih DPRD. Alasan hemat anggaran dan stabilitas keamanan  dinilai tak masuk akal dan miris. Apalagi  kepercayaan kepada  anggota dewan makin menipis dan kedaulatan rakyat memilih pemimpin bakal terkikis habis.

Namun, mengamati  dinamika yang berkembang, muncul pertanyaan  apakah hari H  9 Desember 2015, rakyat akan berdaulat?  Sehingga, hasil akhir Pilkada pilihan rakyat lebih baik dari dipilih di gedung oleh DPRD?

Untuk menjawabnya, jangan tanya kepada rumput yang bergoyang atau kepada langit biru. Tak perlu berdebat panjang karena semua masih  prediksi. Belum ada jaminan apakah Pilkada  2015 berkualitas dan bermartabat  atau benar sebagai  pesta  demokrasi para kecoak! (Penulis Wartawan Berdomisili di Siantar)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments