BERITASIMALUNGUN.COM-Jerman melangkah ke babak semi final Piala Eropa 2016 dengan cara
dramatis. Der Panzer menyingkirkan Italia melalui adu penalti dengan
rangkaian drama, yang membuat penggemar sepak bola menyebut laga
tersebut sebagai final kepagian.
Prosesi Jerman ke empat besar dibarengi skor 6-5, setelah kedua tim
menyelesaikan waktu normal dengan berbagi gol, 1-1. Adu tos-tosan
berlangsung dramatis, karena ada 18 tendangan, dengan 7 di antaranya
gagal!
Final dini tersebut juga menandai pertemuan tim terbaik. Jerman
berisi satu di antara generasi terhebat sepanjang sejarah. Sementara
skuat Italia tergolong miskin bakat, tapi mampu menunjukkan penampilan
trengginas dengan pemilihan strategi yang mumpuni.
Pada laga di Nouveau Stade de Bordeaux, Bordeaux, Minggu (3/7/2016),
Italia sebenarnya membawa modal luar biasa. Dianggap sebagai tim
medioker, mereka mampu menaklukkan Belgia dan Spanyol dengan pola
1-3-5-2. Mereka tajam dalam menyerang, plus sistem bertahan yang nyaris
sempurna. Tanpa Tanpa kesalahan individu, di atas kertas taktik Conte
sulit diredam.
Terkait ini, 'kecanggihan' justru menjadi milik Joachim Low. Begitu
peluit kickoff berbunyi, Low memberi jawaban. Saya teringat pada kisah
fim legendaris, “Pedang Langit dan Golok Naga”. Dalam pertemuan di Sekte
Ming, sang protagonista Zhang Wuji harus bertarung dengan Biksu
Shaolin, Yuanying. Dalam adu jurus awal, Wuji memperhatikan Cakar Naga
yang diperagakan biksu.
Melihat kehebatan si biksu, Wuji memutuskan untuk meniru Cakar Naga
Shaolin. Hasilnya brilian, karena sang biksu mengakui kekalahan setelah
melawan juru sendiri. Pola itu juga yang menjadi pilihan Low, yang tak
malu mengaku kagum dengan racikan Conte. Ia seolah sadar, jika tak
'mengiru' permainan Italia, skuatnya akan sulit berkembang seperti
Spanyol ataupun Belgia.
Ternyata benar. Italia tetap dengan formasi 1-3-5-2. Sementara Low
memilih mengubah corak 1-4-2-3-1 menjadi 1-3-5-2, yang artinya sama
persis. Imbasnya, kubu Jerman harus 'meminggirkan' Julian Draxler,
gelandang yang bermain brilian kala menyingkirkan Slovakia.
Kiper Manuel Neuer dijaga trio Benedikt Howedes-Jerome Boateng-Mats
Hummels.Lalu Jonas Hector dan Joshua Kimmich menjadi wingback bersama
trio Sami Khedira-Toni Kroos-Mesut Ozil. Sedangkan imitasi Graziano
Pelle-Eder ada pada duet Thomas Mueller-Mario Gomez.
Formasi tersebut berasal dari teori bek plus satu ala Marcelo Bielsa.
Low ingat, pelatih berkebangsaan Argentina tersebut punya prinsip, jika
lawan menggunakan 3 striker, pakailan 4 bek. Andai lawan memakai 3
bomber, trio bek jadi pilihan.
Selain itu, Low sudah belajar kalau Italia lebih sering mendorong 4-6
pemain untuk sejajar dengan garis pertahanan lawan. Karena itulah,
jumlah pemain di garis belakang wajib ditambah. Low berkreasi dengan
mengaplikasikan 5 bek, yang tentunya lebih menguntungkan; 3 bek sejajar
dan 2 bek berkategori multifungsi.
Hasilnya ada di lapangan. Jerman memulai serangan dengan lima pemain,
yakni Manuel Neuer, umpan pendek satu di antara trio bek, plus ada Toni
Kroos sebagia gelandang jangkar.
Low secara cerdik justru meminta Hector dan Kimmich untuk benar-benar
naik. Walhasil, dua sayap milik Italia, Alessandro Florenzi dan Mattia
De Sciglio tak bisa maju sembarangan. Strategi 'variatif' Low berjalan
bagus, karena Italia tak bisa mengulang 100 persen apa yang mereka
perlihatkan saat memulangkan Spanyol.
Italia sempat berubah, dengan menekan via taktik 1-5-3-2.
Konsekuensinya, trio bek Jerman berhadapan langsung dengan duet bomber
Italia. Pada sisi lain, justru situasi ini memudahkan Jerman membangun
serangan. Maklum, di area tengah terbangun
Hummels/Howedes-Kroos-Schweini-Ozil mengepung
Giaccherini-Parolo-Sturaro.
Situasi ini memudahkan Jerman membangun serangan progresi ke ½ area
lawan. Hummels dan Howedes berkali-kali memiliki ruang untuk men-drive
bola dengan dribbling ke depan. Tingginya wingback Jerman menurunkan
wingback Italia.Sehingga di lini tengah terdapat situasi 4v3
(Hummels/Howedes-Kroos-Basti-Ozil vs Giacherini-Parolo-Sturaro).Tak
heran, Panser terus mendominasi penguasaan bola.
Lagi-lagi Conte mengubah gaya. Eder ditarik ke tengah, sehingga
Jerman kebingungan melakukan penetrasi ke area penalti Italia. Umpan
silang mentah, begitu juga sepakan jarak jauh. Satu-satunya yang menjadi
gol adalah gerak melebar Gomez di belakang Florenzi. Hector gesit
melakukan penetrasi dan umpan, untuk meneruskan aksi Gomez yang disambar
Ozil jadi gol.
Selain mengimitasi taktik menyerang, Low meniru strategi tekanan
tinggi ala Italia. Low memilih formasi ekstrim, yakni 1-5-1-1-3, yang
kadang berubah 1-3-3-1-3. Motor utama sistem ini adalah Ozil, Muller,
Gomez dan Schweini. Mereka membentuk format berlian di area depan. Low
sengaja mengosongkan lini tengah, dan memperbanyak pemain maju.
Sistem ini berjalan mulus. Imbasnya, Italia sering kehilangan bola.
Pada laga kontra Spanyol, wingback Italia selalu jadi jalan keluar. Hal
tersebut berlatar Giaccherini dan Parolo naik tinggi ke depan. Strategi
ini tak lagi moncer mengingat Jerman telah meniru sistim tiga bek.
Mitos Formasi Kemenangan
Pertemuan Jerman kontr
Italia memberi banyak pelajaran bagi pecinta sepak bola. Saat ini, sepak
bola modern menyajikan permainan dinamis. Artinya, pelatih dan pemain
harus terus beradaptasi pada situasi baru detik per detik.
Rasa salut harus diberikan pada Joachim Lew, yang dengan jeli
mengadaptasi formasi dan formasi starter menyesuaikan pada taktik
Italia. Ia tidak malu untuk meniru taktik brilian Conte demi meraih
hasil terbaik. Sepak bola top level adalah bisnis mencari kemenangan.
Filosofi dan identitas permainan itu penting, tetapi kemenangan adalah
di atas segala-galanya.
Joachim Low mengalahkan Italia dengan taktik Conte. Hal itu sama
seperti Zhang Wuji kala sukses menekuk Shaolin Yuanying dengan Cakar
Naga Shaolin. Alangkah indahnya andai Low berbisik pada Conte, “Saya
hanya bisa kalahkan Italia dengan taktikmu. Formasi 1-3-5-2 milikmu
sungguh hidup sesuai kebesarannya!"
@ganeshaputera
Co-Founder KickOff! Indonesia
Pusat Kepelatihan Sepakbola
0 Comments