Rikson Saragih STP (paling kiri), ruang penjemuran sementara bawang merah hasil panen petani Haranggaol. SuaraTani.com - Nita Sianturi |
Para petani selalu dibimbingnya untuk melakukan pertanian yang baik
dan benar serta pertanian yang ramah lingkungan. Begitu juga dengan
berbudidaya ikan nila melalui keramba jaring apung (KJA) yang
mendominasi penghasilan masyarakat di sana.
Dialah Rikson Saragih. Nama itu sudah sangat familiar di kalangan
masyarakat setempat bahkan di lingkungan pemerintahan yang membidangi
pertanian dan perikanan di Sumatera Utara (Sumut). Itu karena Rikson
bukanlah seorang petani biasa. Dia petani yang menyandang gelar sarjana
teknologi pertanian (STP) dari Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara (USU) yang peduli terhadap pertanian di kampung halamannya.
Pria kelahiran Tangga Batu, Kabupaten Simalungun 16 Februari 1970
ini, lebih memilih mengabdikan diri di kampung halamannya dari pada
bekerja di perusahaan sesuai dengan pendidikan yang diraihnya.
“Saya
sempat bekerja di perkebunan swasta RGM Group di Riau tahun 1997 – 2000
sebagai staf lapangan. Tapi kemudian saya memutuskan keluar dan menjadi
petani di kampung saya sendiri. Saya ingin berbuat untuk kampung saya,”
kata Rikson, seperti dilansir SuaraTani.com, Minggu (4/9/2016) di Haranggaol.
Di Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten
Simalungun, Sumut, inilah Rikson menghabiskan kesehariannya. Setelah
tidak bekerja lagi di perusahaan perkebunan milik swasta itu, Rikson
membuat usaha budidaya perikanan melalui KJA di perairan Danau Toba.
Rikson sendiri memiliki 20 petak KJA.
Tetapi sebagai sarjana pertanian, kegiatan budidaya pertanian terus
dilakukannya dengan menanam berbagai tanaman hortikultura, seperti cabai
merah dan sayur mayur.
Berbagai pelatihan dan pendidikan informal di
bidang pertanian pun diikutinya. Seperti tahun 2003, Rikson mendapat
peringkat terbaik pada kegiatan Workshop Praktek kegiatan Pembangunan
Daerah bidang Pertanian, JICA Jepang – Bappedasu – Bitra Indonesia di
Medan.
Tidak hanya itu, tahun 2006, Rikson juga mengikuti pelatihan
“Strategic Planning Dasar”, JKLPK Region Sumatera Medan. Di tahun yang
sama juga Rikson mengikuti pelatihan Pengembangan Ekonomi Rakyat dengan
pemanfaatan Resources Local, United Evanggelica Mission (UEM) di
Samosir.
Untuk kemudian, di tahun yang sama Rikson menjadi narasumber pada
pelatihan “Pemanfaatan Resources Local pada Pembuatan Pakan Organik, UEM
di Tobasa.
“Tahun 2007, saya juga mengikuti pelatihan Leadership
Capacity Building (LCB), JKLPK Region Sumatera di Silangit Tobasa. Dan,
di tahun yang sama saya mengikuti magang teknik budidaya ikan nila di
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi Jawa
Barat,” jelasnya.
Semua ilmu yang diperoleh Rikson itu dibaginya kepada petani-petani
yang ada di Haranggaol. Dan, dengan diangkatnya Rikson sebagai THL-TBPP
(Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian) di Kelurahan
Haranggaol tahun 2008, tanggungjawab Rikson pun semakin besar.
Kerjasama BI-BPTP Sumut
Meski masih tenaga honorer sampai sekarang namun kepedulian dari
bapak satu putra dan dua putri ini untuk memajukan dunia pertanian dan
perikanan tidak pernah surut. Bersama petani-petani lainnya, Rikson
mencoba membangkitkan kembali kejayaan bawang merah Haranggaol yang
sempat berjaya di tahun ‘80-an hingga tahun ’90-an.
“Kegiatan bertanam bawang merah kami lakukan tahun 2001. Tetapi tidak
berhasil. Belum sempat dipanen bawang yang ditanam mengalami mati
gadis,” kata suami dari Dra Martha Boru Purba ini.
Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak lagi menanam bawang
merah. “Jadi sejak tahun 2002 hingga 2013 kami stop menanam bawang
merah. Kami konsentrasi di ikan,” kata Rikson.
Tetapi tahun 2013, petani mencoba kembali bertanam bawang secara
mandiri meskipun hasil yang diperoleh kurang optimal. Petani hanya bisa
menghasilkan sekali tanam di lahan yang sama.
“Pada akhir tahun 2014,
Bank Indonesia (BI) cabang Siantar bekerjasama dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Sumut membuat demplot tanaman bawang merah,”
jelasnya.
Empat varietas sekaligus dilakukan yakni varietas Bima, Maja, Tyron
dan satu varietas dari lokal. Ternyata dari segi pertumbuhan dan
produktifitas varietas Maja yang terbaik dengan produktifitas mencapai
17 ton per hektare. “Varietas Maja inilah yang kemudian kami kembangkan
sampai sekarang,” jelasnya.
Kehadiran BPTP dan BI didampingi Rikson telah merubah Perilaku Sikap
dan Keterampilan petani dalam hal berbudidaya bawang.
Petani diajari
pengolahan tanah, pemupukan yang sesuai dengan rekomendasi hasil analisa
tanah di laboratorium BPTP, pestisida organik dan menggunakan pestisida
anorganik secara tepat guna.
Dan, hingga sekarang pertanaman bawang merah di Haranggaol mulai
berkembang, bahkan sudah mencapai 200-an hektare. Bahkan saat ini,
mereka sudah melakukan binaan petani penangkar bibit bawang merah.
Sehingga kebutuhan bibit bawang merah tidak lagi dipasok dari Jawa
tetapi sudah diproduksi sendiri.
“Sejak tahun 2014 sampai sekarang saya sebagai pendamping
lapangan/fasilitator kelompok tani kemitraan Bank Indonesia (BI)
Perwakilan Pematangsiantar – BPTP Sumut dalam pengembangan budidaya
bawang merah di Haranggaol,” jelasnya. (*)
Sumber: (Nita Sianturi/Suaratani.com)
0 Comments