Seorang Ibu Menikmati Becak Siantar, Selasa (26/4/2016). IST FB |
Oleh : Irwan Susanto Purba, ST (Sekjen DPP HIMAPSI)
BERITASIMALUNGUN.COM-Kota
Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun adalah dua daerah yang sangat
berhubungan erat, selain letak geografisnya yang berhubungan langsung dimana
Kota Pematangsiantar dikelilingi oleh Kabupaten Simalungun, dari Sejarah kita
juga dapat melihat bahwa Kota Pematangsiantar dulunya adalah bagian dari Kabupaten
Simalungun sebelum dipisahkan dan dibentuknya Kotamadya/Pemko Pematangsiantar
yang memiliki kewenangan sendiri dalam mengelola sistem pemerintahannya.
Dari
sisi penduduk Kota Pematangsiantar mayoritas etnis Simalungun yang terlihat dari peninggalan - peninggalan Sejarah dari zaman Kerajaan Siantar
yang menguasai daerah ini yaitu bermarga Damanik, Raja terakhir bergelar Tuan
Sang Nawaluh Damanik.
Setelah
Indonesia merdeka Pematangsiantar terus berkembang menjadi sebuah kota yang
menjadikannya kota terbesar kedua di Sumatera Utara setelah Kota Medan.
Penduduk Kota Pematangsiantar juga terdiri dari berbagai suku dan agama sesuai
dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia,
Walikotanya juga silih berganti. Pematangsiantar memiliki motto “Sapangambei
manoktok hitei” (bersama – sama membuat jembatan) atau dapat diartikan bergotong
royong dalam pembangunan.
Istilah ini adalah warisan dari leluhur yang sudah
terbiasa bergotong royong dalam suatu pekerjaan/pembangunan. Dalam pembangunan
pemerintah harus bahu membahu bersama masyarakat.
Pembangunan di Kota
Pematangsiantar harus memperhatikan kearifan lokal yang menjadi ruh atau
identitas dari suatu masyarakat, kearifan lokal tidak hanya sebatas simbol –
simbol, termasuk juga perilaku, tabiat, pengetahuan
dan kebijakan di suatu daerah, setiap daerah pasti memiliki kearifan lokal yang
berbeda.
Kearifan lokal juga dapat bersifat dinamis sesuai dengan zaman tanpa
mengurangi nilai – nilai yang terkandung di dalamnya. Walaupun terkesan lambat tetapi
kita tetap harus optimis menjadikan Pematangsiantar lebih maju dan berbudaya.
Pematangsiantar
belum bisa dikatakan Kota Seni Budaya seperti Solo, Yogyakarta, karena
kebudayaan asli Pematangsiantar lambat laun telah terpinggirkan.
Kearifan lokal
tidak dijalankan secara konsisten, padahal kearifan lokal dijamin oleh undang –
undang. Hendaknya siapapun Walikota dan penduduknya haruslah memperhatikan
kearifan lokal seperti sebuah pepatah yang sudah sering kita dengar “Dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung”.
Identitas Simalungun harus ditonjolkan tanpa mengesampingkan
etnis lain, sehingga tidak hanya
terlihat ketika perayaan ulang tahun kota saja. Ini terlihat dari bangunan –
bangunan bersejarah telah banyak beralih fungsi bahkan dirombak, Ornamen –
ornamen Simalungun sebagai penduduk asli tidak begitu kelihatan, apalagi Bahasa
Simalungun, pembangunan Tugu Sang Nawaluh Damanik sebagai Ikon Kota yang sudah
lama dirancang tak kunjung terealisasi dengan berbagai macam alasan.
Pematangsiantar belum bisa dikatakan Kota
Wisata seperti Yogyakarta, Denpasar, karena potensi – potensi wisata tidak
pernah digali dan dikembangkan secara konsisten, begitu juga dengan sumber daya
manusianya. Orang hanya mengetahui Taman Hewan Pematangsiantar.
Pematangsiantar
belum bisa dikatakan Kota Pendidikan seperti Bandung, Yogyakarta yang memiliki
banyak tempat pendidikan berkualitas yang menjadi magnet untuk pelajar dari
seluruh Indonesia datang dan mencari Ilmu.
Pematangsiantar
belum bisa dikatakan Kota Industri seperti Batam, ini terlihat bahwa
industri/pabrik hanya ada hitungan jari. Warga Pematangsiatar banyak yang merantau
mencari kerja keluar daerah seperti Medan, Batam, Jakarta dan lainya.
Di usia 145
tahun Kota Pematangsiantar ini terdapat sederet pekerjaan rumah yang harus
segera dikerjakan oleh pihak – pihak terkait bersama – sama dengan masyarakat,
jangan hanya sebatas rancangan dan seremonial belaka.
Banyak yang berpendapat
bahwa implementasi kearifan lokal sering terabaikan bukan karena penolakan
nilai – nilai tersebut tetapi lebih pada ketidakpahaman.
Disinilah peran kita
semua dibutuhkan selain peran Pemerintah yang mengatur melalui Perda dan
mensosialisasikan ke masyarakat. Masyarakat juga harus bersungguh – sungguh,
jangan menjadikan ketidakpahaman tersebut menjadi alasan.
Kita jadikan HUT ke
145 Kota Pematangsiantar ini menjadi momentum untuk melakukan perubahan dan
pembangunan yang berbasis kearifan lokal guna menunjang kawasan Danau Toba
menjadi Monaco of Asia sesuai dengan program unggulan Pemerintah Pusat dibidang Pariwisata saat
ini. Pematangsiantar harus bisa menunjukkan identitasnya kepada dunia.
Belum lagi proses
Pilkada Kota Pematangsiantar saat ini yang tak kunjung menemui titik terang.
Semoga terpilih seorang pemimpin yang memiliki komitmen kuat memajukan
pembangunan Kota Pematangsiantar yang bertumpu pada kearifan lokal. Semoga . . .(*)
0 Comments