Info Terkini

10/recent/ticker-posts

YANG TERLUKA YANG MENYEMBUHKAN

Oleh Pdt Defri Judika Purba STh


BERITASIMALUNGUN.COM-Beberapa hari yang lalu, kami berkunjung ke rumah jemaat. Jemaat tersebut sedang dalam pergumulan yang sangat serius. Anak semata wayang mereka satu bulan terakhir ini sudah dan sedang di rawat di rumah sakit. Bermula dari sebuah keluhan di kepala, keluarga akhirnya membawa anak mereka ke salah satu rumah sakit swasta di Pematang Siantar. 

Satu minggu opname, tidak ada perkembangan yang serius, akhirnya mereka membawa anak mereka ke medan, ke salah satu rumah sakit swasta ternama. 

Kenapa mereka memilih rumah sakit swasta? Apakah rujukan ke rumah sakit pemerintah tidak lebih baik demi alasan biaya? Melihat kondisi anak yang labil sepertinya pilihan membawa ke rumah sakit swasta lebih bijaksana dibanding ruamh sakit milik pemerintah, yang sampai saat ini sepertinya pelayanannya masih setengah hati.

Setelah melalui pemeriksaan yang intensif dan marathon, akhirnya team dokter mendiagnosa anak mereka mengalami gangguan penyumbatan di sekitar tengkorak kepala. 

Mungkin pernah terbentur waktu kecil, tidaklah diketahui secara pasti. Yang pasti menurut team dokter, si anak harus dioperasi tengkorak kepalanya untuk melancarkan penyumbatan. Tentu hasil diagnosa dokter membuat keluarga sangat terkejut. 

Ibarat petir di siang bolong, mendengarnya. Pilihan, resiko, dan tindakan medis yang akan diambil dokter tentu dikonsultasikan kepada keluarga. keluargalah yang membuat keputusan, apa yang terbaik. Berada pada situasi yang sulit ini, apalagi keluarga tersebut masih awam dalam kesehatan, tentu dapat dipahami begitu kalut, bingung, dan takutnya keluarga. 

Bagaimana nanti kalau operasi gagal? Apakah dampak operasi pada si anak? Apakah nanti anak kami setelah operasi akan tetap seperti sedia kala? Begitu banyak pertanyaan yang muncul, belum lagi masalah biaya yang pasti sangat mahal.


Setelah melalui pergumulan yang panjang, akhirnya pihak keluarga setuju akan semua tindakan dan resiko yang akan terjadi. si anak akhirnya melalui proses operasi. Menurut keluarga, beberapa selang di pasang di bagian tengkorak kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya. 

Operasi berjalan dengan baik. Keluarga tersebut pun sudah keluar dari rumah sakit dan sekarang sedang di rumah keluarga, di Medan. Mereka harus kontrol dan check up paling sedikit selama enam bulan ini. 

Dari anjuran dan saran dokter, dapat dipastikan anak mereka tidak akan dapat lagi mengikuti sekolahnya. Saat ini, anak mereka sedang duduk di kelas dua di salah satu SMA Negeri di pematang siantar.

Dari latar belakang kejadian itulah, dapat dipahami betapa sangat kalut dan takutnya keluarga akan kondisi anak mereka. Beberapa hari yang lalu, karena satu dan dua urusan, orang tua (ibu) menyempatkan pulang sebentar ke rumah, setelah hampir satu bulan ditinggalkan. 

Mengetahui informasi tersebut banyak orang sekampung yang datang berkunjung, termasuk kami. Pertama sampai, raut wajah kesedihan begitu jelas terlihat di wajah beliau. Tubuhnya semakin kurus, matanya sembab menahan tangis. 

Ada sedikit bengkak yang menggantung di sekitar pelupuk mata, mungkin akibat menangis setiap malam. Yang berkunjung datang silih berganti.


Dari semua tamu yang berkunjung, semua berusaha menghibur beliau. Saya hanya mendengar cerita mereka dengan seksama. Dari semua mereka yang datang menghibur, ada dua orang yang betul-betul saya simak mendengarnya. 

Penghiburan yang pertama datang dari salah seorang bapak, yang menceritakan bagaimana dia dulu menjaga, berjuang dan berusaha untuk kesembuhan istrinya. 

Dia bercerita, akibat penyakit kanker payudara yang diderita istrinya, hal pertama yang ada di dalam pikiran adalah, kapankah saya akan berpisah dengan istri saya ini. Ini menjadi penekanan ceritanya, karena, tidak dapat dipungkiri dalam situasi yang demikian pikiran buruk pasti terlintas. 

Beliau melanjutkan ceritanya, bagaimana dulu keluarga membawa kesana kemari istri yang dia cintai untuk berobat. Telinga cepat mendengar (tinggil) kemana tempat untuk berobat. Semua tempat yang diberitahu oleh sahabat dan kerabat mereka datangi. 

Hanya satu keinginan: istrinya haruslah sembuh. Di dalam proses dan situasi demikian, satu yang menghantui pikirannya adalah, kapankah ini akan berakhir? Dua hari lagikah? Satu minggu lagikah? Atau hari ini? 

Ketidakpastian tersebut betul-betul menyiksa raga dan bathin. Satu bagian cerita yang menyentuh dari cerita beliau adalah ketika istrinya mengingatkan kepada dia apakah sudah ada baju baru untuk dipakai anak-anak mereka untuk merayakan natal? 

Padahal saat itu kondisinya sudah sangat mengenaskan di rumah sakit. Saya sangat terharu dan hampir menangis mendengarnya. Membayangkan kasih seorang ibu kepada anak dalam kondisi demikian, sungguh membuat pesan yang sangat dalam.

Tetapi akhirnya, beliau melanjutkan cerita; apa yang dia takutkan itulah yang terjadi. istri yang dia sayangi akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Itu pun tanpa kehadirannya. Permisi sebentar ke ladang mengambil sesuatu, saat itulah istrinya pergi.


Penghiburan yang kedua datang dari seorang wanita paruh baya. Usianya hampir mencapai lima puluh tahun. Beliau menghibur dengan memaparkan bagaimana sakit, pedih, dan bergumulnya beliau akan kondisi hidupnya. 

Beliau dilahirkan normal pada mulanya. Tetapi seiring bertambahnya usia, anggota tubuhnya (kaki) makin lama makin mengecil. Tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. berobat kesana kemari pun tidak ada artinya. 

Karena kondisi demikian orangtuanya kewalahan untuk membawa dia ke sekolah dan akhirnya beliau memilih untuk tidak ke sekolah. Untuk bisa menyadari dan menerima apa yang terjadi padanya bukanlah perkara yang mudah. 

Sering beliau marah, putus asa, menangis dan bertanya kepada Tuhan kenapa itu harus terjadi padanya. Kalau beliau membayangkan bagaimana teman-temannya dahulu bersekolah, air matanya tidak bisa ditahannya. 

Semua cita-cita hanya menjadi angan-angan yang menyakitkan untuk di ingat. Cita-citanya hanya berhenti menyentuh atap dan dinding rumahnya.

Mendengar penuturan beliau, hati ini pun kembali tergetar haru. Betapa tidak. Apa yang disampaikan beliau benar adanya. Saya sering melihat beliau berjalan ke gereja dengan topangan kedua tangannya. Lutut kakinya langsung menyentuh tanah. 

Jarak gereja ke rumah mereka memang tidak jauh. Tapi jalannya sedikit menanjak dan penuh batu-batu kecil dan sedang. Bisa dibayangkan lutut beliau pasti semakin menebal, berwarna hitam dan mengeras. 

Di lain kesempatan, saya melihat beliau merangkak di gelapnya malam ketika menghadiri ibadah rumah tangga. Beliau juga sering memilih langsung pulang kalau ada perjamuan kudus di gereja. Ada rasa malu dan minder menyeruak ke dalam hatinya. 

Dulu dia masih sanggup menerima pandangan semua orang. Seiring bertambahnya usia, rasa percaya dirinya semakin tergerus. Memilih untuk tidak menikah adalah pilihan hidupnya yang teramat sakit.

Dari dua penghiburan yang diterima, saya melihat si ibu yang sedang bergumul dengan kondisi anaknya dapat sedikit tersenyum. Wajahnya tidak lagi semurung pertama kami datang. Sesekali beliau menimpali pembicaraan,ketika ada yang bertannya.


Dari situasi di atas, saya merenung beberapa hal yang sangat penting; Pertama; kita adalah bagian dari sebuah komunitas. Dan komunitas itu akan semakin kuat ketika setiap orang yang berada di dalamnya saling peduli, saling mengingatkan, dan saling mengunjungi. 

Komunitas akan semakin kuat ketika kita semua mengambil peran aktif untuk saling merawat komunitas dengan cinta kasih. Dan sebaliknya, komunitas akan hampa, kering dan tidak memiliki daya apa-apa kalau setiap orang di dalamnya bersikap apatis, cuek, dan tidak mau berkorban.



Kedua, pengalaman pahit yang kita miliki sering kita lupakan. Kita cenderung berusaha untuk tidak mengingatnya. Pengalaman itu bahkan kita anggap tidak pernah terjadi di dalam hidup kita. 

Padahal dengan berbuat seperti itu kita akan menolak segala misteri kehidupan ini. adakah kehidupan ini benar-benar berjalan sesuai dengan semua kehendak kita? apakah semua keinginan kita dalam kehidupan ini semua tercapai? 

Tentu tidak. Dari kisah nyata di atas saya melihat kedua orang yang menghibur itu telah berhasil menggunakan lukanya untuk menyembuhkan orang lain. dari semua orang yang datang menghibur, hanya mereka berdualah yang benar-benar dapat memberikan penghiburan sejati. Yang lain masih merupakan teori dan nasihat kosong. 

Karena itu, terimalah luka yang pernah terjadi dalam hidup kita. yakinlah tidak ada luka yang sia-sia di tangan-Nya. Suatu saat luka itu akan berguna dan menjadi berkat kepada orang lain. Pelayanan yang besar justru datang dari luka yang besar.

Ketiga, kehidupan ini sederhana adanya. Apa yang dilihat oleh mata, di dengar oleh telinga dan dirasakan oleh hati, semuanya itu adalah anugrah yang diberi Tuhan untuk membuat kita semakin bijaksana. 

Setiap kejadian selalu ada pelajaran hikmahnya. Sekecil apa pun itu. Daun kering yang jatuh ke tanah pun dapat membuat spiritualitas kita bertumbuh. Jangan menunggu kejadian besar dalam hidup kita. lihatlah sekeliling kita; semua adalah sumber inspirasi untuk pertumbuhan rohani kita. (Tambun Raya, 26 Februari 2016.)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments