Susilo Bambang Yudhoyono (Antara/Yulius Satria Wijaya) |
BeritaSimalungun.com, Jakarta - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki
catatan atas situasi dan dinamika politik, hukum dan keamanan Tanah Air
belakangan ini. Berikut catatan SBY seperti yang diterima redaksi, Senin
(28/11/2016).
Ada dua nasehat orang bijak yang
saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika
menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there
will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada
solusinya. Ada jalan keluarnya.
Saya rasakan kedua ungkapan ini
relevan dengan situasi di negara kita saat ini. Bangsa Indonesia kembali
menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga
terjadi di seluruh Tanah Air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan
solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa
sehingga menjadi rumit.
Gerakan massa yang mengusung tema
mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu,
pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga
kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah
ini justru memunculkan permasalahan baru.
Pernyataan penegak hukum bahwa
negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan
beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan
tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan
demikian negara kita menuju ke keadaan krisis? Menurut saya tidak. Saat ini
tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera
diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.
Dalam situasi seperti ini, secara
moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan menjadi baik jika saya ikut
menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, agar
beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat ini. Namun, lebih dari tiga
minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk sementara saya menutup
komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu
saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami semua kena fitnah.
Saya masih ingat ketika saya
melakukan klarifikasi atas informasi (baca: fitnah) yang sampai ke pusat
kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi
Damai 4 November 2016, saya diserang dan "dihabisi" tanpa ampun.
Tetapi, mengamati situasi yang berkembang saat ini, saya pikirkan tak baik jika
saya berdiam diri. Oleh karena itu, melalui wahana inilah saya ingin
menyampaikan harapan dan pandangan sederhana saya tentang solusi dan tindakan
apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.
Memburuknya situasi sosial dan
politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable.
Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang
terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately)
kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif,
yaitu berkenaan dengan kitab suci.
Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan
diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya
nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya.
Sama saja sebenarnya dengan
penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah
terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap
negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit.
Karenanya, menurut pandangan saya
saat ini prioritasnya adalah mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan
bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah
SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut saya menjadi
kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas
vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga
agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal.
Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun
untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya
membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan.
Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para
pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan
justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang
amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta
maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara itu, ada juga yang
berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema
pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam
negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang
merupakan isu HAM dan mana yang bukan.
Dulu ketika saya mengemban tugas
sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu
demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia
selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan
cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan
internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah
isu pelanggaran HAM.
Kita serahkan saja kepada penegak
hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional,
adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan.
Biarlah hukum bicara ~ apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu
pemahaman saya terhadap rule of law.
Tetapi dalam perkembangannya, baik
di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden
Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa
itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi.
Tak pelak pernyataan Kapolri tentang
rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping
ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang
beredar, katanya juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario
yang kedua ini konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di
antara mereka.
Terus terang saya kurang percaya.
Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga
harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar.
Demikian juga, jika ada pihak di
lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan
kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden,
pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Memang sekarang ini namanya fitnah,
intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk
ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur.
Banyak orang menjadi korban, termasuk saya.
Banyak bisikan maut, bahkan
termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai
veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan logika
bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak
menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa
bukan? Semua harus waspada.
Jangan sampai kuman di seberang
lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling
teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada,
jangan sampai kita mau diadu-domba.
Jangan kita berikan ruang media sosial yang
sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban
di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu
bermotifkan ideologi, tapi uang (money power).
Saya amat sedih jika menyimak
penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari
kelompok Sosmed tertentu.
Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua,
lebih-lebih anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan
nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa
kita terpecah dan saling bermusuhan.
Sementara itu, jangan sampai pula
kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false
intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta atau makar
terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan ada
Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi
justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan
Jenderal.
Berbicara tentang makar, saya tetap
konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di
tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang
dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh
sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi
politik.
Kalau kita paham konstitusi, seorang
Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment
article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh
oleh sebuah revolusi sosial atau people's power.
Contoh yang paling baru adalah
kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat
sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja.
Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Saya jadi ingat dulu ketika ada
"Gerakan Cabut Mandat SBY" di era kepresidenan saya. Sebenarnya,
hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar. Saya tenang dan
tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah
elit, bukan rakyat.
Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak
berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian
bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan
untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka.
Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat dan turunkan SBY"
akhirnya cepat berlalu ....
Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi
yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan
halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada
pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege mongso.
Kembali kepada situasi nasional saat
ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan
antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan
baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah
jangan sampai ada kekerasan yang meluas.
Cegah jangan sampai ada martir yang
sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar.
Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard
power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut
dengan smart power.
Persuasif harus lebih diutamakan dan
dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah
menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak
pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti diketahui pula bahwa
pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan
Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan
bahaya, penuhi syarat-syaratnya.
Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur
keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada
dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya
dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
Dalam keadaan "krisis",
semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan
didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin
menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti
sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa
absolut".
Bangun hubungan yang baik dan sehat
dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan
Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah.
Ada motto yang
berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah
atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan
Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang
banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya berpendapat, sekarang ini
Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan
tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik.
Bangun dan dapatkan solusi
terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk
membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin
politik perlu dilanjutkan.
Jangan hanya mengejar kuantitas,
tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan
hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi
seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat,
pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati
mereka, jangan justru dibikin takut dan panas.
Himbau mereka untuk tak perlu selalu
menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah
benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para
pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi
lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....
Dalam situasi seperti ini, sebagai
seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam, termasuk hampir 30
tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran
pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bersama-sama menjaga
persatuan dan kebersamaan kita.
Bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui
batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial
di negeri ini.
Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun
tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi
gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun,
hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan
di atas kebenaran Tuhan.
Akhirnya, menutup tulisan ini,
dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin,
tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan.
Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin
Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ....
(Sumber: Beritasatu.com)
0 Comments