Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Masalah Tanah dan Tanah Komunal Serta Hak Ulayat dan Solusinya



Oleh Ronsen LM Pasaribu

BeritaSimalungun.com-Masalah yang dihadapi di Bonapasogit dalam tulisan (1) dan (2) terkaitdengan Pokok Diskusi Kamisan dengan judul Mastarakat Adat dapat menuntut Hak Atas Tanahnya yang dirampas, dengan pemantik Bapak Abdon Nababan, Sekjen AMAN dan Sandi Situngkir, Ketua Bidang Agraria/Pertanahan YPDT, yang menyoroti dari tataran Filosofis dan benturan ketentuan ditingkat Undang-undang yang merugikan masyarakat adat itu sendiri, dengan menyodorkan perlunya Perda untuk melindungi Hak Masyarakat Adat itu sendiri, dengan dasar hukum Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 dan MK 35.


Guna lebih mengurai seputar masalah tanah ini, kami mencoba membahas masalah tanah individual, tanah komunal, tanah ulayat dan tanah Kehutanan, secara kualitatif dan aturan yang dapat menyelesaikan permasalahan sebagai solusinya.

Permasalahan tanah individual ditandai dengan tipologi sengketa batas, Sengketa kepemilikan, Sengeketa penggarapan, Sengketa Tumpang tindih dengan Kawasan Hutan, dan lainnya.

Sengketa batas terjadi karena penyerobotan tanda batas baik sengaja maupun tidak disengaja. Batas ini menyangkut bidang milik individual dan juga bisa batas antar Dusun dan Desa. Laporan sengketa ini dapat di mediasi oleh pemerintah ditingkat Desa, tingkat Kecamatan atau Pemda dengan pendekatan Winwin solution. 

Biasanya sikap alot selalu menonjol, karena pihak membenarkan argumen masing-masing, sehingga tidak jarang titik temu tidak bisa dicapai sehingga pihak yang dirugikan menggagalkan musyarawah mufakat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. 

Membawanya ke lembaga peradilan, baik TUN, Peradilan Umum dan Pidana. Jika kita bicara ditengah masyarakat Batak, maka ada yang perlu kita dorong yaitu peran Raja Huta, Raja Bius, Raja Panusunan Bulung, Raja Pamukka Huta yang didukung oleh tua-tua desa. 

Nilai adat istiadat yang masih melekat kuat ditengah masyarakat sangat perlu untuk didengar sehingga para pihak mematuhi solusi yang ditawarkan. Jika didapat win-win solution, dibuatlah berita acara dengan batas yang baru dan putusan itu mengikat, sebagai dasar bagi BPN untuk mengukur guna diterbitkan Sertipikatnya.


Sengketa kepemilikan, bisa terjadi apabila satu bidang tanah terdapat dua atau lebih bukti kepemilikan tanah. Kondisi ini jauh dari ideal yang ingin diharapkan pemerintah yaitu tanah yang tidak bermasalah apabila “one map, one certificate”. 

Tata cara penyenyelesaian masalah tipologi kepemilikan ini diatur dalam Permen ATR/BPN Nomor 10 Tahun 2016. Setiap putusan TUN yang sudah terbit lebih ditekankan penyelesaian secara administrasi terlebih dahulu, dengan prinsip win-win solution. 

Sepanjang ada mal administrasi dalam penerbitan sertipikat, ditempuh dengan pembatalan sertipikat yang menurut penelitian ada kesalahan prosedur atau kesalahan materi dalam penerbitan sertipikat itu. 

Tumpang tindih dengan Tanah Kawasan Hutan.


Inkuiri Nasional Komnas HAM telah menurunkan laporannya tentang Hak Masyarakat Adat atas wilayahnya di Kawasan Hutan, dengan laporannya sebagai berikut : “(115). Kebijakan pemerintah Kolonial menetapkan kawasan hutan negra secara sepihak atas wilayah adat tanpa mempertimbangkan keberadaan HMA. 

Kebijakan tersebut diteruskan oleh Kementerian Kehutanan RI dan telah mengakibatkan pelemahan hubungan antara HMA dan Hutan serta wilayah adatnya yang menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. 

Kawasan mereka tanpa melalui proses konsultasi, merubah status menjadi kawasan Hutan (HPH,HTI atau APL), Kawasan Hutan Lindung, Taman Nasional, perkebunan dan konsesi pertambangan berdasarkan pelepasan dan tanpa pelepasan.


Jika kita lihat di Daerah Tapanuli bagian Utara maupun Selatan, temuan Komnas HAM ini dapat ditemui dengan status Tanah Milik Individual, tanah Individual yang belum terbagi (tanah Ompu), Tanah Komunal maupun Tanah Ulayat. 

Adapun pengertian tanah yang berada didalam kawasan itu, meliputi hutan masyarakat adat disuatu pedesaan, meliputi tanah individual baik sawah maupun perladangan, Tanah Komunal baik yang didasarkan pada genealogis (darah keturunan) bisa juga didasarkan pada geografis (Desa yang dihuni bermacam marga dan suku agama), atau Tanah Ulayat (tanah milik masyarakat tradisional yang memiliki wilayah teritorial yang bisa dipetakan, ada penduduk yang tinggal secara besama dan tata kehidupan penduduk tradisional itu diatur oleh kentetuan yang masih hidup dan mengikat mereka).


Langkah yang ditempuh atas peliknya persoalan ini, selama ini sudah ditempun melalui proses litigasi seperti yang ditempuh oleh pegiat AMAN di Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK yang mengakui Masyarakat Adat dan teritorialnya. Saat ini masih berproses, untuk dapat dieksekusi dilapangan.

Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan KPK sebagai Lembaga yang menginisiasi. 

Langkah ini, belum berjalan karena adanya keinginan agar Peraturan Bersama ini ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden, termasuk Juknisnya. 

Lamanya pengaturan ini tentu membuat penderitaan petani kita karena akibat Register ini terjadi ketidak pastian hukum bagi status kepemilikan tanah akibat tumpang tindihnya kepemilikan tanah ini. Terlebih, tatabatas yang tidak jelas dilapangan, mana tanah individu, mana tanah komunal dan mana tanah Kehutanan sangat tidak jelas bagi masyarakat. 

Serba tidak ada kepastian, sementara jika masyarakat memotong kayu, sangat mungkin didakwa menjadi pencuri kayu karena lahannya bukan milik rakyat tapi masuk hutan lindung, misalnya. Sampai kapan ini selesai?

Langkah yang ditempuh Pemda dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dengan menetapkan “Tata Batas”, yang timnya diketuai oleh Bupati atau Walikota. Apabila disepakati batas kepemilikan masyarakat dan Kehutanan dan Lingkugan Hidup, maka ditetapkan batasnya. Ini terjadi di Kabupaten Humbahas, sudah berhasil sepanjang kurang lebih 800 KM2, sisanya masih bermasalah dengan masyarakat.

Artinya Revisi Peta Kawasan Hutan dengan SK Menteri Kehutanan dapat menyelesaikan masalah batas, dan ini akan memberikan kepastian bagi semua pihak. 

Sertipikasi akan bisa dilaksanakan ketika sudah ada kepastian batas, mana tanah perkampungan, tanah budidaya dan kawasan Hutan, juga punya kemampuan keuangan dengan memanfaatkan sebagai jaminan di Bank kemudian.

Tanah Komunal dan Hak Ulayat. Tanah Komunal adalah tanah milik Masyarakat adat yang dimiliki oleh masyarakat secara bersama yang didasarkan pada hubungan keluarga (genealogis) atau Geografis. 

Karakter tanah Komunal ini bisa kita bedakan bahwa tanahnya belum atau tidak dibagi secara individual, otomatis tidak bisa dibagi secara warisan kepada individu. 

Namun sampai sekarang masih menjadi satu kesatuan kepemilikan oleh komunal tertentu. Secara fisik, tanah komunal bisa berupa Hutan yang masih terawat untuk tempat beternak, hasil hutan dan lainnya, Bisa berupa Danau, Bisa berupa Kampung dan Sawah. Permasalahan akan muncul apabila tanah komunal ini masuk dalam Kawasan Register Hutan, dengan penetapan sepihak tanpa dilakukan identivikasi bahwa didalamnya ternyata ada perkampungan, budidaya dan usaha lainnya. 

Ini yang oleh bapak Abdon Nababan dan Situngkir disebut Tanah Masyarakat Adat yang harus direbut kembali dengan langkah penerbitan Perda perlindungan tanah Milik Adat ini.

Ketentuan yang barusan dikeluarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No 11 Tahun 2016 tentang Tatacara menetapkan Tanah Hak Komunal dan Tanah di Kawasan tertentu, sebagai pengganti Peraturan Kepala BPN RI no. 5 Tahun 1979, tentang Tatacara Menyelesaikan masalah Tanah Hak Ulayat. Semula untuk menetapkan eksistensi sekaligus perlindungan Tanah Ulayat, ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 

Namun kenyataanya Perda ini tidak efektif sejak 1979 sampai 2016 Perda itu tidak kunjung terbit akibat prosesnya yang lama dengan penelitian ahli dan tarik menarik para legislator dengan berbagai alasan. 

Akibatnya Perda itu tidak kunjung terbit. Oleh karena itu, penerbitan Perda itu sudah ditiadakan, oleh ketentuan yang baru. Diganti dengan Inventarisasi IP4T oleh tim dan hasilnya diserahkan kepada Bupati setempat untuk diterbitkan SK Bupati pengukuhan Tanah Komunal atau Ulayat itu. 

Selanjutnya, diteruskan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup guna dilakukan revisi Kawasan Hutan tersebut. Sejauh mana ketentuan ini sudah dilaksanakan, inilah yang perlu didorong agar dapat dilaksanakan.

Terkait dengan hak komunal di Kawasan tertentu, apabila sebidang tanah bisa diserahkan kepada para petani Plasma oleh HGU, letaknya bersebelahan dengan perkebunan besar. 

Para petani, mendapat kavling namun keseluruhan disertipikatkan atas nama Koperasi yang dibentuk khusus untuk hak Komunal itu. Manfaatnya, tanahnya tidak dibagi dalam skala kecil, tetapi dikelola secara bersama sesuai luas masing-masing, tanpa bisa diambil kaplingnya oleh perusahaan besar.

Berbagai masalah yang ada diatas, jika diteliti masalah yang paling mudah diatasi adalah masalah tanah individual. Namun masalah yang paling merugikan masyarakat adalah tumpang tindih tanah masyarakat adat dengan Kawasan Hutan baik Register maupun dengan Surat Keputusan Menteri kehutanan. 

Terlebih Kementerian Kehutanan memberikan Konsesi kepada Perusahaan Terbatas (PT) yang bergerak dengan Hutan Tanaman Industri yang dilengkapi dengan Pabrik pengolahan Kayu untuk bahan kayu untuk industri, dimana batas tanah tidak jelas. Disinilah konflik selalu terjadi dan menarik untuk terus dicari jalan keluarnya. (Penulis Adalah Praktisi Pemberdayaan Masyarakat dan Agraria/Pertanahan. Juga mantan Pegawai BPN)

Berita Lainnya

Post a Comment

0 Comments