Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak |
Oleh : Drs Rikanson Jutamardi Purba, Ak
BERITASIMALUNGUN.COM-Saat mengaso di pinggir lembah, seorang petani perjaka tua menemukan seekor ikan emas. Tiba-tiba, ikan emas itu menjelma menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Si gadis hanya mau dinikahi, asal si laki-laki tak akan pernah menceritakan asal-usulnya.
Seperti biasa, putra mereka bertugas mengantar bekal makanan si ayah ke ladang. Matahari terik. Makanan tak kunjung datang. Perut melilit perih.
Panorama Danau Toba dipandang dari Puncak Salbe, Simalungun. Foto Minggi 3 Jan 2016. Asenk Lee Saragih. |
Danau Toba di Haranggaol yang dipenuhikaramba jaring apung (KJA).Foto Asenk Lee Saragih |
Si ayah pulang ke kampung dengan gontai, menyusul bekal makanannya. Di tengah jalan, dia berjumpa putranya yang asyik menghabiskan jatah makanan untuknya.
“Kurang ajar, dasar anak ikan emas…!” Telinga batin si ibu mendengar umpatan itu. Air matanya menganak sungai, mengaliri lembah. Perlahan-lahan, tubuhnya berubah kembali menjadi ikan emas, lalu dia
loncat ke dalam air lembah yang meninggi. Jadilah Danau Toba.
DANAU Toba adalah anugerah Tuhan yang luarbiasa. Terbentuk dari
sebuah erupsi vulkanik mahadahsyat lebih daripada 70.000 tahun yang
lalu. Abu vulkaniknya bahkan mencapai Kutub Utara dan menyebar ke
sekitar 2.100 titik di permukaan bumi.
Erupsi tersebut menyisakan sebuah
kaldera yang kemudian digenangi air hingga levelnya saat ini. Pulau
Samosir yang muncul di tengahnya adalah akibat tekanan magma yang belum
keluar.
Danau Toba menjadi destinasi wisata andalan Sumatera Utara. Dalam
beberapa dekade terdahulu, danau ini menghidupi masyarakat yang tinggal
di pulau Samosir dan di beberapa daerah pesisir pantainya dari sektor
pariwisata.
Tapi sejak sekitar dua dekade terakhir, penghidupan
masyarakat dari sektor pariwisata merosot. Sebagian masyarakat beralih
menjadi peternak ikan karamba jaring apung (KJA) di danau yang luasnya
sekitar 1.130 kilometer persegi itu. Muncullah sumber penghidupan
alternatif yang lumayan, namun akibatnya, danau menjadi tercemar oleh
limbah pakan ikan.
Tadinya, pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan tujuh kabupaten yang
beririsan dengan Danau Toba (Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara,
Simalungun, Karo, dan Dairi) telah berupaya meningkatkan kunjungan
wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman), dengan upaya
menambah penerbangan langsung dari luar negeri ke bandara Polonia
(sekarang ke bandara Kualanamu), namun realitasnya jumlah wisman tidak
meningkat signifikan. Selain itu, kalaupun datang ke Danau Toba, length
of stay-nya pun ternyata sangat singkat.
Ada beberapa faktor penyebab utamanya. Pertama, kondisi infrastruktur
untuk mengakses Danau Toba kurang memadai. Dibutuhkan waktu 4-5 jam
berkendaraan dari Medan untuk tiba di Danau Toba, dalam hal ini Parapat.
Dari Parapat butuh kira-kira 1 jam lagi untuk sampai di pulau Samosir.
Satu lagi, infrastruktur listrik sangat tidak memadai. Kawasan ini
sering mengalami pemadaman arus listrik.
Kedua, masalah kultural. Kultur masyarakat di pulau Samosir dan tujuh
daerah seputaran Danau Toba umumnya belum kultur pelayan, melainkan
“kultur raja” yang serba ingin dilayani. Ini berbeda 180 derajat dengan
kultur masyarakat Bali yang sangat welcoming terhadap wisatawan.
Jika
pelanggan adalah raja, maka wisatawan-wisatawan tersebut selayaknya
diperlakukan sebagai raja, agar mereka rajin datang kembali dan tinggal
berlama-lama. Tapi yang terjadi justru masyarakat tidak siap sedia
melayani para “raja” itu.
Ketiga, selain kurangnya rasa ingin melayani, wisman dan/atau wisdom
(wisatawan domestik) sering menjadi korban penipuan. Cerita tentang
wisatawan yang membeli mangga cengkir di Parapat itu bukanlah isapan
jempol.
Ketika si wisatawan memilih-milih buah mangga yang akan dibeli,
tampak olehnya buah yang serba bagus dan segar. Tapi setelah dibungkus
dan dibawa pergi, si wisatawan kaget menghadapi kenyataan bahwa
mangganya telah ditukar dengan yang lebih jelek atau busuk.
Atau cerita
tentang billing restoran. Pengunjung restoran sering dibuat
terkaget-kaget oleh total billing yang menurut hemat mereka sangat tidak
sepadan terhadap makanan dan minuman yang mereka nikmati.
Keempat, upaya-upaya perbaikan sektor pariwisata Danau Toba selama
ini juga menjadi tidak optimal, karena ada tujuh daerah (kabupaten) yang
membawa visi, misi, dan program masing-masing sesuai cara pandang dan
kebutuhannya.
Tak dapat dimungkiri, ego kedaerahan muncul. Belum lagi
ketidaksinkronan dengan visi, misi, dan program provinsi Sumatera Utara
serta pemerintah pusat.
Untuk menyikapi kondisi objektif ini, pemerintah pusat (melalui
Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Sumberdaya) menggagas Danau
Toba menjadi Monaco of Asia (“Monako”-nya Asia).
Langkah cepat sudah
langsung kelihatan. Menteri Koordinator Bidang Maritim (Rizal Ramli)
memimpin rapat koordinasi dengan Menkopolhukam (Luhut Binsar
Panjaitan), Menteri Pariwisata (Arif Yahya), Menteri PU dan Perumahan
Rakyat (Basuki Hadimuljono), dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Siti Nurbaya) di Institut Teknologi DEL, desa Sitoluama, Toba Samosir,
Sabtu (09/01).
Hasilnya, dalam waktu dekat akan dikeluarkan Perpres
pembentukan Badan Otoritas Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba,
sehingga pengembangan pariwisata ini kelak melalui satu pintu, agar
rebutan peran antardaerah dapat diminimalisir.
Presiden Jokowi pun telah memerintahkan percepatan pembangunan jalan
tol Medan – Kualanamu dan Kualanamu – Parapat (via Tebing Tinggi?) agar
bisa operasional tahun 2018.
Selain itu, program listrik 35.000 KwH
memungkinkan Sumatera Utara tidak mengalami pemadaman arus listrik lagi,
yang selama ini telah mengganggu produksi, kenyamanan masyarakat, dan
bahkan merugikan masyarakat karena alat-alat elektroniknya menjadi
rusak. Kemudian program pelebaran, peningkatan kualitas, dan
pemanjangan runway bandara Silangit.
Salah satu sudut Danau Toba. Tampak di latar kiri depan karamba
jaring apung (KJA) yang menjadi sumber pendapatan alternatif masyarakat
sekitarnya. Sumber: vendable.net.
Masyarakat tak menginginkan Monaco of Asia?
GAGASAN pemerintah menjadikan Danau Toba menjadi “Monako”-nya Asia
dan langkah-langkah yang langsung ditempuh, pantas kiranya diapresiasi.
Tapi jika masukan dari komponen masyarakat yang tergabung dalam Walhi
Sumut; Perhimpunan Bantuan Hukum Sumatera Utara (Bakumsu); Kelompok
Studi Pemberdayaan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM); Yayasan Keadilan,
Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace, and Integrity of
Creation/JPIC) Kapusin Medan; dan Jendela Toba, yang intinya agar
pembangunan kawasan Danau Toba mengakomodasi kebudayaan, potensi, dan
kearifan lokal tidak diperhatikan pemerintah, maka dikhawatirkan
pembangunan tidak akan berjalan efektif.
Komponen masyarakat tersebut juga menyatakan bahwa sebelum program
dilaksanakan oleh BOPKP Danau Toba, ada baiknya yang pertama dilakukan
adalah pemulihan kawasan Danau Toba. Hal ini telah disuarakan
berpuluh-puluh tahun. Kemudian mencegah tumpang tindih pengelolaan,
karena telah terbentuk Badan Pengelola Geopark Danau Toba sebagai bagian
dari jaringan geopark UNESCO.
Hemat Penulis, pengalihan sumber mata pencaharian masyarakat dari
pertanian dan peternakan ikan (KJA) secara sekonyong-konyong akan
menjadikan pelaksanaan program terkendala.
Penghentian izin perusahaan
dan masyarakat untuk ber-KJA seyogianya diawali dengan zoning (zonasi)
antara area pariwisata dan KJA sembari menguatkan penegakan hukum
terhadap beberapa korporasi yang selama ini berusaha di seputar Danau
Toba.
Jika masyarakat tak memenuhi ketentuan-ketentuan zonasi dan
korporasi tidak mengelola limbahnya dengan baik, maka pemerintah
(daerah) sudah punya dasar yang jelas untuk menutup kegiatan/usaha
masyarakat dan korporasi tersebut. Barulah kemudian secara bertahap
masyarakat lebih banyak terlibat dalam usaha pariwisata ini.
Jika tahapan-tahapan ini diabaikan, secara objektif, masyarakat bisa
saja merasa bukan subjek pembangunan kawasan Danau Toba, melainkan
sebagai objek dari kapitalis-kapitalis yang berinvestasi di kawasan ini
dan menggusur kehidupan, kebudayaan, dan kearifan lokal yang sudah
dilakoni dari generasi ke generasi.
Ketika kehidupannya terganggu dan tercerabut dari akar budayanya,
masyarakat bisa saja menarik garis diametral terhadap pihak pemerintah
dan “memakan” gagasan pengembangan kawasan Danau Toba yang sebenarnya
sangat bagus. Dan legenda di atas akhirnya jadi kenyataan.
(Penulis adalah Penggagas KoRaSSS-Koalisi Rakyat untuk Siantar-Simalungun Sejahtera)
0 Comments