Oleh: Dara Meutia Uning
BeritaSimalungun.com-Perkenalan saya dengan Cut Nyak Meutia
berawal dari nama. Dari empat bersaudara, hanya nama saya yang tak menggunakan
nukilan dari bahasa Arab. Saya cemburu karena nama saya terkesan amat ‘duniawi’.
Seolah-olah saya kurang didoakan.
“Papa berniat, kalau punya anak perempuan akan diberi nama
‘Meutia’,” kata Mama mengutip Papa, “seperti nama nenek Papa.” Waktu itu, saya
masih duduk di bangku sekolah dasar. Mama bilang, nenek Papa amat pemberani.
Ketika kami kecil, Papa pernah membelikan buku-buku cerita
tentang pahlawan nasional. Salah satunya tentang Cut Meutia. Tapi, seingat
saya, Papa tak pernah menyebut kalau Cut Nyak Meutia itulah nenek beliau. Saya
pikir, kebetulan saja nenek saya bernama Meutia, mirip dengan pahlawan itu.
Kira-kira ketika saya SMP, Papa tiba-tiba memajang foto
seorang laki-laki yang tampak asing di ruang tengah. Wajahnya amat mirip Papa.
Laki-laki di foto itu, Teuku Radja Sabi, putera semata wayang Cut Nyak Meutia.
Ayah kandung Papa. Papa bilang, dia baru temukan foto itu di salah satu buku
yang mengisahkan tentang Cut Meutia. Papa tak ingat wajah ayahnya karena beliau
meninggal dunia ketika Papa berusia tiga tahun.
Setengah tak percaya, saya segera lalap buku yang Papa maksud.
Di buku itu tertera silsilah. Nama Papa tercatat sebagai salah satu cucu Cut
Meutia. Setengah tak percaya awalnya. Tapi, mendengar penjelasan dari paman,
bibi, dan sepupu-sepupu yang tinggal di Aceh, akhirnya mau tak mau saya terima
saja kenyataan itu.
Beberapa teman dekat, pernah saya beritahu. “Pantesan, Dar,
elo bawaannya pengen perang melulu,” seloroh salah satu teman saya. Saya hanya
cengengesan.
Keturunan pahlawan? Mimpi saja tak pernah. Terus terang
saya tak ingin gembar-gembor dengan kenyataan itu. Bukan begitu cara Papa
membesarkan kami. Karena itu, kehidupan kami pun bergulir seperti biasa.
***
Sejak itu, saya selalu penasaran dengan sosok Cut Nyak
Meutia dan perempuan Aceh. Buku-buku Papa tentang Aceh, saya baca dengan tekun.
Delapan tahun lalu, waktu saya mengadakan penelitian di Aceh tentang para
mantan kombatan perempuan alias ex pasukan inong balee, perpustakaan Ali Hasjmy
di Banda Aceh juga saya datangi.
Dalam berbagai bacaan itu, Cut Nyak Meutia senantiasa
digambarkan dalam bentuk yang amat ideal. Terutama dalam buku terbitan lokal.
Namun, pujian yang ditujukan pada perempuan kelahiran 1870 itu juga dikutip
dari tulisan dan laporan prajurit Belanda.
Tapi, bagi saya, Cut Nyak Meutia memberi kesan mendalam
dalam beberapa hal.
Pertama, dari sejarah pernikahannya. Cut Meutia tercatat
menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Teuku Syamsarif adalah hasil
perjodohan—hal yang lazim dalam adat istiadat Aceh di kalangan bangsawan pada
saat itu. Namun, suami pertamanya itu lebih condong dan kooperatif dengan
Belanda. Cut Meutia tak suka, sehingga perceraian tak terelakkan.
Cut Meutia
kemudian menikah dengan adik mantan suami pertamanya, yakni Teuku Muhamad, atau
yang lebih dikenal sebagai Teuku Cik di Tunong. Suami keduanya anti Belanda dan
aktif berjuang melawan pendudukan Belanda.
Setelah suami keduanya gugur karena tertangkap Belanda dan
dijatuhi hukuman mati, Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nangroe—tangan kanan
suaminya dalam perjuangan. Pernikahan itu adalah wasiat almarhum Teuku Cik di
Tunong—demi kelanjutan perjuangan melawan Belanda.
Setelah lama menimbang,
walaupun banyak uleebalang siap meminang dirinya, Cut Nyak Meutia memilih untuk
mengikuti wasiat suaminya itu.
Keputusan menikahi pria bukan dari kalangan
bangsawan itu, amat tidak lazim. Toh, dia bersiteguh dan kembali bertempur
dengan suami ketiganya di hutan dan pegunungan—mengabaikan ajakan Ibu Mertua
dan iparnya agar menyerah dan ‘hidup tenang’ tanpa berperang lagi.
Menurut saya, itu menunjukkan Cut Nyak Meutia itu perempuan
yang berjiwa merdeka.
Dia memilih untuk menikahi laki-laki berdasarkan ideologi
dan komitmennya pada perjuangan. Istilah saya, ente lembek dan menye-menye pro-Belanda,
gue tendang! Dia amat percaya diri dan lebih nyaman dengan pilihannya sendiri,
meski harus hidup susah di hutan. Menikah dan hidup nyaman ketika kemerdekaan
terpasung karena dikontrol penjajah, bukan pilihan hidupnya.
Kedua, Cut Nyak Meutia adalah perempuan cerdas dan tangguh.
Dia dibesarkan ketika Masjid Raya Banda Aceh baru saja dibumihanguskan Belanda
pada 1873.
Perlawanan rakyat Aceh sedang membara, sehingga tak heran, di usia
belia, perempuan ini telah belajar cara berperang. Keahliannya dalam berperang
mumpuni. Bukan hanya sekadar mengatur strategi, tapi juga lihai bela diri dan
menggunakan senjata.
Dia bukan tipe perempuan yang hanya bertindak di belakang
layar (misalnya, ‘cuma’ mengatur strategi atau mengurus anak atau logistik di
garis belakang), tapi dia juga aktor utama dalam pertempuran di garis depan,
yang tak kalah vital perannya bagi moral pasukan.
Di Aceh, laki-laki dan perempuan saling membantu dalam
pertempuran melawan Belanda. Hal itu dicatat dengan detail oleh para prajurit
Belanda.
Menurut mereka, perempuan Aceh turun ke medan pertempuran dengan
semangat yang mengalahkan lelaki. Kemampuan mereka dalam bertempur juga bukan
main-main. Karena itu, saya tak percaya, kalau Cut Meutia hanya duduk-duduk
mengajar mengaji sambil menanti suaminya pulang perang di persembunyian dalam
hutan.
Lho? Kan dia punya anak? Selama Cut Meutia hidup di hutan,
literatur yang saya baca menyebutkan, Teuku Raja Sabi, putera semata wayangnya,
diasuh dan dibesarkan oleh para lelaki maupun perempuan dalam pasukan pimpinan
ibunya.
Mulai dari ulama yang menjadi guru mengaji hingga guru bela diri. Jadi, kalau jaman sekarang, ibu-ibu lain
pamit berangkat kerja, pergi mengaji atau berdagang, Cut Nyak Meutia pamit
untuk pergi berperang. “Dan jika Ibu tak kembali, tugas kamu selanjutnya
melanjutkan perjuangan kami,” begitulah senandungnya ketika menidurkan anak
tunggalnya itu.
Ketiga, Cut Nyak Meutia membuktikan bahwa perempuan dapat
memberi banyak hal bagi bangsa, tanpa harus dibatasi oleh aturan dan norma yang
mengungkung.
Perempuan dinilai dari apa yang telah disumbangkan bagi
kepentingan orang banyak. Dari pengorbanan dan pengabdiannya kepada rakyat.
Bukan dari pakaian atau perhiasan yang dikenakan, bukan dari harta yang
dimiliki, apalagi kedudukan.
Cut Nyak Meutia dipaparkan lebih sering tinggal di hutan
pergi berperang ketimbang hidup di kampung.
Dia meninggalkan hidup yang nyaman sebagai bangsawan, dan melepaskan
segala atribut yang menyertainya. Dia mengorbankan dua suaminya. Dan dia juga
merelakan nasib anak tunggalnya ketika dia memilih untuk bertempur hingga titik
darah penghabisan.
Perilaku dan tingkah lakunya itu membuat rakyat amat
mencintainya. Sosoknya menjadi legenda. Bahkan tak sedikit kisah tentang
dirinya menjadi mitos.
Saya selalu terbayang pertempuran terakhirnya. Mosselman,
komandan pasukan yang menyerbu persembunyian Cut Meutia dan pasukannya di hulu
Krueng Putoe pada 25 Oktober 1910 itu, memberikan gambaran detail.
Cut Meutia
memimpin pasukan dengan rambut tergerai dan teriakan komando melengking.
Perlawanannya tak mengendur meski dirinya telah terkepung dan seluruh
pasukannya telah gugur. Perintah menyerah senantiasa disambut dengan terjangan
ke arah para pengepungnya, dan memakan nyawa dua tiga serdadu.
Peluru yang menembus kepala dan dadanya akhirnya
menghentikan perjuangannya. Jenazahnya dimakamkan dengan takzim, meski dalam
keterbatasan, oleh pasukan Belanda yang mengalahkannya. Mereka memberi
penghormatan militer pada Cut Meutia karena perlawanannya yang gagah berani.
Perempuan pemberani itu, nenek buyut saya. Dia pahlawan
kita.
***
Sejak heboh soal lembaran uang rupiah baru, dengan gambar
Cut Nyak Meutia, salah seorang teman di Aceh mengatakan bahwa gambar itu akan
dipermasalahkan. Alasannya, Cut Meutia tak mengenakan jilbab. Awalnya, saya tak
percaya dengan anggapan itu. Nyatanya, topik ini malah menggelinding menjadi
bola liar.
Bagi orang Aceh yang protes, saya mencoba berprasangka
baik. Barangkali, itu didorong oleh kecintaan yang mendalam pada pahlawan
legendaris itu. Bagi orang lain, yang menyebutnya sebagai ahli agama dan ahli
strategi, dan karena itu, sepantasnya memakai jilbab, saya anggap dia kurang
memahami sejarah.
Cut Meutia barangkali tak peduli apakah dirinya dianggap
pahlawan atau bukan. Yang terpenting baginya hanya kemerdekaan bagi bangsanya.
Demikian pula ribuan atau jutaan orang yang menjadi pahlawan bagi komunitasnya,
lingkungannya, maupun bangsanya, di penjuru Nusantara ini.
Yang terpenting, bukanlah atribut penghormatan, tapi
semangat juang dan keteguhan mereka bisa terus kita lestarikan. Bangsa kita
mungkin tak sempurna, dengan sejarahnya yang penuh warna dan luka. Tapi, kita
sebagai penerus seharusnya tak larut dalam saling cerca.
Agar kepahlawanan dan pengorbanan seseorang, seperti Cut
Nyak Meutia, tak terhenti pada debat mengenai secarik kain. Karena apa yang
telah dia capai selama hidupnya, lebih dari itu. Sudahkah Anda berkorban
sebanyak itu? (Sumber: https://indonesiana.tempo.co)
0 Comments