Kecewa! Kecewa! Ternyata bapak Jokowi tidak mengunjungi satu tempat pun di Parapat.
Rencananya beliau akan mengunjungi Istana Presiden Bung Karno. Beliau
sudah pulang ke Medan, hanya singgah sebentar di hotel Niagara. Padahal
rakyat Parapat sudah siap menyambut termasuk patung Sigale2 ini. Yang
kek mananya protokoler beliau?. Foto Ist Sarido Ambarita.
(Dalam rangka kunjungan ke Parapat Danau Toba) |
Horas!
Sebagai "wong cilik". saya tidak punya kapabilitas untuk bisa bertemu
dengan bapak. Oleh karena itulah saya menulis surat terbuka ini, dengan
harapan bisa terbaca bapak atau pun staf.
Yang mulia tuan presiden,
Hingga saat ini saya masih merasakan betapa masih kuatnya akar
feodalisme yang ditinggalkan kolonialis Belanda ke dalam tubuh para
pejabat kita di negeri tercinta ini.
Sense of belongs semacam ini
terlihat manakala agenda kunjungan kerja bapak salah satunya mengunjungi
kota kami Parapat tercinta. Perlu saya jelaskan sejenak, bahwa kota
Parapat yang dikenal sebagai kota pariwisata, selama ini sudah mengalami
keterpurukan.
Keadaan ini mulai terjadi ketika negeri kita mengalami
krisis moneter dan ditambah berbagai peristiwa lain seperti teroris dan
pembakaran hutan yang mengancam keselamatan dunia penerbangan.
Singkat cerita, pariwisata Parapat seperti berjalan tanpa arah. Ibarat
biduk tanpa nahkoda. Tentu bisa ditebak apa nasibnya. Terombang-ambing
diterpa gelombang.
Keadaan ini makin memprihatinkan dimana
pemerintah seolah menutup sebelah mata dan membiarkan Parapat berjalan
sendiri tanpa arah yang jelas. Kondisi ini semakin parah di mana
masyarakat sudah mulai ikut pula mengambil sikap tidak perduli.
Di
tengah kondisi inilah Parapat sudah tak makin layak lagi menyandang
predikatnya sebagai kota Pariwisata-padahal dulu, hingga dekade 1980-an
merupakan Pintu Gerbang Pariwisata Danau Toba dan masa booming
pariwisata.
Jika tuan Presiden diam-diam datang berkunjung ke
Parapat, barangkali tuan akan meneteskan air mata melihat kondisinya.
Jelas akan berbeda dengan kapasitas tuan yang datang dan diatur
protokelar negara.
Maka itulah Parapat seketika berubah wajah. Sarana
jalan yang selama lima tahun ini berlobang-lobang, kupak-kapik di
sana-sini, tiba-tiba saja mulus. Sampah yang menimbulkan aroma tak sedap
membuat udara Parapat seperti mendapat semprotan minyak wangi sekelas
guci. Bangunan yang mengganggu pemandangan segera ditertibkan.
Amboi...wajah Parapat nan cantik rupawan seperti terlihat kembali.
Hebat! Ternyata pesulap hebat bukan David Corferfield atau Dedy
Corbuzier dan Limbat di negeri kita. Tapi justru pejabat daerah yang
bisa menyulap wajah Parapat bisa menjadi "cantik" seketika. Luar biasa.
Inilah barangkali bagian dari ajaran mental feodalis yang saya maksud di
atas tadi. Bukan revolusi mental.
Jika memang harus begini maka kami
sangat berharap tuan Presiden bisa mengunjungi kota kami dua kali
setahun. Tapi kami sadar, yang mulia banyak tugas yang lain lagi
mengurus negeri gemah ripah loh jinawe ini. Masih banyak yang harus tuan
kunjungi, dari Sabang hingga Merauke.
Yang Mulia Tuan Presiden,
Kami mendengar bahwa tuan punya dua agenda kegiatan di Parapat.
Pertama, mengunjungi Psanggarahan istana Presiden Marihat yang dikenal
sebagai tempat tawanan Bung Karno. Kedua, meninjau pembangunan pekan
tigaraja.
Baiklah, saya akan bercerita sekilas tentang gedung
bersejarah itu, yang saya peroleh dari para orangtua terdahulu. Banyak
yang beranggapan bahwa gedung tersebut adalah peninggalan kolonial
Belanda. Memang, sejak awal tahun 1900 Belanda sudah masuk ke Parapat
dan mendirikan tangsi atau pos militer di hotel Inna Parapat sekarang.
Patut ditelusuri lagi bahwa gedung itu adalah milik seorang annemer
perkebunan di Marihat (Siantar) berkebangsaan Jerman. Pada masanya,
hampir setiap minggu ia liburan membawa keluarganya ke Parapat. Karena
itulah ia berniat membangun rumah sebagai tempat plesiran.
Karena itu
pula ia menyebut kawasan itu dengan nama Marihat. Tapi setelah
pendudukan Jepang, sang annemer tersebut pulang ke negerinya. Dan
setelah Belanda berkuasa kembali, gedung-gedung peninggalan diambil alih
kembali oleh Belanda.
Tahun 1948, bung Karno ditawan di gedung ini.
Tak lama memang, hanya sekitar tiga bulan. Tentunya beliau banyak
meninggalkan benda-benda bersejarah. Mulai dari ranjang, lemari, rak
buku dan lain sebagainya. Tapi saat ini isinya sudah tak utuh lagi.
Raib
entah kemana. Kini hanya tinggal kapstok atau tempat menggantungkan
topi atau jas. Bahkan beberapa bentuk bangunan sudah direhab dan
meninggalkan bentuk aslinya.
Terbetik pula kabar, entah beredar dari
mana, bahwa kedatangan tuan Presiden akan melanjutkan pembangunan
monumen Patung Bung Karno yang dicanangkan sewaktu pemerintahan ibu
Megawati. Melihat maketnya, secara pribadi, saya kurang setuju jika
tempat tersebut jadi lokasinya.
Mengapa? Hemat saya, ini akan semakin
meninggalkan wajah sejarahnya. Kalau pun dibuatkan patung, tidak akan
terlihat dari berbagai penjuru. Belum lagi konstruksi air yang belum
begitu kita kuasai.
Nah, saya hanya bisa menganjurkan jika sebaiknya
monumen tersebut dibangun di atas bukit Dolok Siboru Manggohi atau bukit
di atas gedung confrensi hall. Selain lebih tinggi, areal tersebut juga
jauh lebih luas.
Yang kedua, kami mendengar bahwa tuan Presiden akan meninjau pekan Tigaraja yang pembangunannya terkesan amburadul.
Pekan tersebut sudah lama berdiri dan merupakan pasar tradisional.
Tigaraja sesungguhnya adalah padanan kata Tiga dan Raja. Dalam bahasa
Batak, tiga artinya pajak atau pekan. Raja sama dengan bahasa Melayu.
Menurut cerita para orangtua, awalnya pekan tersebut menjadi Tigaraja
adalah disebabkan seringnya para raja-raja di seputar Danau Toba maronan
atau berbelanja. Kesempatan itu pun dijadikan para raja tersebut ubtuk
bertemu. Bahkan Raja Sisingamaraja XII dari desa Bakkara datang bersama
pasukannya dengan mengayuh Solu Bolon atau perahu tradisionil terbesar
di Danau Toba.
Seiring waktu berjalan, pasar tradisional itu
berkembang dan tak hanya di bangunan lama lagi. Tapi makin meluas hingga
ke luar bangunan. Makin menarik.
Sebab, pengunjungnya tak hanya
masyarakat Parapat dan sekitarnya tapi juga dari luar daerah seperti
penduduk Pulau Samosir dan Balige.
Seiring Parapat kota wisata, ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan khususnya mancanegara.
Namanya pasar tradisional, ada semraut memang. Tapi ini justru daya
tarik.
Macetnya jalan yang kesimpulannya diakibatkan oleh
kesemrautan para pedagang membuat pemerintah merenovasi pasar tersebut
dengan bangunan modren. Secara pribadi sesungguhnya saya kurang setuju
karena ini jelas menghilangkan satu asset pariwisata. Apakah pasar
modren menarik minat wisatawan yang justru di negerinya jauh lebih
hebat?
Kita jangan hanya menilai sisi ekonomis semata tapi juga budaya
dan sebagainya. Soal macet sebetulnya bisa diatasi bila kita tegas. Tapi
sudahlah, semoga pasar tersebut bisa menjadikan Parapat semakin maju
dari sisi ekonomis. Saya hanya sekedar mengingatkan agar master plan
kota Parapat bisa lebih baik dan terarah ke depan.
Tuan Presiden Yang Mulia,
Masih banyak sebetulnya yang ingin saya sampaikan. Tapi cukup di
sinilah curhat saya ini bisa saya sampaikan. Dan segala kekurangannya
mohon maaf. Semoga kiranya tuan Presiden bisa membaca keluhan hati kami
warga wong cilik ini. Terima kasih, mauliate, salam Horas Danau Toba. (Penulis Sarido Ambarita/Pemerhati Kebijakan Publik dan Lingkungan di Parapat)
0 Comments