PISOU SIMALUNGUN, MAKNA DAN FILOSOFI |
PISOU SIMALUNGUN, MAKNA DAN FILOSOFI |
PISOU SIMALUNGUN, MAKNA DAN FILOSOFI |
PISOU SIMALUNGUN, MAKNA DAN FILOSOFI |
“Simbol kendali”
Narasumber :
1. GJM Tuah Purba Pakpak (pelaku tradisi)
2. Sully Sinaga (perajin pisou simalungun)
Moderator : Sultan Saragih
Notulen : Mery Garingging
Sully Sinaga memiliki bakat otodidak dalam memahat berbagai jenis kayu,
melukis ornamen dan membuat pisou simalungun. Tidak ada guru yang
memberi pelajaran atau mewariskan pengetahuan membuat pisou secara
langsung, semua berasal dari apa yang ia lihat, coba dan kerjakan. Ia
masih memiliki kekerabatan dengan Tuan Siloting seorang penempa besi
tradisional yang terkenal di Raya.
Ada banyak jenis pisou
simalungun yang sudah ia kerjakan, antara lain Pisou Suhul Gading,
Tumbuk Lada, Sanalenggam, Gupak, Torjang, Parang Raya, Puei dll.
Pemesan
sebagian berasal dari kaum rural (pedesaan) yang dipakai untuk maragat
mengambil tuak dari enau, parhobas untuk pesta adat, juga pisou khusus
dari ingatan leluhur. Mereka datang langsung ke bengkel kerja “Sarang
Ular” di jalan Makasar P. Siantar.
Sully Sinaga menyebut pekerjaannya
bagian dari karya seni, sebab proses pembuatan lebih bersifat pribadi ,
memberi sentuhan keindahan dan menyesuaikan kebutuhan pemesan. Hal ini
berbeda dengan banyak pisou di pasar dimana produksi nya bersifat masal
atau kodian.
Ia lebih memilih kayu hatarum sebagai pasangan
sarung dari pisou yang dikerjakan, alasannya hatarum memiliki serat yang
bagus dan halus , kuat mencengkeram besi pisou, harum hingga warna
coklat mengkilap tampak lebih ber wibawa. Rajutan rotan pengikat sarung
pisou memiliki jumlah ikatan bisa sitolu tolu, si lima lima atau pun
sipitu pitu tergantung arti yang dipahami pemesan.
Dari sisi
ekonomi, perajin pisou tidak mendapatkan keuntungan yang bisa dijadikan
sebagai pegangan sehari hari. Kolektor, peminat atau orang yang
memahami pisou simalungun masih sedikit hanya pada kalangan tertentu
saja.
Permintaan pasar untuk pisou simalungun masih terbatas, ini lah
yang menjadi brainstroming diskusi pembuka, bagaimana menciptakan nilai
tambah hingga pisou simalungun bisa layak jual, digemari banyak orang
setidaknya menjadi trend bagi kalangan kaum muda simalungun.
Pembicara kedua, GJM Tuah Purba Pakpak seorang pelaku tradisi yang
sebelumnya tinggal di Siborong Borong, memilih pulang, menetap dan
tinggal dekat dengan tanoh hasusuran, locus sejarah leluhur nya sendiri
Opung Parultop Ultop tepatnya di kaki bukit Buttu Parilahan Kec.
Pamatang Purba.
Ia menjelaskan, torjang lebih banyak dipakai
untuk keseharian dan kerja adat di wilayah Pamatang Purba. Biasanya
torjang dipakai untuk memotong hewan seperti membuat dayok na binatur
atau digunakan memotong / membagi panjambaran dalam pesta adat. Selain
itu, ia memiliki beberapa senjata tradisional warisan orang tua yang
dipakai khusus sebagai penghayat spiritual dalam Kerajaan Purba.
Salah
satunya adalah pisou panglima yang memiliki suhul tanduk rusa.
Berdasarkan catatannya, tanduk rusa tidak hanya sekedar pangkal pisau
yang memperindah bentuk saja,tapi memiliki fungsi penangkal gaib ,
menjauhkan unsur negatip yang berasal dari pihak musuh, juga penawar
racun. Bila keadaan terdesak, tanduk rusa menjadi ramuan obat sehingga
badan selamat.
Jadi, Umpama atau kiasan “Hita do si jolom suhul
ni pisou” (kita yang memegang pangkal pisou) memiliki makna lebih dalam,
bahwa siapa saja yang menggenggam pisou, seturut juga ia memiliki
kemampuan mengendalikan musuh atau siapa saja sehingga hormat dan tunduk
kepada perkataan.
Walaupun demikian, bukan berarti pemilik pisou boleh
bersikap dan bertindak semena mena, aras nya kepada kedaulatan, martabat
dan wibawa. Hal ini ia utarakan, setelah memperlihatkan salah satu
keris simalungun bahan kuningan warisan dari orang tua nya yang memiliki
corak suhul raja menunduk “toruh maruhur” dan manuk manuk.
Dua
jenis keris simalungun yang ia miliki, pertama keris bersanding dengan
ultop dan kedua keris dengan suhul raja menunduk dan manuk manuk,
menegaskan simalungun pada masa lampau memiliki benang merah serta
ikatan emosional yang sangat dekat dengan kerajaan di Pulau Jawa.
Keris
simalungun terdapat juga pada pusaka Kerajaan Sidamanik klan Damanik dan
Kerajaaan Tanah Jawa klan Sinaga. Pisou Simalungun sebagai bukti
hubungan sejarah dan kebudayaan dengan kerajaan jawa sampai saat kini
belum banyak diungkap, digali dan dipelajari.
Sebagai perajin
pisou, Sully Sinaga membuat dan memilih pisou sesuai dengan kebutuhan
dan manfaat bagi pemesan. Dari sisi spiritual, pelaku tradisi GJM Tuah
Purba Pak Pak memberikan makna pisou simalungun sebagai sebuah
kebanggaan, penjaga martabat dan petuah yang diwariskan . Suhul dengan
jenis corak tertentu memiliki makna dan filosofi dapat menjadi semangat
pemiliknya.
Pertanyaan dan diskusi beruntun dan terus berlanjut, antara lain :
1. Bagaimana kearifan local “Pisou Simalungun” bisa mendatangkan kesejahteraan bagi pelaku dan masyarakat pendukungnya ?
2. Bagaimana menjadi trend dan popular bagi kaum muda ?
3. Bagaimana agar orang tertarik membeli pisou simalungun ?.
4. Apakah ada mantra atau tabas tabas yang ditinggalkan orang tua
terhadap pisou yang diwariskan , bisa sebaga salah sumber penelitian
karya sastra budaya lokal.
5. Apakah mengasapi dengan kemenyan untuk membuat besi pisou lebih kuat atau ada pemahaman lain ?
Ada tabas, berbeda tabas raja, tabas pandihar, tabas pangulu balang,
agar tunduk kepada tuannya. Seorang paragat memiliki podah dan tabas
agar mendapatkan hasil yang baik, juga ritual doa seorang penebang kayu.
Akhir kata, Pisou bisa memiliki fungsi sebatas mengiris sayur, bumbu
dapur atau memotong hewan, tapi bisa ditempatkan sebagai warisan nilai
budaya dengan banyaknya jenis suhul pisou, corak ornamen,kayu penghias
sebagai sarung pisou juga mantra atau tabas tabas.
Alangkah
baiknya juga bisa menjadi trend hiasan dinding ruangan rumah untuk
menciptakan marwah. Alam pemikiran nenek moyang / leluhur telah banyak
memberi pengetahuan dan nilai dari pisou.
Petuah dari pisou “Hita Do Si Jolom Suhul Ni Pisou”
Salam Tradisi !
*Ringkasan hasil diskusi “Ragam Pisou Simalungun” yang diselenggarakan
Sanggar Budaya Rayantara, Kamis 18 September 2016 di Gedung Kesenian
Museum Simalungun. (SBR)
0 Comments