Info Terkini

10/recent/ticker-posts

BUKAN: "AKU CUMA", TETAPI "JUSTRU KARENA.."

:"Jangan pernah berkata: Aku cuma.....tetapi katakanlah justru karena........" (Merry Riyana). Kutipan ini sungguh memberi semangat yang sangat kuat bagi saya, dan mungkin setiap orang yang ingin mengejar sesuatu. Jangan menyerah dengan keadaan, perjuangkan cita-citamu!.

Dulu, saya tidak tau menulis. Saya tidak memiliki latar belakang penulis. Sekolah formal yang saya tempuh adalah lulusan Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, yang pelajarannya adalah ilmu tentang tanah, foto udara, percobaan di laboratorium tanah, memegang tanah, batuan dan masuk ke luar sawah, ladang atau hutan, membawa bor, soil test, bukan pena.

Lagi pula, saya adalah anak desa. Saya baru mampu berbahasa Indonesia secara aktif di usia 16 tahun. Baru pertama kali mengirimkan artikel di buletin Ambilan Pakon Barita GKPS, saat saya berusia 21 tahun. Bahasa Indonesia sayapun kampunganlah.

Saya tidak punya keluarga atau lingkungan yang jadi penulis. Malah pekerjaan saya menulIs justru tidak mendapat apresiasi di kalangan keluarga, karena kurang keren, apalagi duitnya yang sangat minim. Masyarakat kita juga belum begitu menghargai penulis, sebagaimana penghargaan ke profesi yang lain, penyanyi atau pemusik misalnya.

Justru karena itu, saya harus terus menulis. Banyak anak muda yang mengatakan: "Wah, bapak ini sudah tua dan banyak tanggungan, tapi masih bisa menulis. Gimana kita yah" .

Saya sangat senang setiap mendengar ungkapan ini. Artinya, saya turut membangkitkan semangat mereka menulis, salah satu tantangan besar bangsa kita dewasa ini, dimana para anak muda kurang berminat menulis. 

Ketika saya memulai menulis, saya tidak berkata "aku cuma" anak desa yang baru bisa berbahasa Indonesia di usia 16, tidak punya latar belakang menulis, tidak memiliki latar belakang keluarga penulis, tidak pernah kuliah di perguruan tinggi jurusan sastra.


Tetapi saya mengatakan, "justru karena" aku tidak memiliki latar belakang penulis, maka aku harus belajar, berlatih dengan tekun. 


Justru karena itu, saya harus belajar buku-buku tentang penulisan, belajar dari para penulis yang lebih senior di daerah ini seperti Buntomi Janto, Bersihar Lubis, Idris Pasaribu dan lain-lain. Kenapa?. Saya mau jadi penulis. Saya mau terus bersemangat menulis.


Bahkan, saya baru fokus menulis setelah berusia 40 tahun--setelah saya bekerja di berbagai bidang pekerjaan, tapi saya memiliki kemampuan belajar berbagai hal-hal baru.

Saya memulai menulis rutin, di tengah-tengah tanggungjawab saya yang besar sebagai seorang ayah, disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang lain.

Saat itu saya masih berat-beratnya menyekolahkan anak, tetapi saya mampu meyakinkan mereka bahwa hidup sederhana, kekurangan uang, bukan hambatan menyelesaikan studi.

Semasa kuliah anak-amak ada yang harus bekerja di kantor perpustakaan sewaktu kuliah, ikut NGO, dan yang lainnya belajar serius dan cepat menyelesaikan studinya.

(Sekarang usia saya memasuki 55 tahun, empat orang anak saya sudah lulus dan mandiri, bahkan dua orang diantaranya sudah memberi saya dua cucu).

Targetnya, menulis 20 buku dan 1000 artikel sebelum saya meninggal. Seram di awalnya, tetapi bisa dicapai kalau tekun. Apalagi ketika saya menetapkan target itu, saya belum pernah menulis buku.

Kini sudah selesai 18 buku, dan ratusan artikel. Saya sangat salut melihat para penulis muda seperti Roy Martin Simamora, Jhon Rivel Purba, Dedy Gunawan Hutajulu, Dian Purba, Eka Azwin Lubis, Lea Wilsen, Liven Riawaty, Yunita R Saragi , Lucia Chriz, serta para penulis muda lainnya di daerah ini.


Mereka menulis artikel-artikel di media lokal maupun nasional, menulis buku di usia mereka yang relatif masih muda. Kadang terbetik dalam hati, Andaikan aku menekuni pekerjaan menulis sejak seperti usia mereka! 


Saya, bukan sastrawan, bukan ahli dari sebuah cabang ilmu, justru karena itu saya memilih sebagai seorang pencerita (story teller)-menulis otobiografi, biografi, profil, mengisahkan hal-hal yang menginspirasi pembaca.


Hingga sekarang saya belum banyak berkontribusi dan mungkin juga tidak masuk dalam daftar penulis, padahal, saya sudah menulis secara kontinu sejak 2002. Salut melihat para anak muda sekarang, hanya dalam beberapa tahun sudah mampu menulis buku-buku yang laris manis.

Tidak dikenal, tidak dimasukkan dalam deretan penulis besar, justru membuat saya terus menulis, menebar apa yang saya anggap baik untuk dibaca orang lain, memperbaiki kelemahan-kelemahan dan belajar dari para penulis besar.

Saya hanya ingin mencapai target: menulis 20 buku dan 1000 artikel yang dimuat di media. Saya senang melakukannya, dan lebih senang lagi, kalau banyak yang mendapat manfaat dari pekerjaan itu. Semoga artikel-artikel saya yang sederhana itu makin banyak dibaca orang dan merindukan artikel-artikel saya berikutnya. 

Tahun lalu saya menulis 3 buku--baik menulis tunggal, maupun bersama dengan teman-teman, beberapa artikel di media lokal, serta menulis artikel setiap hari di FB, dan beberapa mediaonline.

Selain itu, beberapa kali saya menjadi pembicara tentang penulisan dan peningkatan minat baca di berbagai even di Medan, Pematangsiantar, Kepulauan Nias.

Tahun 2016, saya menargetkan akan menulis 3 buku, menulis di media lokal, terus menulis artikel setiap hari di FB ini, serta beberapa media online, untuk melatih diri sekaligus menyampaikan pesan tertulis kepada teman-teman.

Satu lagi, saya akan terus melanjutkan penularan pengalaman (sharing) menulis kepada orang-orang yang membutuhkan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Saya tidak peduli apakah buku dan artikel yang saya tulis dibaca orang atau tidak, dikatakan penulis hebat atau tidak, best seller atau hanya diterbitkan untuk kalangan sendiri.

Menulis memudahkan saya melupakan persoalan yang rumit. Kalau pikiran agak ribet: saya ambil laptop: MENULIS! Sehabis menulis saya bisa tidur nyenyak, makan lahap. Itulah harta paling mahal di dunia!.

Hal yang banyak mendorong saya menulis adalah saya ingin menebar kebaikan melalui artikel-artikel tentang kisah-kisah yang menginspirasi. Puas rasanya kalau apa yang saya ketahui, juga diketahui orang lain, apalagi mereka belum pernah membacanya, dan bermanfaat bagi membangkitkan harapan mereka.

Selain itu saya menulis memang karena ingin lebih banyak dikenal orang dan dikenang sebagai penulis. Dengan menulis saya mengenal dan dikenal di kalangan masyarakat atas hingga tukang becak.

Menulis adalah mendokumentasikan peradaban yang nantinya akan diwariskan kepada keturunan kita berikutnya. Tulisan yang melukiskan peristiwa saat ini, dan tampaknya sepele, bisa berarti luar biasa beberapa puluh tahun mendatang.

Bagaimana dengan upah menulis di daerah?. "Upahku adalah kalau aku bisa menulis". Karena menulis membuatku bahagia, menulis itu rasanya rame, plong, menulis itu membuat saya sehat!

Menulis di daerah, belum mampu mendukung kehidupan saya, tetapi justru karena itu sambil menulis saya harus mencari sumber pendapatan yang lain, supaya saya tetap bisa menulis.
Mari, teman-temanku semua!.

Kalau Anda ingin mencapai sesuatu, jangan pernah katakan "aku cuma", tetapi, katakanlah "justru karena".

Jangan merasa terusik, tetapi bersyukurlah atas ejekan orang atas apa yang Anda pilih, apapun hasil pilihan Anda. Pembaca artikel, atau karya Anda adalah raja, dan berhak mengejek Anda. Anda bisa besar karena mereka, dan mereka adalah penjaga Roh.

Tentu, tidak sedikit yang memberi kritik, saran, mendukung secara moral dan mengapresiasi pilihan saya. Terima kasih yang tak terhingga bagi teman-temanku semua.

Semua pilihan pekerjaan, pilihan hidup akan mendatangkan kebahagiaan, kalau dengan pilihan itu Anda bisa membuat orang lain bahagia.

Sekali lagi, :"Jangan pernah berkata: Aku cuma.....tetapi katakanlah justru karena........". Selamat malam! Medan, 8 Januari 2016. (St Jannerson Girsang)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments