Oleh Pdt Defri Judika Purba STh |
BERITASIMALUNGUN.COM-Beberapa hari yang lalu, kami
berkunjung ke rumah jemaat. Jemaat tersebut sedang dalam pergumulan
yang sangat serius. Anak semata wayang mereka satu bulan terakhir ini
sudah dan sedang di rawat di rumah sakit. Bermula dari sebuah keluhan di
kepala, keluarga akhirnya membawa anak mereka ke salah satu rumah sakit
swasta di Pematang Siantar.
Satu minggu opname, tidak ada perkembangan
yang serius, akhirnya mereka membawa anak mereka ke medan, ke salah satu
rumah sakit swasta ternama.
Kenapa mereka memilih rumah sakit swasta?
Apakah rujukan ke rumah sakit pemerintah tidak lebih baik demi alasan
biaya? Melihat kondisi anak yang labil sepertinya pilihan membawa ke
rumah sakit swasta lebih bijaksana dibanding ruamh sakit milik
pemerintah, yang sampai saat ini sepertinya pelayanannya masih setengah
hati.
Setelah melalui pemeriksaan yang intensif dan marathon,
akhirnya team dokter mendiagnosa anak mereka mengalami gangguan
penyumbatan di sekitar tengkorak kepala.
Mungkin pernah terbentur waktu
kecil, tidaklah diketahui secara pasti. Yang pasti menurut team dokter,
si anak harus dioperasi tengkorak kepalanya untuk melancarkan
penyumbatan. Tentu hasil diagnosa dokter membuat keluarga sangat
terkejut.
Ibarat petir di siang bolong, mendengarnya. Pilihan, resiko,
dan tindakan medis yang akan diambil dokter tentu dikonsultasikan kepada
keluarga. keluargalah yang membuat keputusan, apa yang terbaik. Berada
pada situasi yang sulit ini, apalagi keluarga tersebut masih awam dalam
kesehatan, tentu dapat dipahami begitu kalut, bingung, dan takutnya
keluarga.
Bagaimana nanti kalau operasi gagal? Apakah dampak operasi
pada si anak? Apakah nanti anak kami setelah operasi akan tetap seperti
sedia kala? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, belum lagi masalah
biaya yang pasti sangat mahal.
Setelah melalui pergumulan yang
panjang, akhirnya pihak keluarga setuju akan semua tindakan dan resiko
yang akan terjadi. si anak akhirnya melalui proses operasi. Menurut
keluarga, beberapa selang di pasang di bagian tengkorak kepala dan
beberapa bagian tubuh lainnya.
Operasi berjalan dengan baik. Keluarga
tersebut pun sudah keluar dari rumah sakit dan sekarang sedang di rumah
keluarga, di Medan. Mereka harus kontrol dan check up paling sedikit
selama enam bulan ini.
Dari anjuran dan saran dokter, dapat dipastikan
anak mereka tidak akan dapat lagi mengikuti sekolahnya. Saat ini, anak
mereka sedang duduk di kelas dua di salah satu SMA Negeri di pematang
siantar.
Dari latar belakang kejadian itulah, dapat dipahami
betapa sangat kalut dan takutnya keluarga akan kondisi anak mereka.
Beberapa hari yang lalu, karena satu dan dua urusan, orang tua (ibu)
menyempatkan pulang sebentar ke rumah, setelah hampir satu bulan
ditinggalkan.
Mengetahui informasi tersebut banyak orang sekampung yang
datang berkunjung, termasuk kami. Pertama sampai, raut wajah kesedihan
begitu jelas terlihat di wajah beliau. Tubuhnya semakin kurus, matanya
sembab menahan tangis.
Ada sedikit bengkak yang menggantung di sekitar
pelupuk mata, mungkin akibat menangis setiap malam. Yang berkunjung
datang silih berganti.
Dari semua tamu yang berkunjung, semua
berusaha menghibur beliau. Saya hanya mendengar cerita mereka dengan
seksama. Dari semua mereka yang datang menghibur, ada dua orang yang
betul-betul saya simak mendengarnya.
Penghiburan yang pertama
datang dari salah seorang bapak, yang menceritakan bagaimana dia dulu
menjaga, berjuang dan berusaha untuk kesembuhan istrinya.
Dia bercerita,
akibat penyakit kanker payudara yang diderita istrinya, hal pertama
yang ada di dalam pikiran adalah, kapankah saya akan berpisah dengan
istri saya ini. Ini menjadi penekanan ceritanya, karena, tidak dapat
dipungkiri dalam situasi yang demikian pikiran buruk pasti terlintas.
Beliau melanjutkan ceritanya, bagaimana dulu keluarga membawa kesana
kemari istri yang dia cintai untuk berobat. Telinga cepat mendengar
(tinggil) kemana tempat untuk berobat. Semua tempat yang diberitahu oleh
sahabat dan kerabat mereka datangi.
Hanya satu keinginan: istrinya
haruslah sembuh. Di dalam proses dan situasi demikian, satu yang
menghantui pikirannya adalah, kapankah ini akan berakhir? Dua hari
lagikah? Satu minggu lagikah? Atau hari ini?
Ketidakpastian tersebut
betul-betul menyiksa raga dan bathin. Satu bagian cerita yang menyentuh
dari cerita beliau adalah ketika istrinya mengingatkan kepada dia apakah
sudah ada baju baru untuk dipakai anak-anak mereka untuk merayakan
natal?
Padahal saat itu kondisinya sudah sangat mengenaskan di rumah
sakit. Saya sangat terharu dan hampir menangis mendengarnya.
Membayangkan kasih seorang ibu kepada anak dalam kondisi demikian,
sungguh membuat pesan yang sangat dalam.
Tetapi akhirnya, beliau
melanjutkan cerita; apa yang dia takutkan itulah yang terjadi. istri
yang dia sayangi akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Itu pun tanpa
kehadirannya. Permisi sebentar ke ladang mengambil sesuatu, saat itulah
istrinya pergi.
Penghiburan yang kedua datang dari seorang
wanita paruh baya. Usianya hampir mencapai lima puluh tahun. Beliau
menghibur dengan memaparkan bagaimana sakit, pedih, dan bergumulnya
beliau akan kondisi hidupnya.
Beliau dilahirkan normal pada mulanya.
Tetapi seiring bertambahnya usia, anggota tubuhnya (kaki) makin lama
makin mengecil. Tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. berobat kesana
kemari pun tidak ada artinya.
Karena kondisi demikian orangtuanya
kewalahan untuk membawa dia ke sekolah dan akhirnya beliau memilih untuk
tidak ke sekolah. Untuk bisa menyadari dan menerima apa yang terjadi
padanya bukanlah perkara yang mudah.
Sering beliau marah, putus asa,
menangis dan bertanya kepada Tuhan kenapa itu harus terjadi padanya.
Kalau beliau membayangkan bagaimana teman-temannya dahulu bersekolah,
air matanya tidak bisa ditahannya.
Semua cita-cita hanya menjadi
angan-angan yang menyakitkan untuk di ingat. Cita-citanya hanya berhenti
menyentuh atap dan dinding rumahnya.
Mendengar penuturan
beliau, hati ini pun kembali tergetar haru. Betapa tidak. Apa yang
disampaikan beliau benar adanya. Saya sering melihat beliau berjalan ke
gereja dengan topangan kedua tangannya. Lutut kakinya langsung menyentuh
tanah.
Jarak gereja ke rumah mereka memang tidak jauh. Tapi jalannya
sedikit menanjak dan penuh batu-batu kecil dan sedang. Bisa dibayangkan
lutut beliau pasti semakin menebal, berwarna hitam dan mengeras.
Di lain
kesempatan, saya melihat beliau merangkak di gelapnya malam ketika
menghadiri ibadah rumah tangga. Beliau juga sering memilih langsung
pulang kalau ada perjamuan kudus di gereja. Ada rasa malu dan minder
menyeruak ke dalam hatinya.
Dulu dia masih sanggup menerima pandangan
semua orang. Seiring bertambahnya usia, rasa percaya dirinya semakin
tergerus. Memilih untuk tidak menikah adalah pilihan hidupnya yang
teramat sakit.
Dari dua penghiburan yang diterima, saya melihat
si ibu yang sedang bergumul dengan kondisi anaknya dapat sedikit
tersenyum. Wajahnya tidak lagi semurung pertama kami datang. Sesekali
beliau menimpali pembicaraan,ketika ada yang bertannya.
Dari situasi di atas, saya merenung beberapa hal yang sangat penting; Pertama; kita adalah bagian dari sebuah komunitas. Dan komunitas itu
akan semakin kuat ketika setiap orang yang berada di dalamnya saling
peduli, saling mengingatkan, dan saling mengunjungi.
Komunitas akan
semakin kuat ketika kita semua mengambil peran aktif untuk saling
merawat komunitas dengan cinta kasih. Dan sebaliknya, komunitas akan
hampa, kering dan tidak memiliki daya apa-apa kalau setiap orang di
dalamnya bersikap apatis, cuek, dan tidak mau berkorban.
Kedua,
pengalaman pahit yang kita miliki sering kita lupakan. Kita cenderung
berusaha untuk tidak mengingatnya. Pengalaman itu bahkan kita anggap
tidak pernah terjadi di dalam hidup kita.
Padahal dengan berbuat seperti
itu kita akan menolak segala misteri kehidupan ini. adakah kehidupan
ini benar-benar berjalan sesuai dengan semua kehendak kita? apakah semua
keinginan kita dalam kehidupan ini semua tercapai?
Tentu tidak. Dari
kisah nyata di atas saya melihat kedua orang yang menghibur itu telah
berhasil menggunakan lukanya untuk menyembuhkan orang lain. dari semua
orang yang datang menghibur, hanya mereka berdualah yang benar-benar
dapat memberikan penghiburan sejati. Yang lain masih merupakan teori dan
nasihat kosong.
Karena itu, terimalah luka yang pernah terjadi dalam
hidup kita. yakinlah tidak ada luka yang sia-sia di tangan-Nya. Suatu
saat luka itu akan berguna dan menjadi berkat kepada orang lain.
Pelayanan yang besar justru datang dari luka yang besar.
Ketiga,
kehidupan ini sederhana adanya. Apa yang dilihat oleh mata, di dengar
oleh telinga dan dirasakan oleh hati, semuanya itu adalah anugrah yang
diberi Tuhan untuk membuat kita semakin bijaksana.
Setiap kejadian
selalu ada pelajaran hikmahnya. Sekecil apa pun itu. Daun kering yang
jatuh ke tanah pun dapat membuat spiritualitas kita bertumbuh. Jangan
menunggu kejadian besar dalam hidup kita. lihatlah sekeliling kita;
semua adalah sumber inspirasi untuk pertumbuhan rohani kita. (Tambun Raya, 26 Februari 2016.)
0 Comments